Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2005

Senayan City in Progress

Dilihat dari trotoar di depan Plaza Senayan.

Kepada pengelana

Kepada langit sewarna gandaria dan awan dan hembus udara yang menaungi Kepada belukar padang tenggara dan riang ilalang dan serangga yang menyiangi Kanda, dimana Kepada belukar padang tenggara dan riang ilalang dan serangga yang menyiangi Kanda, dimana Ketika pagi menelikung tanpa bisa kuhindari Tanpa matahari di lorong jendela tanpa penghuni lain di kamar sewa O, pagi yang selalu kuperangi O, rimba masa lalu dengan tapak-tapak kusam di tiap jengkal kenangan Lalu akan kubiarkan hawa dingin yang purba menepuk pundakku Menyeretku ke sudut sunyi dengan kesakitan yang sangat Masih akan kubiarkan diriku terjaga dalam hening penuh bimbang Akan terus kubiarkan rasa kesakitan itu menyalip di kening hingga ku tumbang Kanda, dimana O, pagi tanpa hela nafas di pundak O, siang tanpa ketukan di pintu O, malam yang semakin dipenuhi parut Kepada seribu ceruk laut dan gelombang dan para pelaut yang menggarami Kepada kesendirian; Biar aku bicara pada birahi yang meranggas Tenta

Aku Pengelana

Kota terakhir bisikku. Inilah kota terakhir yang bisa menjadi pamungkas pengembaraanku bila kelak aku memutuskan Pengembaraanku bukanlah pilihan yang setara denganmu Aku mencintaimu, karena engkau masa depan dan kesetiaan Aku ingin memilikimu untuk tambatan dan peristirahatan Kau nyata kau hidup kau segala Jiwaku adalah sorot mata camar di atas giblartar Mampukah aku menukar semua kesenangan untuk melihat sisi dunia, menanggalkan sayapku, melepas jiwaku, membutakan mataku, dengan pulang dan meminangmu? Pada kota ini aku sedang bicara Masih hitungan hari sebelum aku memutuskan untuk mencintaimu atau tidak Wajahmu kukenali melekat di setiap rupa permukaan Pada pahatan angelo pada punggung pagoda Pada setiap ringkik geisha dan nelayan pantai karibia Aku mencintaimu tapi ijinkan aku untuk tidak memilih Kau bukanlah Madrid atau Agra Kau bukan Sahara bukan Mandalay. Petang yang jatuh di antara lorong kusam Matahari muram di jemari dahan Sederet nomor telepon di kepala sel

Ijinkan Aku Meninggalkanmu

Bau matahari yang tertinggal di sepanjang pagar kayu menuju rumahmu mengendurkan langkahku dari bergegas. Wajahmu melintas. Bayangan akasia condong merendah. Alang-alang layu ditiduri angin. Senja mengelam. Banyak ragu pada niatku. Menemuimu, bukan untuk mengumbar kasih karena hatiku meragu setiap kali pagi tiba. Menemuimu, bukan untuk membujuk rayu karena bibirku tlah kelu. Menemuimu, bukan untuk meminang karena sayapku yang tumbuh setiap kali kubuka jendela. Hatiku tlah berbelah. Andai empat tahun lalu seekor burung gelatik tua tak menjatuhkan biji salam di bukit kecil itu, aku masih akan leluasa melihat rumahmu dari tempatku berdiri sekarang. Malam belum matang. Sekawan kalong terbang rendah. Selapis debu hinggap di sepatu. Masih puluhan meter ke rumahmu, tempat yang dulu selalu aku rindukan untuk aku kunjungi. Namun malam ini rumahmu sebagai siluet menyeramkan yang menyiutkan keberanianku. Tarikan nafasku seberat beban dosa para leluhur. Langkahku terpatok