Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2007

Saya Ingin Sekali Memelihara Anjing

Saya selalu ingin punya anjing. Keinginan ini ada dari saya masih kecil, bahkan ketika seekor anjing setinggi badan saya menggonggong keras dan menarik-narik celana saya dengan moncongnya saat saya belum usia sekolah, keinginan itu sudah ada. Saya membayangkan anjing super keren yang main di 'Joe Run Joe', film tv yang sempat diputar di TVRI tahun 70an. Lalu saya pun pernah membayangkan sebagai bagian dari Lima Sekawan, tentang empat bocah detektif dan seekor anjing bernama Timmy yang serialnya pernah ditayangkan TVRI awal 80-an. Lalu ada Lassie, lalu ada Boomer di tv. Keinginan saya tak pernah padam. Since we're moslems, anjing bukanlah binatang peliharaan di rumah. Saya pernah punya puluhan merpati dan belasan kelinci. Tapi mereka beda dengan anjing. Saya timbun keinginan itu, berharap kelak kalau sudah dewasa, saya ingin memilikinya. Tinggal dari rumah kos satu ke rumah kos lainnya, sangat mustahil saya wujudkan impian saya. Ketika saya bisa menempati sebuah rumah sendir

Mencari Orang Kampungan di Jakarta

Menurut Anda, area mana di Jakarta Raya ini yang masih layak di sebuat kampung? Apakah wilayah-wilayah yang masih menggunakan kata 'kampung' seperti Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Rambutan? Atau sebenarnya istilah kampung lebih tepat ditujukan pada masyarakat yang sikap, perilaku, dan pikirannya masih kedaerahan? Tak seorang pun mau dicap 'kampungan'. Karena kampungan, seseorang dianggap nyeleneh, 'beda' dari yang lain. Beberapa bulan terakhir, saya tinggal di sebuah wilayah bernama Cempaka Putih. Melewati sejumlah jalan empat meteran yang disesaki oleh parkiran, pedagang kaki lima, dan berbagai rongsokan seperti mobil tua, gerobak tua, pos kampling tua. Kesesakan itu, masih ditambah dengan mikrolet, bajaj, ojek, metromini, kendaraan pribadi, gerobak sampah, sepeda, dll. Sebetulnya, inilah potret Jakarta sesungguhnya. Cempaka Putih hanyalah sebagian sample saja. Bulan Agustus ini, saya banyak terkesima. Betapa sulitnya mencari jalan pulang! Sebagian jalan

Suicide .Com

Membaca detikom, ada dua berita bunuh diri yang saya baca hari ini, Senin, 27 Agustus. Pertama, kasus Apartemen Ambasador. Seorang ibu yang melompat dari lantai 35 bersama seorang anaknya yang baru berusia 2 tahun. Kasus kedua menimpa Owen Wilson. Aktor Hollywood yang populer, ganteng, kaya. Namun Owen berhasil diselamatkan. Sebagian besar orang menghindari kematian karena hidup begitu besar artinya. Kita berjuang dari mara bahaya agar selamat. Kita berobat ketika sakit biar bisa sembuh. Kita berdoa setiap ulang tahun agar dipanjangkan umur. Kita berhati-hati setiap saat agar bisa survive. Namun, ada saja yang ingin menjemput kematian agar segera datang. Tak kunjung datang, jalan pintas-lah yang mereka ambil. Sebagian dari kita akan dengan mudah menghujat betapa bodohnya orang-orang yang ingin mengakhiri hidup dengan membunuh diri. Tentu saja karena kita memegang norma agama yang sejak kecil menjadi dogma. Saya tak pernah mengalami depresi yang sangat sehingga perlu mematikan diri send

Indosat Sesat

Belum lama seorang perempuan muda (dari suaranya) menelpon. Memperkenalkan diri, mengaku dari Indosat Matrix. - Selamat siang. Nama saya ..., dari Indosat. Apakah Bapak bernama Usep Suhud? + Ya. - Apakah Bapak beralamaat di bla bla bla... + Ya. - Saya sedang melakukan pencocokan data, barangkali data Bapak ada yang berubah. + Silakan. - Apakah tanggal lahir Bapak masih tanggal ... bulan ... tahun ...? + Eit? Anda dari mana tadi? Apakah percakapan ini direkam? - Ya, Pak. - Pertanyaan aneh. Bilang kepada Supervisor atau Manager Anda, jangan pernah ajukan pertanyaan bodoh seperti itu. Sejak kapan ada orang punya tanggal lahir berubah-rubah? Saya tak percaya kepada Anda. [Saya curiga modus operandi seperti ini. Seseorang menelpon berlagak mencocokkan data kita. Biasanya pemilik data (contoh, Indosat) menjual data kepada pihak lain, seperti perusahaan asuransi, membership club atau hotel, kartu kredit, dll] - Jika Bapak tak percaya, silakan hubungi kami, Wisma Antara lantai 8, telpon 30070

Lirikan Si Buta

Kerap kali kita menjuluki orang lain dengan ciri-ciri fisik yang mereka miliki: Pitak, Panjul, Gendut, Gepeng, Pesek, Item, Dekil, Kucai, Kribo, Bule, Bencong, Pincang, Jereng, Jenong, Ginong, Petet. Bahkan ada seorang sahabat yang karena sudah sangat besar tak juga disunat kami namai Si Kulup. Atau memplesetkan nama-nama sahabat kita menjadi sebuah nama baru yang menurut kita lucu. Apalagi jika ditambah dengan sifat-sifat atau tindakan konyol yang pernah dilakukan atau terjadi oleh sahabat kita itu. Rinjud: Rini Judes, Ema Pelit, Suteja: Suka Tete Janda, Santi Suge: Susu Gede. Atau kita memanggil mereka dengan nama orang tuanya. Seusia sekarang, saya betul-betul menghindari tindakan-tindakan yang mungkin bisa berdampak buruk bagi diri saya sendiri maupun orang lain. Saya masih sering mendengar, entah untuk lucu-lucuan, enatah untuk mengakrabkan diri, entah sengaja untuk menyakiti perasaan, beberapa dari sahabat saya memanggil sahabat lainnya tidak dengan nama sesuangguhnya. Waktu keci

A Lesson Named Vietnam

Traveling ke luar negeri telah menjadi agenda tahunan saya. Bahkan kadang setahun bisa dua kali. Bukan karena banyak uang seperti banyak orang sangkakan. Kalau sudah menjadi kebutuhan, siapa pun akan setuju bahwa kebiasaan ini memang perlu terus dilakukan. Bukan traveling dengan gaya kelas atas, cukup backpacking. Jika dibandingkan dengan turis-turis di Jakarta, tak jauh seperti yang terlihat di Jalan Jaksa. Perjalanan yang penuh dengan kesederhanaan. Seringnya pergi sendiri. Pernah pergi berdua dengan sahabat, pernah pergi dengan banyak sahabat. Namun sendirian memiliki kemerdekaan yang berbeda. Lebih sedap. Lebih pol. Namun kali ini saya pergi tidak sendiri. Saya memilih istri saya sebagai travelmate. Saya bukan menikahi seorang polwan dengan segala kecekatannya. Saya bukan menikahi seorang pecinta wisata alam yang selalu siap dengan segala cuaca dan kondisi. Bersama para perempuan yang pada tahun-tahun terakhir ini telah menjadi sahabat yang amat diandalkan, yang pernah melew

For A Reason, for A Season, Forever

Mestinya saya punya hubungan baik dengan Bapak. Tapi saya terlalu 'membalas' kekakuan Bapak. Hubungan kami jadi aneh. Saya menilai mestinya Bapak yang membuat hubungan bapak-anak menjadi mesra, bukan saya. Mestinya ia tak perlu terlalu sok menjadi seorang bapak sehingga semuanya mesti ia yang mengatur, ia yang memutuskan. Ia tak perlu menjadi sok melindungi, sok memilihkan. Beberapa tahun setelah meninggalnya Bapak, saya baru berpikir. Mengapa bukan saya saja yang mengalah? Mengapa bukan saya saja yang berinisiatif memulai semua percakapan? Tanya tentang apa saja. Bisa yang serius atau sekedar basa basi. Misalnya: Apakah air irigasi lancar? Kapan panen okra lagi? Bagaimana harga pupuk sekaran? Apa kabarnya Oom Anwar, ya? Kapan terakhir ke dokter, perlu diantar untuk medical check up? Bla bla bla. Saya tak lagi punya kesempatan bermanis-manis seperti itu terhadap Bapak. Tak akan pernah lagi. Tinggal Ibu yang kini menjadi orang tua. Saya tak mau penilaian saya kembali sala

Oleh-olehnya, Ya...

Sampai saat ini, masih saja ada orang yang entah memang berharap saya membelikan sesuatu untuknya atau karena kebiasaan berbasa-basi setiap kali tahu saya akan melakukan perjalanan. Seorang sahabat yang selalu tahu saya mau kemana, selalu menitip ini itu. Bahkan jika saya keluar seratus meter dari rumah. Beberapa kali, saya tega mengatakan tak mau membelikan buah tangan apa pun. Itu setelah saya membaca sebuah artikel di majalah tentang bagaimana menghadapi orang-orang yang suka celamitan minta ini-itu dari kunjungan kita ke berbagai tempat. Dampaknya dasyat. Saya diboikot dan dimushi.Orang Indonesia terlalu berperasaan. Membelikan oleh-oleh, dulu-dulu masih sering saya pertimbangkan. Misalnya untuk orang rumah, untuk sahabat di kantor, untuk sahabat satu gank, hingga siapa pun yang menitip. Namun ketika bepergian menjadi bagian dari gaya hidup, saya tak ingin melakukannya lagi. Bayangkan jika dalam satu bulan saya memiliki jadual jalan-jalan. Berapa anyak uang yang harus saya sed

Mendadak Prencong di Hanoi

Salah satu kendala selama berada di Hanoi adalah bahasa. Sedikit sekali orang bisa berbahasa Inggris. Bahkan banyak orang yang terlihat dengan dandanan perlente pun ketika ditanya "Speak English?", rata-rata menggelengkan kepala.Jadi, apa yang bisa saya harapkan dari para perempuan pedagang asongan penjual hasil bumiyang terlihat ndeso itu? Jika saya ingin membeli sesuatu, saya hanya akan menunjuk barangnya. Lalu memberi isyarat dengan menggesek jari jempol dan telunjuk. Dengan dandanan yang tidak seperti warga Hanoi pada umumnya, mereka akan mudah mengenali kalau saya warga pendatang. Para pedagang biasanya akan mengeluarkan uang di dompetnya sebanyak harga barang yang saya tunjuk. Ketika ingin menawar, lagi-lagi bahasa isyarat saya pergunakan. Senang rasanya jika dengan problem bahasa sebesar itu akhirnya bisa menawar barang yang ingin saya beli. Meskipun sedikit. Satu hal yang melegakan, jika bertemu dengan pedagang atau penjual jasa yang usianya sudah sepuh. Banya

Hanoi, Eventually

Ketika saya tanya dokter kandungan apakah aman membawa isteri saya yang sedang hamil muda terbang? Dokter bilang aman saja. Asal dipastikan bahwa kandungannya kuat. Tapi ia sendiri tak memberikan lampu hijau. Namun begitu, ia memberikan obat penguat kandungan. Kami merencanakan bulan madu ke Vietnam pertengahan Agustus ini, setelah lima minggu pernikahan. Tapi siapa duga, belum juga pergi, isteri saya sudah dinyatakan positif hamil. Tentu saja kami sangat bersyukur. Namun dampaknya kami perlu mempertimbangkannya terus. Isteri saya menyatakan tidak akan ikut. Karena isteri tak ikut, saya pun memilih membatalkan trip saja. Dalih saya, susah senang kami akan bersama. Dan lagi, kesempatan trip ke Hanoi atau kemana pun, bisa kami lakukan kapan saja. Tapi kesempatan memiliki bayi, tak bisa kapan saja. Kami sepakat untuk tidak pergi. Beberapa sahabat yang mendengar kabar ini ikut prihatin, namun tak bisa berbuat apa. Sebagian dari mereka menganjurkan tetap pergi karena kemungkinan akan

Soulmate Itu Diciptakan, Bukan Ditemukan

Padahal saya sedang asyik melanjutkan tidur akhir pekan itu, Istri minta ditemani ke pasar tradisional dekat rumah. Cuma untuk membeli seikat buncis, bumbu dapur, ayam bumbu, dan sepotong tempe. Saya pause dvd player -nya. Ah, nonton kan bisa kapan saja. Padahal saya sedang tenggelam dalam sebuah buku, Istri mengajak ke pesta perkawinan seorang tetangga. Padahal saya ingin sekali hadir penuh waktu di sebuah reuni SMU. Bayangkan, belasan tahun saya tak bertemu dengan sahabat-sahabat lama! Pada waktu bersamaan, Istri memiliki janji dengan dokter kandungan. Maka saya hanya bisa hadir sekejap dan pamit justeru ketika acara sedang seru-serunya. Padahal, kapan pun saya mau, saya minta Isteri melayani syahwat saya. Padahal, setiap Senin-Kamis dini hari Isteri akan bangun untuk memasak dan menghidangkan sahur untuk saya. Padahal setiap tengah malam, Isteri membangunkan saya untuk sembahyang malam. Pengorbanankah? Sama sekali bukan. Saya menyadari bahwa komitmen berpasangan adalah pembunuhan eg

Foke Disambut Gempa

Kemenangan Fauzi Bowo atas Adang Daradjatun dalam Pilkada Langsung DKI Jakarta disambut dengan gempa bumi berkekuatan 7,6 skala richter. Luar biasa, bagaimana semesta menyambut suka cita Foke dan pendukungnya ini. Saya bukan pemilik KTP Jakarta. Saya merasa beruntung karena tidak perlu terlibat dalam urusan coblos-menyoblos. Masalahnya, tak ada calon yang memenuhi kriteria saya. Seperti biasanya, mungkin saya akan golput. Namun, seorang ustadz yang dakwahnya pernah saya lihat di layar tv, tetap menyarankan untuk pergi ke tempat pemungutan suara. "Pilihlah yang terbaik di antara yang kurang baik." Ustadz tersebut menjawab sebuah pertanyaan dari seorang pemirsa. Saya menduga bahwa pemirsa tersebut kala itu sedang bingung memilih apakah Foke yang begitu atau Adang yang begitu juga. Saya meramalkan kepemimpinan Foke akan mendapat banyak masalah. Selain dari musibah alam yang sulit dikendalikan dan makin tak terkendalikan, pun rongrongan dari para pendukungnya sendiri. Semua piha

Di Antara Dua Cinta

Waktu industri film kita masih berjaya, tiap tahun bisa diproduksi puluhan hingga ratusan judul film. Saking banyaknya, judul-judul film itu bisa gabung-gabung dan dijadikan bait puisi. DI ANTARA DUA CINTA entahlah di hatiku masih ada DUA KEKASIH yang keduanya begitu istimewa di hati bagiku mereka adalah DOEA TANDA MATA yang sangat berharga padahal USIA 18-ku sudah lewat jauh namun aku tetap saja belum bisa memutuskan apakah aku akan memilih Arini, si PERAWAN DESA atau Mer, si GADIS MARATHON aku jadi ingat masa-masa KETIKA MUSIM SEMI TIBA saat pertama kali bertemu si PERAWAN DESA yang adalah putri dari seorang sopir TAKSI bernama NAGA BONAR tiap hari aku melakukan SERANGAN FAJAR untuk meluluhkan hatinya sambil membawa seikat KEMBANG KERTAS aku akan datang, DERU dan DEBU kuterjang hingga akhirnya LANGIT SEMAKIN BIRU hingga akhirnya KULIHAT CINTA DI MATANYA oh, gembiranya hatiku aku merasa seperti SATRIA BERGITAR yang menang perang apalagi aku merasakan GAIRAH PERTAMA yang memuncak aku m

A Father Wanna Be

Saya merasa begitu diberkati. Ketika Maret lalu berniat untuk mengakhiri hidup yang tak bertujuan, segalanya dimudahkan. Jiwa raga saya begitu ringan untuk menghadap-Nya. Jalan menuju setiap mesjid begitu 'lapang' dan 'dekat'. Ketika Mei minta dipertemukan dengan jodoh saya, dalam waktu singkat, Allah mengirimkan satu. Ketika Juni saya pasrah, minta diijinkan untuk menikah dalam waktu dekat, maka terjadilah di bulan Juli. Saya ingin lebih khusu beribadah. Menurut saya, menikah adalah salah satu caranya. Karena niat ibadah itu, setiap tindakan baik saya dalam membina rumah tangga akan berpahala. Insyaallah. Sejak malam pertama hingga malam-malam berikutnya, saya tak berhenti meminta bantuan Allah agar diberi keturunan: Jika tak ada, mohon adakan. Jika masih jauh, mohon dekatkan. Jika sulit, mohon mudahkan. Bulan Juli belum usai. Mestinya saya dan isteri mengikuti sebuah trip bersepeda di luar kota dengan sejumlah sahabat. Seorang sahabat mengingatkan saya agar melakukan

Bye Bye Tarot

Saya memiliki kebiasaan baru: naik bis! Banyak rupa pengalaman yang saya peroleh selama perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satunya adalah pengamen dakwah. Pada rute dan sekitar waktu yang sama, 'pendakwah' ini berdiri lama di atas bis berpidato layaknya para ulama di mimbar-mimbar mesjid. Kira-kira tiga kali ia menemani perjalanan saya. Suaranya keras, tegas. Tiap pertemuan topiknya berbeda. Sekali-sekali ia mengutip ayat-ayat suci Al Quran. Sahabat saya yang biasanya jalan bareng, berkomentar: "Dakwah kok, untuk cari uang." Saya heran juga, mengapa ia tak berkarir dari mesjid ke mesjid saja. Namun belakangan saya sudah jarang bertemu dia. Terakhir yang saya ingat, dia menggunakan pakaian yang sungguh nyentrik jika dihubungkan dengan pekerjaannya sebagai pengamen dakwah. Pakai topi haji warna gelap, kaos polo berukuran besar, celana denim ketat warna merah tua, dan sepatu casual sewarna denimnya. Saya sangat ingat mengenai isi pidato terakhirnya. Ia