Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2007

Speak to Me: Happy Nu Year

Menghitung menit. Tahun akan berganti. Apa yang saya inginkan namun belum tercapai? Apa yang sudah saya mulai kerjakan namun belum selesai? Banyak kerjaan yang belum rampung. Memang. Padahal mungkin idealnya selesai jauh-jauh hari. Agar tahun baru, biarlah hanya pekerjaan baru saja yang boleh saya kerjakan. Namun sepertinya saya masih harus menyelesaikan beragam pekerjaan yang tak kunjung selesai karena terlalu lama saya mengerjakannya. Tidak serius, tidak fokus, dan membiarkan semua pekerjaan tertunda. Banyak hal yang saya inginkan namun belum tercapai karena usaha saya untuk mendapatkannya tak optimal. Terlalu santai, kurang energi. Karena banyak alasan mengapa keinginan-keinginan itu belum juga terwujud. Seyogyanya, awal tahun perlu saya selesaikan semua hutang pekerjaan. Seperlunya, saya capai semua keinginan yang belum tercapai. Di awal tahun depan. Agar tahun baru, biar hanya pekerjaan baru dan keinginan-keinginan baru yang ada. Selamat tahun baru, Usep Suhud!

What A Friend We Have In Ibu Pertiwi: Skandal?

Saya sedang menonton film Korea bersetting Amerika denga judul 'Never Forever'. Pada hampir selesai film tersebut, digambarkan sejumlah jemaat sedang menyanyikan lagu "What A Friend We Have In Jesus" dalam sebuah gereja. Since i am not cristian, saya langsung browsing. Lagu tersebut mirip sekali iramanya dengan salah satu lagu nasional yang kita selalu kita nyanyikan dan banggakan dulu. Iya, dulu. what a privilege to carry everything to god in prayer o what peace we often forfeit o what needles pain we bear all because we do not carry everything to god in prayer Saya yang baru bangun dan baru denger lagu tersebut atau memang ini skandal lama penjiplakan lagu? Please check this site http://www.geocities.com/Heartland/Lake/3888/Prayerintroduction1.html

Selamat Tinggal Kebebasan

Suatu ketika, saya tiba-tiba merasa sangat sendu. Jakarta melompong kehilangan warga, jalanan ompong. Satu per satu sahabat mengabari mereka ke sana-sini menghabiskan waktu berlibur. Saya? Di Jakarta saja. Ada sesuatu yang hilang. Saya merasakan sekali itu. Bayangkan, hampir setiap akhir tahun biasanya saya juga berada jauh dari rumah. Melanglang buana. Menikmati kesendirian. Meneguk kebebasan sedalam-dalamnya. Jujur, ada perasaan tersayat. Dan saya membiarkan rasa ini mengharubiru. Membiarkan nelangsa ini menyudutkan. Sejurus kemudian, saya perlu menyadari. Apa yang sudah saya raih bukanlah sesuatu yang harus saya sesali. Bukan hal mudah dan murah bisa saya daki bukit kehidupan hingga setinggi sekarang. Akhir tahun ini saya di rumah menemani istri yang kepayahan menjaga kandungan, akhir tahun depan saya kan bisa ajak istri dan anak saya bepergian. Ah, saya lalu berkhayal tentang perjalanan yang akan kami jalani bersama. Bayangkan kerepotan membawa momongan dalam sebuah traveling. Tapi

It's Cristmas

Mengisi liburan natal, saya dan isteri bawa tiga keponakan ke Atrium Senen, mal paling dekat dari rumah.

Periksa Mata

Dokter kandungan bilang, sangatlah beresiko jika melahirkan dengan jalan normal jika kondisi mata minus tinggi, khususnya minus 6 ke atas. Dokter menyarankan untuk operasi cesar agar terhindar dari resiko kebutaan. Saya mengantar isteri untuk chek kesehatan mata di RS Islam, Cempaka Putih. Minus lima. Alhamdulillah, masih aman untuk melahirkan normal.

Good By, Mbe...

Kambing-kambing ini akhirnya harus mengikhlaskan diri dipotong untuk perayaan iedul adha. Alhamdulillah, tahun ini saya bisa berkurban lagi. Insyaallah, tahun-tahun mendatang pun bisa.

Mereka-reka Resolusi

Sudah buat resolusi untuk tahun depan? Saya sedang mereka-reka. Mau ini, mau itu. Pingin ini, pingin itu. Banyak sekali. Mulai dari yang besar-besar, sampai yang kecil-kecil. Ah, saya ingin bisa main gitar. Bisa main gitar, kayaknya sedap sekali. Belajar sendiri ternyata bukan type saya. Perlu ada yang supervisi. Supaya disiplin dan tertib. Tiga atau empat tahun lalu saya pernah masuk kelas musik, gitar klasik. Tapi membosankan. Bukan klasiknya, tapi sistem pengajarannya. Bayangkan, kelas hanya berlangsung tiga puluh menit per sesi. Baru mulai sudah habis waktunya. Lalu berhenti. Kini saya mulai lagi belajar. Mengundang guru ke rumah. Seminggu tiga kali selama satu jam, yang gombrang-bambreng langsung memainkan lagu! Sedikit teori, praktek banyak. Iyalah. Saya kan tidak bercita-cita jadi pemusik. Sekedar ingin bisa saja. Maklum dulu waktu saya kecil, banyakan main di sawah dari pada belajar gitar. Resolusi lain, ada. Tapi tak ingin saya tulis di sini. Tentu saja sesuatu yang serius dan

Watch Out! Something is Coming to You!

Sesuatu yang entah apa tiba-tiba menyundul-nyundul pikiran. Saya berusaha menepis tapi terus mengganggu. Saya ambil nafas sejenak, konsentrasi. Saya tahu harus menghubungi siapa saat itu juga. Seorang sahabat saya mendengarkan dengan seksama ocehan saya. Karena dia pernah tahu tentang 'kebisaan' saya, obrolan langsung nyambung. Tepatnya, saya memberi peringatan kepada dia: Sesuatu tengah menghampiri dia. Tapi saya tak tahu apa. Hati-hati saja. Tak seberapa lama setelah telepon ditutup, saya kembali menghubungi dia: Sesuatu yang buruk! Lakukan ini, lakukan itu. Hindari ini, hindari itu. Sayangnya, saya tak bisa memprediksi sesuatu itu akan datang seberapa cepat. Hingga sahabat saya itu belum sempat melakukan instruksi saya. Sesuatu yang buruk itu memang benar-benar datang. Saya hanya bisa menghela nafas. Peringatan lain saya terima untuk seorang sahabat saya yang lain: Kamu akan mendapatkan undangan untuk pergi ke daerah selatan. Ambil kesempatan itu karena kamu mungkin akan ber

Nama Indah Itu untuk Anak Kami

Tidak biasanya, badan saya merinding tak putus-putus ketika membaca salah satu surat Al Quran. Karena penasaran, segera saya buka terjemahannya. Surat itu bernama Ar Ra'd. Saya tak mengerti apa yang sedang terjadi dan tak tahu apa hubungannya. Namun tiba-tiba saya menemukan sebuah kata indah untuk saya jadikan nama dari calon anak saya. Kata itu saya simpan untuk kemudian akan saya hadiahkan untuk si buah hati jika waktunya tiba. Istri saya menyodorkan nama ini, kami catat. Saya memberikan nama itu, kami catat. Semua alternatif dikumpulkan. Saya sendiri pernah berucap, semoga suatu saat nanti akan mendapat petunjuk nama bagi si jabang bayi. Memasuki bulan kelima, saya dan istri memang sedang membuat daftar nama untuk bayi. Belum tahu jenis kelaminnya, jadinya masih berspekulasi. Tapi sebetulnya, kami memang tak merasa perlu tahu sebenar-benarnya jenis kelamin si jabang bayi. Kami tak ingin memilih mana yang paling kami suka antara bayi perempuan atau lelaki. Ketika kata itu membent

Mengalir? Mengalir Seperti Apa?

Banyak dari kita berucap, 'Saya menjalani hidup ini mengalir saja seperti air...'. Hal yang sesungguhnya tidak dimengerti sama sekali oleh si pemilik ucapan. Mengapa harus mengalir seperti air? Mengapa mengalir? Bagaimana mengalirnya? Mengalir kemana? Mengapa harus mengalir terus? Capek, dong!? Manusia yang memiliki prinsip hidup mengalir itu tidak ngoyo. Dapat yang dia mau syukur, tidak dapat pun tetap bersyukur. Tidak ada kata 'harus'. Hanya seperlunya. Saya perlu menjadi orang kaya, bukan harus. Saya perlu mendapatkan projek, bukan harus. Saya perlu pintar, bukan harus. Saya perlu memiliki pasangan, bukan harus. Manusia yang memiliki prinsip hidup mengalir itu bijaksana. Tidak memihak, adil, dapat mengukur kemampuan diri sendiri, low profile, dapat menyesuaikan diri. Bergerak ketika waktunya bergerak, diam ketika waktunya diam. Saya selalu menyebut prinsip hidup saya mengalir. Mengalir seperti angin. Membumbung ketika waktunya membumbung, merendah ketika waktunya mer

Belajar Main Gitar Lagi, Ah

Di antar dua keponakan dan istri ke Artha Gading Mal. Mumpung punya semangat untuk belajar gitar lagi, saya berkemas mencari gitar baru. Tapi barang yang saya cari adanya di Mal Arion.
Ibu sakit di kampung halaman di Bogor. Saya dan isteri menjenguk beliau. Sambil menikmati pagi yang sejuk, saya antar isteri berkeliling. Berjalan di pematang, menyebrang sungai, melintas perkampungan...

Sakit Mendekatkan Kita pada Kematian

Partner kerja saya pamit mau ke luar kota untuk menjenguk ayahnya yang masuk rumah sakit karena mesti dirawat akibat sakit paru-paru. Kabar mengejutkan juga saya terima mengabarkan ibu saya kena serangan asam urat. Seorang sahabat kecil saya mesti operasi karena tulang tumitnya retak. Dari London, sahabat saya mengabarkan ibu dari sahabat saya lainnya siap-siap juga masuk rumah sakit karena sakit yang dideritanya. Sakit bukanlah kabar baik. Sekali, saya pernah dirawat di rumah sakit. Saya merasa itu cukup. Sejuta janji untuk menjaga kesehatan saya umbar. Sakit itu merepotkan. Sakit membuat kita perlu menunda semua rencana. Sakit itu menguras persediaan uang. Sakit itu menyusahkan orang-orang di sekitar kita. Saat sakit kita bisa melihat bagaimana hubungan kita dengan orang-orang yang sebenar-benarnya. Saat sakit kita bisa melihat refleksi doa dan kasih sayang dari orang-orang yang kita kenal. Sakit mendekatkan kita pada kematian. Siapa sangka, begitu kita masuk rumah sakit, sebetulnya

Ikhlas Itu Susah Sekali

Seumur hidup, kerap saya berhadapan dengan orang-orang yang sangat di luar dugaan tabit dan perilakunya. Ada yang serakah main caplok jatah orang lain, ada yang sok tahu melebihi yang tahu, ada yang susah diatur dan mengatur diri, ada yang sensitif gampang ngambek, ada yang berkhianat... Sebagus-bagus saya menahan diri untuk selalu sadar agar sifat aseli saya tak muncul, sering kali saya kalah. Menghadapi orang-orang demikian, tak jarang saya terpancing untuk meladeni. Jadi senewen, jadi sebal, jadi uring-uringan, jadi mengutuk, jadi ikutan marah. Saya bukan mereka. Saat mereka berperilaku 'aneh', saya selalu mengingatkan diri untuk tidak ada pada level rendah mereka. Saya harus menarik diri ke level yang lebih tinggi. Supaya tak terbawa arus antipositif. Namun selalu gagal. Sekali dua, saya berhasil mengekang diri. Mengupahi dengan seribu kata mutiara. Saya harus bisa mengendalikan situasi, bukan ikutan bermain dalam luapan ketidakberkualitasan sikap dan sifat. Saya tak boleh

Sesaat Kemudian, Gelisah Istri Saya Hilang

Malam sudah larut. Angka jam sudah memasuki hari baru.Saya masih berkutat dengan segala macam pekerjaan. Melirik isteri saya gelisah di atas pembaringan, membuat hati saya miris. Perutnya yang berisi buah cinta kami, terlihat menggunung, memanggil untuk dibelai. Ah, berdosa rasanya. Mengutamakan pekerjaan padahal ada hal yang lebih penting. Segera saya matikan notebook, memberesi berbagai dokumen. Lalu mengambil ambil wudlu, terus sembahyang malam. "Ya, Allah. Terimalah ibadah malamku ini, sebagai rasa syukur yang tiada terhingga atas segala kenikmatan yang telah Engkau berikan." Saya beranjak ke tempat tidur. Menarik tubuh isteri saya ke pelukan. Sesaat kemudian gelisahnya lenyap. Terima kasih, Tuhan.

Rindu Menulis

Tentu saja menulis itu perlu konsentrasi. Perlu energi khusus. Ketika jadual pekerjaan sedemikian ketat, sulit buat saya untuk bisa duduk manis sejenak saja dan menulis. Ah, sebenarnya saya tak benar-benar berhenti menulis. Beberapa kali saya menghasilkan tulisan. Tapi entah, belum sreg untuk saya pos-kan. Bismillah. Saya ingin memulai lagi.

Nikmat yang Dijegal

Tertangkapnya Fariz RM dengan lintingan ganja oleh para penjaga keamanan kota, benar-benar membuat saya tertegun. Bagaimana jika hal itu terjadi pada saya? Bagaimana keluarga, bagaimana para sahabat, bagaimana pekerjaan-pekerjaan yang sedang saya kerjakan yang melibatkan begitu banyak orang? Dengan dikurungnya musisi itu dalam tahanan, secara otomatis ia akan dicabut paksa kebebasannya. Kemerdekaannya! Ah, saya yang hidup di alam bebas saja kadang merasa kurang merdeka karena tidak leluasa berbuat semau saya. Apalagi dalam tahanan. Semoga tak pernah terjadi pada saya, keluarga, para sahabat, dan semua orang yang saya kenal. Akan menyakitkan dan menyedihkan tentu. Beberapa lama saya tertegun. Betapa sesungguhnya pria berdagu lancip itu mestinya bersyukur. Jika membakar ganja dan mengisapnya tak ia sadari sebagai sesuatu yang keliru, mungkin dengan peristiwa ini ia akan menghentikan aktivitasnya itu. Jika selama ini ia merasa kurang mendapat cinta dan perhatian, maka dengan kejadian ini

Tak Apa Saya Dipenjara Karena Bersedekah

Seberapa dalam simpati yang Anda miliki terhadap para pengamen dan pengemis jalanan? Seberapa besar pahala yang Anda harapkan dari bersedekah atas umat yang kurang beruntung itu? Lantas, bayangkan seberapa besar dampak sosial yang diakibatkan oleh aktivitas 'memberi dan menerima' itu? Hari demi hari, minggu demi minggu, tahun demi tahun. Apa yang Anda lakukan adalah pembiusan sumber daya manusia, pengrusakan mental permanen, dan bukannya mengangkat mereka dari kesulitan hidup, tapi justeru menjerumuskan mereka ke dalam jurang kemiskinan lebih dalam lagi. Terlebih yang Anda lakukan merupakan pemiskinan hati dan jiwa. Sekian lama saya menahan diri untuk tidak bermurah hati kepada para gelandangan, pramuwisma, pengamen, dan orang-orang jalanan lain yang menengadahkan tangan meminta belas kasihan. Saya menguatkan diri untuk tidak trenyuh. Alasan yang saya buat sedemikian kokoh. Namun adakalanya, saya masih juga saya bersedekah sekedar menyumbangkan lembar-lembar ribuan. Ta

Pergilah ke Selatan

Jika ada undangan untuk melakukan perjalanan ke arah selatan ambil kesempatan itu, kata saya suatu ketika pada seorang sahabat. Untuk apa? Akan ada apa? Mengapa selatan? Mengapa saya? Saya sudah bersiap dengan sederet pertanyaan balik yang mungkin akan diajukan oleh dia. Tapi dia sama sekali tak mengajukan pertanyaan. Ia hanya bilang, ya. Saat ini dia punya rencana ke sebuah tempat di selatan yang sedang dipertimbangkan untuk dia ambil. Tentu saja saya tak tahu dengan segala rencana sahabat saya itu untuk pergi ke sana-sini karena ia tak melulu memberi laporan, kecuali ia ingin merubah jalan hidupnya. Maka sejak beberapa saat lalu, saya mencoba 'mengarahkan' dengan mengandalkan rasa keenam yang saya miliki secara tiba-tiba ini. Memotong rambut, tak melakukan kebiasaan yang sama, pergi ke suatu arah tertentu, memperbaiki hubungan dengan ibu, berdamai dengan saudara kandung, merupakan petunjuk-petunjuk yang kadang saya terima untuk mengarahkan sejumlah sahabat agar melakuk

Mengapa Ibu Menolak Kekasih Kita?

Seorang sahabat sedang kalut. Niatnya untuk menikah dengan pujaan hatinya sudah di ubun-ubun. Namun sang bunda tak memberi restu dengan sederet alasan. Sahabat saya yang lain tiba-tiba jatuh cinta. Mama tercinta tiba-tiba mengibarkan bendera merah. Pilihan hatinya tak disetujui. Mengapa Ibu-ibu kita selalu ikut campur dengan urusan pribadi anak-anaknya, ya? Apakah karena beliau-beliau ini merasa telah melahirkan dan membesarkan lalu merasa punya hak untuk melarang ini dan itu? Suatu ketika saya berpacaran dengan seorang gadis yang berbeda keyakinan. Ibu saya baik-baik saja dengan dia. Menjalani hubungan itu, saya merasa tenang karena baik dari perkataan maupun perilaku, Ibu saya tak menunjukkan penolakan. Namun ketika hubungan kasih saya putus dengan gadis itu lalu saya memberitahu Ibu, Ibu bilang: "Oh, syukurlah." Dari penjelasannya, saya paham betul isi hati dan kepala Ibu. Ibu tak keberatan saya atau anaknya lain berpacaran dengan siapa saja. Namun Ibu tak akan pernah setu