Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2007

Si Koneng

Ketika siap melakukan trekking sepanjang kurang leibh 7 Km antara pantai selatan Karang Ranjang menuju Teluk Lame di pantai barat Jawa Barat, tanpa saya sadari, saya menggunakan kaos kuning dan pelindung kaki berwarna kuning pula. Sejumlah peserta Jungle Trek berkomentar. Katanya, saya sengaja mitch and match. Padahal, sumpah amat tak terpikirkan oleh saya. Well, saya sedikit membuka rahasia kecil. Sebelumnya, hal ini pun tak saya sadari. Ketika satu per satu sahabat saya mengingatkan bahwa saya terlalu sering membeli barang yang berwarna kuning, saya baru meyadari. Masya Allah! Saya bongkar lemari. Mulai dari kemeja kerja, celana olah raga, kaos, handuk, kaos kaki bola, alat tulis, sprei, sepatu, jas ujan, rantang makan, botol minum, ini itu... serba kuning! Yeah, sesungguhnya kamar tidur saya juga berwarna kuning. Jadilah saya si Koneng yang tak pernah bisa lepas dari warna kebangsaan ini.

Casualties in Travelling: Buang Gas

Dalam setiap trip yang saya ikuti, selalu saja ada cerita lucu. Kali ini soal kentut. Selama perjalanan pulang dari pendakian gunung Merbabu tahun lalu, kaki saya menjadi sangat lemas dari biasanya. Bukan karena sudah terlalu lelah. Bayangkan, hampir semua kawan sependakian berjalan berbaris di parit kecil yang tak mulus sambil kentut bersahut-sahutan! Padahal jarak kami sangat berdekatan dan baunya..., please, deh. Masih seputar kentut. Pada acara Jungle Trek lalu juga, hal lucu terjadi ketika acara snorkling. Saya sudah kembali ke kapal dan mengeringkan badan. Ada dua orang peserta cerah ceria timbul tenggelam menikmati pemandangan bawah laut di sekitar kapal. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara dentuman keras. Saya menoleh ke bawah. Tiba-tiba terlihat gelembung udara besar-besar dari balik celana salah seorang penyelam itu. Oh, itu rupanya. Saya lega, kirain ada ikan buntal meletus.

Rumah Nenek Sihir di Tengah Hutan

Lintasan Jungle Trek Ujung Kulon melewati sebuah pondok bilik. Di antara rimbun belukar, saya melihat seorang nenek sedang memunguti kayu bakar. Tiba-tiba saya teringat dongeng Ibu saya setiap malam menjelang tidur. Ibu saya mendongeng bukannya tanpa pamrih. Ketika semua PR selesai saya kerjakan, beliau biasanya minta saya dan Kakak untuk memijat badannya. Saya bagian kaki, Kakak bagian tangan. Gadis kecil yang malang itu tersesat di tengah hutan. Ia sudah mencoba segala arah namun jalan pulang sepertinya semakin sulit ditemukan. Hari mulai gelap, ketakutannya makin menjadi-jadi. Suara-suara aneh makin mengepung di sekelilingnya. Ia menangis sendiri. Namun hingga air matanya kering pun, tak ada seorang pun yang melintas. Hutan itu terletak tak jauh dari rumahnya. Bahkan Ibu dan Bapak anak itu sering mencari kayu bakar dan berburu ke hutan ini. Sesekali ia pernah di ajak pergi. Beberapa kali Ibunya telah memeperingatkan gadis kecil itu agar tak masuk ke hutan sendirian. Namun b

Be Me or Somebody Else

Tinggal di Jakarta dengan berbagai profesi, membuat saya kadang sulit untuk menjadi diri sendiri sepenuhnya. Berusaha wajar, namun adakalanya lingkungan menuntut saya berlaku tidak begitu. Lelah berperilaku serba diatur, saat yang paling ditunggu adalah ketika week end tiba. Apalagi jika kemudian saya berkesempatan untuk melakukan trip ke luar kota. Saya bisa sangat menjadi diri sendiri atau radically, i change myself to be somebody else! That's so fun. Beberapa kali saya mencat pirang rambut ketika saya keluar kota, hal yang jika saya lakukan di Jakarta akan sangat membatasi gerak. Saya bisa tidur selonjoran di lorong subway sambil menikmati aroma musim dingin, berbikini mini di sepanjang boulevard sebuah kota pantai, menginap di kamar losmen penuh kecoa atau sekedar berbusana aneh penuh aksesoris a la mardi grass hingga mengunjungi bar-bar murah yang penuh dengan penari streaptease telanjang bahkan go go boy dancers. Saat-saat seperti itu, saya bisa berekspresi sebebas

I've Got Friends

Saya mencoba mengurai terjalinnya network pertemanan saya dengan sejumlah komunitas. Milis tanpa komunitas atau komunitas tanpa milis, sangat sulit dipisahkan. Saya memilih beberapa keywords untuk topik ini: photography, internet, out door activity , dan community . Maret 2003, saya bergabung dengan sekolah foto milik Darwis Triadi di Raden Saleh. Dari sana milis pertama saya ikuti. Dengan teman-teman sehobi, saya sering mencari lokasi untuk photo session . Mulai dari model, human interest, hingga landscape. Baik sekitar Jakarta maupun ke luar Jakarta. Sahabat saya bertambah banyak. Tak lama, komunitas Sahabat Museum berdiri. Karena pendirinya juga adalah siswa Darwis, hampir dipastikan mayoritas dari kami gabung juga di sana. Sebulan sekali kami keliling Kota memotret apa saja yang menarik perhatian. Sahabat saya kian bertambah banyak. Lalu saya mengendus ada milis bernama Indonikon. Saya gabung di sana. Selain ramai berdiskusi tentang fotografi di dunia maya, kami juga sering mela

Anti Mooo

Saya pemabok! Akut malah. Haha. Bukan mabok minuman keras, tapi mabuk darat dan laut. Untunglah ada Antimo yang selalu mengantarkan saya ke tempat tujuan dengan selamat. Seringnya, saya tak mau perduli dengan pemandangan selama perjalanan. Begitu saya duduk di kapal atau bis, saya akan terkapar tidur. Hal tesebut saya lakukan karena saya menyadari kekurangan saya: gampang mabok! Sejak kecil, Bapak sering mengajak saya bepergian. Meskipun setiap kali saya muntah, Bapak tak pernah kapok mengajak. Berikutnya untunglah, Ibu sering membekali saya dengan Antimo. Antimo sedemikian menancap dalam ingatan dan pengalaman. Hingga saat ini, saya ragu apakah ada produk obat anti mabok selain Antimo? Dengan teman-teman kecil dulu, saya suka bermain tepuk silang tangan sambil bernyanyi jingle iklan Antimo: Antimo obat anti mabok Mabok darat lautan udara Minumlah Sebelum Bepergian Antimo, menyegarkan perjalanan Anda Belakangan di televisi, Antimo beriklan meskipun tanpa iklan, Antimo tetap melaju tanp

Saya Mengoleksi Pasir Pantai dari Penjuru Dunia

Jika ditanya mana yang lebih saya sukai: laut, pegunungan, atau city scape ? Terus terang, saya tak bisa menjawab dengan lantang. Saya menyukai semuanya. Saya akan senang tersesat di belantara New York, sama senangnya ketika jumpalitan menyelamatkan diri di hutan seram Kilimanjaro. Saya akan menikmati hangat matahari di atas Nias, senikmat matahari Maldives yang membakar kulit. Namun laut selalu membuat saya larut. Saya suka menyelam di kedalaman atau mengambang di atas gelombang. Satu hal yang paling menyenangkan adalah saya mengoleksi pasir pantai dari segala penjuru dunia! Pasir pertama yang saya koleksi adalah pasir kemiri pantai Kuta, Lombok Selatan sekitar tahun 1998. Saya tak berhenti berdecak kagum. Sempat terpikir bagaimana pasir ini bisa terbentuk? Saya masukkan pasir itu dalam toples. Karena trip saya lanjutkan ke Bali, saya punya kesempatan untuk kembali mendapatkan pasir dari sejumlah pantai: Kuta dan Sanur. Rupanya, pasir Sanur dan Kuta Lombok memiliki kesamaan. Seorang s

Jungle Trek - Ujung Kulon, 23 - 25 Februari 2007

Saya memang sedang ingin melihat alam bebas. Saya rindu berada di petualangan. Lalu ketika sebuah pengumuman Jungle Trek ke Ujung Kulon mampir di buletin kalendar blog, saya langsung daftar tanpa pikir panjang. Dalam hati, semoga jadual pekerjaan bisa menyesuaikan dengan jadual piknik saya. Selang sehari, Yeyen, sahabat saya menelpon. Yeah, tambah bulat saja saya gabung dengan rombongan yang konon akan berjumlah 80 orang itu. Cuaca Jakarta akhir-akhir ini memang sangat tidak brsahabat. Bencana alam dari penjuru daerah di negeri kita pun tak kunjung berakhir sambung menyambung. Beberapa sahabat mengingatkan agar saya berpikir ulang. Saya menghargai nasehat mereka. Tapi sesuatu yang meletup-letup dalam dada begitu sukar dikendalikan. Saya hanya berdoa, semoga perjalanan ke Ujung Kulon tak menuai bencana. Setahun kemarin, saya memang lumayan banyak melakukan perjalanan ke luar kota. Namun melulu berhubungan dengan pekerjaan, seperti mengunjungi Aceh yang saya lakukan sampai empat kali. D

Ssst...! Ini Rahasia, ya!

Adakah rahasia yang tak terbagi? Saya pernah hidup dengan banyak rahasia. Sebetunya mungkin hanya ketidaksudian saya berbuka cerita dengan orang lain. Ketika menyadari hal itu hanya membuat saya tak leluasa, akhirnya saya ikhlaskan saja ada orang-orang yang tahu tentang saya. Saya pernah mengintip orang mandi. Ya, itu salah satu rahasia yang saya umbar. Saya pernah mencuri penghapus di Gunung Agung, itu juga rahasia saya. Saya pernah punya nilai D di salah satu mata kuliah. Saya pernah makan kue sus tak bayar di kanton sekolah. Saya juga banyak di taksir pria. Saya bukan seorang ekstrovert dari dulu. Hal-hal negatif yang menimpa saya, bisa sangat membuat saya down jika diketehui oleh orang lain. Saya menilai semua itu adalah rahasia yang harus ditutup rapat-rapat. Namun kemudian saya berpikir untuk tak mau terganggu dengan rahasia-rahasia. Saya bukan ingin mengundang semua orang untuk tahu segala sisik melik tentang diri dan hidup saya. Dalam hidup, tentu saja saya pernah mela

Bisul Saya Dipatuk Ayam!

Pagi ini saya sarapan dengan telur dadar, acar buncis, dan sepotong tempe goreng dari sebuah warung makan. Sarapan bagi saya adalah wajib. Saya sangat suka makan telur dadar. Waktu saya kecil, di belakang rumah, Bapak membangun kandang ayam negeri petelur sebagai bisnis sampingan keluarga. Ratusan butir telur kami panen setiap hari untuk kemudian saya pasarkan ke sejumlah warung dan restoran. Saya sering melihat Ibu memasak telor mata sapi atau telur dadar. Maka, jika mulut saya ingin memamah biak padahal uang jajan sudah habis dan jam makan sudah lama lewat, saya akan memungut satu atau dua butir telur dari kandang. Saya tuangkan ke dalam mangkok, masukkan garam, dan vetsin, lalu dikocok. Biar terlihat penuh, saya akan kocok terlalu lama-lama hingga berbuih. Saya juga kadang menambahi dengan tepung terigu. Hmmm, kueh dadar telur siap saya nikmati. Karena siang menjelang sore biasanya rumah sepi, saya akan sangat menikmati kue tersedap buatan saya itu sendirian. Seorang sepupu yang ser

AIG LIFE Sucks

The letter below was published by Jakarta Post, 22/02/07. This is my story, abused by an insurance company: Cancellation Of Policy without Notice by PT AIG LIFE What happens if a policy-holder submits a claim but the policy has been cancelled by the insurance company without notice? I have been a policyholder at PT AIG LIFE since July 2005, paying by credit card quarter-yearly. On January 25, 2007 I called the customer Service office at PT AIG LIFE when I realized that since I had received the policy, I had recieved any notification that I am still a member active customer. The Customer Service person who handled the case told me that my policy had been been cancelled by the company. The reason was the credit card I normally paid with had changed. I reacted by sending a complaint email to the Head of Customer Service Department on the same day, which was never responded to appropriately. A staff member just informed me that the email had been received and would be discussed. The staff

Blog Addict

Belum lama saya membongkar tumpukan buku tua di rumah. Saya mendapati belasan jilid buku harian yang sejak duduk di bangku SMP sudah rutin saya isi. Saya sempatkan diri untuk membuka halaman demi halaman, jilid demi jilid. Ah, rupanya saya pernah menyukai teman sekelas. Ah, rupanya saya pernah ditaksir kakak kelas. Ah, rupanya saya pernah sangat kesal sama ketua kelas. Ah, saya pernah dijudesin sama guru bahasa. Hingga masuk SMA, lalu kuliah, kebiasan itu tak bisa hilang. Bahkan setelah masuk kerja pun. Rupanya saya pernah sangat tertekan dengan perlakuan atasan saya waktu itu. Saya juga pernah sedemikian cinta mati pada pacar saat itu (tidak satu kantor) hingga sering melakukan pertemuan-pertemuan rahasia saat jam kerja. Namun saya segera menghentikan kebiasan menulis jurnal ketika suatu ketika pacar saya menyandera salah satu jurnal yang biasa saya tulisi. Dia cemburu dan marah karena saya masih kerap berhubungan dengan mantan saya yang lain. Banyak cerita. Banyak kenangan. Lalu data

Me vs Ego

Saya merasa begitu banyak kebodohan yang saya lakukan hari demi hari. Begitu banyak waktu, tenaga, uang, dan pikiran yang hamburkan untuk sesuatu yang tak terlalu penting. Mungkin hanya berdasarkan kesenangan sesaat. Percakapan tadi malam dengan seorang sahabat membuat saya tertegun untuk beberapa lama. Lalu saya berbincang dengan diri saya sendiri dan mencari padanan obrolan sejenis dengan sejumlah sahabat lainnya. Konteksnya tak selalu sama, memang. Tapi saya mencoba mengumpulkannya menjadi sebuah bab pelajaran. Apakah saya impulsif? Suatu malam, saya berkunjung ke sebuah mall. Saya punya janji. Seharian saya bekerja di luar kantor bahkan sepatu saya sangat kotor karena sering menginjak lumpur. Di tengah suasana mall yang terang benderang, sepatu tua saya yang kotor itu sedemikian mencolok. Padahal saya sangat percaya uangkapan bahwa 'sepatumu adalah dirimu'. Saya jadi gelisah. Ketika saya melintas sebuah counter, saya tak berpikir panjang untuk menjemput sepasang sepatu berm

Horor Me Softly

Sahabat saya baru saja mengirimi link berikut: http://fizzlebot.com/sinthai/room.htm . Karena saya penasaran, saya lalu membukanya. Ternyata sesuatu yang sangat horor. Mau saya sudahi rasanya enggan. Ingin tahu hingga akhir permainan. Padahal saya sangat tak suka sesuatu yang berbau horor. Dampaknya, rekan-rekan kerja saya dibuat jengkel karena tiba-tiba saya menjerit kaget setelah melihat sesuatu yang spooky muncul tiba-tiba di monitor. Well, saya memang penakut. Saya gemar menonton film. Namun genre horor bukanlah film yang masuk daftar tontonan. Beberapa waktu lalu, saya sengaja tak menonton hingga selesai Dacota Fanning di 'Hide and Seek'. Kecuali 'The Other' yang dimainkan Nicole Kidman sekian tahun lalu karena saya tak mengira film itu adalah semacam horor. Untungnya unsur horornya hanya muncul di akhir fil bahwa sesuangguhnya orang-orang yang saya lihat dari awal film hingga film berakhir rupanya adalah hantu semua. Hiiii.... Film horor pertama saya adalah '

Motorcycle Republic # 1

Beberapa kali saya geram terhadap para pengendara sepeda motor. Mereka menyesaki jalanan dari segala penjuru mata angin. Memotong jalan dengan santai, melaju pelan di jalur cepat. Ruang sempit menyelinap, tak ada ruang pun dipaksakan ada. Lebih geram karena beberapa kali mobil saya baret-baret dipepet dan ditabrak. Bikin bete, mereka kabur tanpa mau bertanggung jawab. Suatu sore, saya mau belok kiri dengan lampu sign terpasang sejak puluhan meter sebelum saya belok. Kendaraan melaju pelan. Tepat ketika saya hendak belok, sekilas saya melihat sebuah motor melaju cepat menyalip dari sebelah kiri. Saya tak sempat menginjak rem. Gedubrak! Sebuah motor dengan seorang pengendaranya terkapar jatuh menghalangi. Saya tertegun kaget. Beberapa sopir taksi yang sedang mangkal di ujung jalan berdiri diam. Saya keluar mobil untuk melihat keadaan. Pun berdiri diam. Pelan-pelan orang itu bangkit, berdiri tak sempurna sambil meringis. Memandang saya, memandang para sopir taksi, bergantian. Tak seorang

Me at Work

Selasa lalu, 21/02, saya mendapat assignment untuk membuat video profile sebuah perusahaan minyak nasional.

Botak! Pletak!

Ibu saya bilang, sejak bayi saya tak pernah sekalipun digunduli. sudah besar pun, sepertinya saya tak pernah punya alasan untuk menggunduli kepala. Selama sekolah di SD, gaya rambut yang rutin saya (tepatnya Ibu) pilih adalah model tentara. Belakang tipis tapi pas bagian ubun-ubun tebal. Kata Ibu, lebih bagus. Tapi aku curiga, jangan-jangan Ibu memilihkan model itu supaya saya tak sering-sering pergi ke tukang cukur. Saya ingat. Setiap tiga bulan sekali ke pasar Jumat, dekat rumah. Tapi lupa berapa tarifnya. Si Bapak Cukur akan memasang sebuah papan di antara armchair dan saya naik untuk duduk di atasnya. Kalau orang dewasa, akan dipersilakan langsung duduk di kursi itu tanpa papan. Di bagian belakang dan depan ada kaca lebar sekali. Lalu sebuah kain blacu putih yang sudah sangat dekil akan disarungkan ke badan saya. Mulailan Pak Cukur bekerja. Setelah masuk kelas 5 SD dan seterusnya, saya tak pernah memilih model itu lagi. Bukan karena pitak. Yeah, kesannya old fashioned saja. Memoton

1st Anniversary Mailing List 80ies

Hmmm, seru juga bisa bernostalgia ke tahun delapan puluhan, dengan segambreng teman-teman baru yang selama ini hanya dikenal lewat milis. Dari orang-orang najong ini, saya bisa menikmati berbagai kenistaan seperti lagu jadul, video clip, memori, obrolan, dan segala hal yang terjadi dan berlangsung di tahun delapan puluhan, masa di mana saya masih ingusan. Perayaan ulang tahun pertama milis ini diadakan di Beyond Cafe, gedung Iskandarsyah, Blok M. Sekitar empat puluhan anggota hadir meramaikan. Salut buat penggagas komunitas ini.

Obsesi Rambut Panjang

Saya selalu mengidamkan memiliki rambut panjang. Ya, tak harus sepanjang rambut Dewi Yull atau Amy Search. Minimal bisa dikuncir. Kesannya cool , biarpun orang melihatnya mungkin norak-norak bergembira. Setiap kali rambut sudah mulai panjang, ada-ada saja godaan untuk pergi ke barber shop. Habisnya, rambut saya jika panjang sedikit saja sudah mulai terlihat bergelombang seperti ombak pantai selatan. Sementara saya tak suka sisiran. Walhasil, penampilan rambut saya laksana sarang kalkun yang mengembang, lebih dasyat dari pada sekedar sasak Mien Sugandi. Dari pada tertangkap fashion polis yang belakangan makin meraja lela di seantero Jakarta, saya memilih jalan aman. Tapi setiap kali keluar dari barber shop, penyesalan saya sedemikian dalam. Bahkan lebih dalam dari pada penyesalan ketika pertama kali saya melakukan zina pertama. Dampak penyesalan itu pun mempengaruhi nafsu makan. Saya jadi sangat rakus. Lihat saja, badan saya sudah lebih mirip beruang madu daripada panda yang imut

Jakarta 17/02/07

Pulang dari rumah sakit MMC setelah membezuk seorang teman karena demam berdarah, saya dan seorang sahabat menuju kawasan blok M. Langit di atas Rasuna Said cerah. Cerah untuk ukuran Jakarta adalah matahari bersinar terik. Memasuki Mampang, lalu lintas mulai tersendat. Saya berniat melewati jalan Tendean. Lewat radio, saya mendengar penyiar mengabarkan bahwa beberapa area di Jakarta kembali terendam air. Saya tahu, kemarin karena hujan deras beberapa wilayah kembali banjir. Saya mengabaikan kemungkinan Tendean termasuk salah satu wilayah yang terkena. Apalagi Jakarta sedang sangat panas. Ternyata saya keliru. Jalan Tendean ditutup karena banjir itu. Maka kami bergerilya mencari jalan tikus. Seorang perempuan di Mampang Prapatan terlihat sangat pilu. Mungkin memikirkan pacarnya yang lari dengan perempuan lain. Atau memikirkan bagaimana cara mudah menuju Hong Kong tanpa harus naik pesawat karena dia gampang mabok udara. Seorang homo memilih tempat yang sangat tidak romantis untuk melamar

What Women Want

Mereka ingin yang ini dan itu. Mereka ingin begini dan begitu. Tapi mereka tak ingin yang ini dan itu. Tapi mereka tak ingin begini dan begitu. Capek, deh. Sebetulnya mereka mau apa, ya?

80 Fever

Menjelang anniversary milis 80an yang saya ikuti, saya nervous. Saya tak mau jadi allien. Jangan samapi ketika semua orang yang datang heboh dengan dress code, saya tampil biasa. Apa yang harus saya kenakan? Kemeja gombrong dengan topi miring? Celana baggy dengan sepatu injak dan kaos linting? Rambut polem atau panjang kepang dua seperti Laura Ingals? Duh, Gusti beri saya ide brilyan!

D Bijis

Jika Anda belum bisa membedakan fungsi dan efek dari wide lens, tele, dan bahkan lensa normal, sebaiknya lupakan untuk sementara keinginan membuat film layar lebar. Jika Anda belum bisa mengatur tata cahaya dengan baik, belum bisa membedakan mana cahaya yang pas untuk suasana pagi, sore, atau bahkan malam, maka sebaiknya bikin saja sinetron. Karena penonton sinetron tentu akan lebih mudah dikelabui. Jika Anda belum tahu bahwa semakin mahal harga wig akan semakin baik kualitasnya, sebaiknya konsultasi dulu ke salon langganan sahabat perempuan Anda. Karena harga memang bicara. Mungkin Anda terbiasa dengan penampilan KD, angkatlah topi untuk dia. Tapi akhirnya saya memang perlu maklum, bahwa saya sedang membicarakan film negeri sendiri. Ah, inilah yang selalu membuat saya malas menonton karya teman-teman saya itu. Telalu memaksakan diri, padahalah ilmunya belum mereka kuasai. Untung saja ada tokoh banci yang lumayan mengundang gelak. Jika tidak, mending bobo saja dirumah.

Thirty Something and Hey, What Should I Be?

Lulus SMA, kuliah, bekerja, bekerja, dan bekerja. Tiba-tiba ketika saya sudah mencapai titik tertentu dalam karir, saya tersentak. Apakah karir yang sedang saya jalani saat itu betul-betul profesi dan bidang pekerjaan yang saya inginkan. Hati saya galau. Apa yang harus saya lakukan? Haruskah saya mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang saya minati? Bagaimana dengan karir yang sudah bertahun-tahun saya lalui? Mengakali agar saya tidak terlalu terpaku pada pekerjaan yang makin lama makin membosankan, saya giat mencari kesibukan di tempat lain. Sebagai penyeimbang. Kursus iini, itu. Gabung di klub ini, itu. Sementara saya bisa atasi. Namun berikutnya jadi tambah kacau. Saya seperti sedang mengulur waktu saja pada persoalan belum terpecahkan. I am thirty something and still have no idea about my career. What should I be? Apakah saya telah salah mengambil jurusan waktu kuliah? Lalu kesalahan itu berlanjut seolah telah menjadi semacam kutukan hingga bidang pekerjaan yang saya tekun

Thirty Something and Hey, What Should I Be?

Lulus SMA, kuliah, bekerja, bekerja, dan bekerja. Tiba-tiba ketika saya sudah mencapai titik tertentu dalam karir, saya tersentak. Apakah karir yang sedang saya jalani saat itu betul-betul profesi dan bidang pekerjaan yang saya inginkan. Hati saya galau. Apa yang harus saya lakukan? Haruskah saya mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang saya minati? Bagaimana dengan karir yang sudah bertahun-tahun saya lalui? Mengakali agar saya tidak terlalu terpaku pada pekerjaan yang makin lama makin membosankan, saya giat mencari kesibukan di tempat lain. Sebagai penyeimbang. Kursus iini, itu. Gabung di klub ini, itu. Sementara saya bisa atasi. Namun berikutnya jadi tambah kacau. Saya seperti sedang mengulur waktu saja pada persoalan belum terpecahkan. I am thirty something and still have no idea about my career. What should I be? Apakah saya telah salah mengambil jurusan waktu kuliah? Lalu kesalahan itu berlanjut seolah telah menjadi semacam kutukan hingga bidang pekerjaan yang saya tekun

Casualties in Tarot Reading

Sejak saya berakrab-akrab dengan kartu tarot, hampir setiap hari saya mempraktekkannya. Dengan sahabat, tetangga, bahkan orang yang belum kenal sekali pun. Hal ini saya lakukan supaya saya bisa meningkatkan keahlian dan mendapat banyak pengalaman. Beberapa pihak menyarankan agar saya lebih mengasah kemampuan agar bisa jadi profesional. Saya bergidik. Belum bisa membayangkan. Sejauh ini, rupa-rupa kesan dan reaksi orang setelah diramal. Ada yang tidak percaya ketika diramal tentang cinta, lalu minta diulang. Eh, setelah diulang, kartu dan pola yang sama muncul lagi. Sekian hari kemudian bertemu lagi, minta diramal ulang dan hasilnya sama! Saya sendiri heran, lalu makin percayalah dengan keajaiban tarot. Seorang sahabat menanyakan keadaan anaknya. Dengan beberapa kartu saya tahu bahwa anaknya sedang dalam masalah. Ternyata benar, anak dari sahabat saya itu sedang sakit parah sudah memasuki bulan ketiga. Seorang pria pekerja salon yang belum saya kenal minta diramal jodohnya. Saya bilang

Thirty Something and Still VIRGIN

My ghost! Cerita-cerita para sahabat itu sangat menggoda. Bayangkan, pergi ke cafe sendiri pulang berdua atau kenalan di gym berakhir di tempat tidur atau baru pacaran tiga hari tapi sudah sangat mengenal 'luar dalam'. Perempuan jaman sekarang, begitu mudahnya. Laki-laki jaman sekarang, begitu memanfaatkannya. Ada lagi sahabat yang sudah tinggal serumah dengan kekasihnya padahal surat nikah belum di tangan. Well, saya tak akan pernah bilang ke mereka bahwa apa yang mereka lakukan keliru. Lagi-lagi saya hanya menjadi pendengar setia dari petualangan cinta mereka. Apakah saya terlalu naif untuk tetap patuh pada pegangan tak akan melakukan hubungan seksual sebelum menikah? Hari gini, tinggal di ibukota pula, masih percaya norma? Apakah kekuatiran akan dosa yang saya pikirkan? Apakah karena adat ketimuran? Atau karena belum ada kesempatan? Yes, thirty something and still virgin. Sepertinya saya tak terlalu bangga.

Thirty Something and Still JOMBLO

It sounds so bad if you're thirty something and still jomblo, doesn't it? Atau saya terlalu berlebihan? Apalagi jika setiap tanggal 14 Februari tiba. Uuh, dunia serasa penuh penjahat dan hanya saya sendiri korbannya. Jaman sekolah dulu, saya berangan akan menikah ketika umur 25. Lalu ketika memasuki usia itu, saya sedang sibuk bekerja. Saya pikir menikah diumur 30 saja. Lalu ketika angka itu pun lewat padahal saya tak disibukkan apa-apa, saya mulai panik. Satu per satu teman main, temen kuliah, temen kerja, memasuki gerbang perkawinan. Saya sibuk masuk kelompok-kelompok dimana para jomblo berada. Sejenak bisa melupakan kesendirian. Namun ketika pertemuan itu bubar, aroma sendu kembali menyergap. Bapak saya menikah di usia 27 tahun. Apa dia pikir jikir masih punya anak bujangan di usia tiga puluhan? Beberapa sahabat saya memang terlihat santai dengan usia tiga puluhan dan masih jomblo. Tapi di dalam hati mereka, mene ketehe.

Battle in Heaven

Anda tak perlu memendam rahasia sendirian jika tak sanggup menyimpannya. Berbagilah. Maka Anda akan mendapatkan rahasia lain untuk Anda simpan. Bersama orang itu, akan Anda alami hal-hal susah dan senang. Karena rahasia Anda aman dengannya dan rahasia dia pun akan aman bersama Anda. Karena selanjutnya Anda harus mengikuti segala aturan yang mengalir bersamanya. Mengalir hingga pengkhianatan dan kepasrahan menjadi tak terlalu penting, asal rahasia tetap terkunci rapat.

The Science of Sleep

Tidur, lalu bermimpi. Bagi sebagian orang, mimpi hanyalah bunga tidur. Bagi sebagian lain, mimpi bisa untuk menggali ide dan inspirasi. Banyak daya tarik dari film ini yang membuat saya berminat untuk melihatnya, seharusnya. Pertama, film asing, indie pula. Kedua karena Gael Garcia Bernal, bintang yang semua filmnya saya tonton dan koleksi. Namun saya jadi tak mengerti mengapa dia mau bermain di film aneh, butut, dan menyebalkan ini. Sayangnya, penggambaran mimpi secara karikaturistik di film ini sangat dipaksakan dan membosankan. Seolah sedang menyaksikan Mario & Bross.

Little Children

Dalam seminggu kemarin, saya menonton acting Kate Winslet sampai dua kali. Pertama dalam The Holiday. Berikutnya dalam Little Children. Sama sekali bukan film tentang anak. Anak-anak hanya dijadikan trigger permasalahan dari sebuah hubungan orang tuanya. Superioritas seorang isteri, kesederhanaan seorang suami, kesendirian seorang single parent, anak-anak yang perlu diselamatkan, harga diri yang harus dibangkitkan. Lalu hubungan terlarang itu, terjadilah.

The Holiday

Berganti suasana hati atau bahkan geografis bisa menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan patah hati. Maka Diaz ke Inggris lalu bertemu Law dan Winslet ke Amerika lalu bertemu pria baru lain dalam hatinya. Ya, tempat dan suasana baru kadang menyadarkan siapa diri kita sebelumnya. Di awal film dan di beberapa bagian lainnya, penampilan tokoh utama dibantu oleh sebuah narasi yang mengingatkan pada gaya bertutur 'Desperate House Wives'. Lalu hiberbolis pada keadaan-keadaan tertentu seolah mengadapsi gaya 'Ally Mc Beal'. Namun tak sampai mengganggu. Jenaka dan dewasa.

Blame It On the Rain

Hujan pagi ini. Halaman kantor tergenang melebihi mata kaki. Kapan terakhir saya bermain air hujan, ya? Lima tahun lalu? Sepuluh tahun lalu? Ah, hampir lupa karena sudah sangat lama pastinya. Tapi tiba-tiba ide sinting itu muncul. Saya ingin mengenang masa kanak-kanak saya. Maka saya segera melepas baju dan brrrrrr... Sebelum rekan-rekan kerja berdatangan. Ssst... jangan bilang siapa-siapa, ya...

Jakarta Today

Ramalan BMG bahwa akan turun hujan lebat Rabu, 7/2, lalu ternyata tidak menjadi kenyataan. Memang ada hujan pada siang menjelang sore namun tidak terlalu mengkuatirkan. Semua tampak baik-baik saja. Kamis pagi, 8/2, ketika saya tebangun, langit sangat gelap. Hujan mengguyur Jakarta tanpa ampun. Halilintar bersahutan. Saya terpaku. Akankah bencana itu hadir hari ini? Lalu saya memutuskan berangkat ke kantor sangat pagi, saat jalanan masih sangat sepi. Sebelum jalanan tergenang dalam. Tapi jalanan sudah banyak tergenang. Penyiar radio mengabarkan beberapa ruas jalan di seantero Jakarta pun kembali terendam setelah sehari sebelumnya kering kerontang. Banjir membuat susah hati.

Waspada Jakarta, Today!

Rabu pagi ini, langit Jakarta terlihat Sembab. Tapi hangat matahari berasa mengeringkan. Saya melihat lembaran embun menipis pelan-pelan. Genangan menyusut diam-diam. Pagi ini, BMG mengabarkan agar warga Jakarta waspada terhadap kemungkinan curah hujan yang akan turun lebih banyak. Curah hujan tertinggi dari sebelum-sebelumnya: hari ini! Bagaimana episode banjir Jakarta berikutnya, ya?

Me, the Tarot Reader

Sejak beberapa waktu lalu saya merasa tiba-tiba dapat berkah bisa menerjemahkan kartu tarot, saya niat sekali untuk memiliki kartu tersebut. Saya sengaja berburu ke Kino Kuniya Plaza Senayan, tak ada. Maksud saya, memang banyak tarot yang dijual di sana. Tapi versi yang saya cari tak ada. Ganti hari, saya berkunjung ke Kino Kuniya yang di Plaza Indonesia. Puji Tuhan, saya mendapatkannya. Malam itu, hari berikutnya, dan hari berikutnya, saya terus berlatih membaca kartu-kartu tersebut melalui sahabat-sahabat saya. Percintaan, karir, kesehatan. Apa yang bisa saya ungkapkan dari kartu-kartu yang terbuka itu, kadang membuat saya heran tentang keajaiban tarot. Bagaimana mungkin, sebuah kisah nyata yang sedang dialami oleh orang-orang itu, bisa terungkap seperti apa adanya sesuai dengan deretan kartu yang saya baca. Biasanya, di awal ramalan, saya minta mereka untuk tidak bercerita dulu. Tentu saja, untuk menghindari kontaminasi ramalan. Kecuali masa depan yang masih belum pasti, sejauh ini,

Aku-Punctur, Kamu?

Makin hari perut saya makin maju. Makin buncit, makin tak elok dipandang mata. Jangan heran, karena saya sudah lama tidak berolah raga. Pernah sangat lama berlangganan ke gym. Meskipun tidak tampak six pack, tapi lingkar pinggang sungguh mengagumkan. Sekarang setelah tidak ke gym lagi, saya jadi panik dengan 'kemajuan' yang tak terkendali ini. Saya terlihat seperti anak Uganda yang terkena busung lapar. Padahal kuantitas makanan yang saya makan tak terlalu banyak. Kecuali, emang, ngemilnya yang kadang tak kuasa direm. Maka ketika ada seorang ahli akupuntur datang ke kantor menawarkan jasa, tanpa saya pikir  berkali-kali langsung saya sambar. Kini setiap seminggu sekali, setiap Selasa, perut saya ditusuki belasan jarum. Untung tiap tusukan, kadang ada yang berasa pedas, kadang senyut-senyut. Selasa ini, tusukan yang ketiga kali. Saya harap, akhir Februari ini perut saya akan terlihat lebih kempis. Kalau tidak berhasil, ampun, deh.

Nista di Musim Hujan

Musim hujan di Jakarta, identik dengan musim dingin. Maka, saya bersibuk-sibuk membuka laci-laci lemari. Membongkar jaket, vest, sweater, dll. Biar Kelihatan keren, dong. Yang sibuk bergaya ternyata bukan hanya saya. Sepertinya semua orang. Fashionista Jakarta seperti sedang menghadapi winter di Eropa. Kecuali Februari tahun ini, musim hujan di tahun-tahun lalu suka menipu. Suka-suka bikin saya salah kostum. Pagi mendung, hujan lebat. Siang terang benderang, sore panas minta ampun. Padahal kostum sudah sangat disesuaikan seolah suhu udara akan terus menurun hingga 5 derajat Celcius. Wah, jadi salah kostum, kan? Kasihan, deh. Di awal-awal musim hujan tahun ini, saya masih bersemangat berganti-ganti kostum. Dari mulai sepatu hingga penutup kepala. Bally saya bungkus, Cat saya keluarkan. Zarra saya lipat, Benetton saya gelar. (Hahaha, pamer bener. Seolah metroseksual sejati. Padahal belanjanya di Factory Outlet). Tapi ketika banjir menjadi bonus dari petualangan fashion musim hujan, semua