Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2007

Bergunjing Itu Baik

Sangat baik bahkan. Saya menganjurkan agar semua orang sering-sering bergunjing. Melihat kesalahan orang lain lalu membperbincangkannya: pagi, siang, sore. Di rumah, di kantor, di arisan, di beranda mesjid, di atas kereta, di cafe, di mana-mana. Bergunjing itu nikmat. Ya, kita bisa jauh dari stress karena menggunjingkan orang lain, membuat urat-urat di sekujur tubuh kita relaks, termasuk urat syahwat yang sering datang tiba-tiba itu. Seorang sahabat menelpon suatu pagi. Awalnya bertanya tentang rencana week end saya kemana. Rupanya, pertanyaan itu sekedar basa-basi. Karena setelah itu, berita tentang perselingkuhan dua sahabat saya yang lainlah yang makan porsi. Hampir satu jam obrolan itu berlangsung. Dan saya sangat enjoy mendengarkannya. Mengetahui keburukan orang lain, siapa tak senang? Dari satu sahabat ke sahabat lain, saya mendapatkan bahan gunjingan. Ada yang pasti terlihat benarnya, ada yang buram. Namun tetap saya dengarkan juga. Buat hiburan Lumayan, kan? Ah, ternyata. Sa

Ms. Kadaluarsa

Apa, sih, ukuran kadaluarsa bagi seorang perempuan? Ingat cerita Paramitha Rusady ketika mengalami krisis saat melahirkan bayi pertamanya? Kejadian yang dialaminya seolah memperkuat kekuatiran kalangan medis bahwa melahirkan di usia senja sangatlah beresiko terhadap keselamatan. Maka, buat perempuan, jangan tunda perkawinan! Lalu kalau pasangannya tidak ada, bagaimana? Pertanyaan lain akan muncul: tidak ada pasangan atau sibuk memilih? Sengaja menunda atau pasangan yang sulit diajak berkomitmen? Perkara sederhana. Namun EKI Dance Company yang menampilkan teater musikal ini bicara kelewat lebar. Imajinasi bumbu cerita menjadi over dosis. Ms. Kadaluasa sungguh jenaka, menghibur, dan sedikit cabul. Entah bagi yang lain. Saya merasa tertawa sendiri di setiap banyolan kata dan gerak para pemain. Kemana yang lain? Padahal kursi nyaris terisi penuh. Asumsi saya sebelum acara dimulai yang sempat memperhatikan para pengunjung lain, bahwa penonton malam itu bukanlah penonton yang biasa mengunjun

Sepatu Saya Hilang!

Sabtu sore, saya pulang tanpa alas kaki. Ada sebuah appointment di sebuah plaza. Sudah masuk waktu ashar ketika pertemuan selesai da saya berpisah dengan seorang supplier yang juga sahabat saya itu. Antara ingin pulang cepat atau bersembahyang di mushola plaza itu. Karena saya memang ingin pulang cepat, saya memilih pulang. Namun pikiran saya berubah. Saya akhirnya memutuskan untuk bersembahyang di sebuah mushola tak jauh dari plaza. Mushola ini berada di halaman sebuah gedung perkantoran. Ada beberapa orang yang duduk-duduk di teras, satu orang sedang sembahyang, satu orang sedang membaca Al Quran. Tanpa kekuatiran apa-apa, saya bersembahyang. Saya tertegun ketika mendapati sepatu saya tak lagi ada di tempatnya. Saya berkesimpulan cepat bahwa seseorang baru saja mencuri sepatu saya. Saya melapor ke penjaga parkir di sana. Kemudian pulang, tanpa alas kaki. Ada-ada saja. Dalam perjalanan pulang, saya bernostalgia dengan sepatu kanvas warna krem yang jarang saya pakai itu, yang saya dapa

Embun Tak Menetes di Cirebon

Liburan panjang. Saat yang menggelisahkan buat semua orang penikmat jalan-jalan. Tak terkecuali saya. Jauh-jauh hari saya sudah mendata beragam kegiatan dimana saya boleh berada diantaranya. Hingga tawaran seorang sahabat untuk mengunjungi kampung halamannya: Cirebon! Saya belum pernah mengunjungi Cirebon. Meskipun tak berharap banyak akan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, saya berusaha menikmati setiap inchi kota penghasil batik Trusmi itu. Jalan-jalan ini berkonsep 'liburan ke rumah nenek'. Iya, saya ingat ketika dulu kecil sering melakukan kegiatan libur sekolah berkunjung ke rumah kerabat berhari-hari.

Mimpi Monitor Note Book Saya Meleleh

Tiba-tiba monitor note book saya meleleh tanpa bentuk. Seperti kepanasan, tapi layar tetap menyala. Saya panik bukan kepalang. Mencoba menarik setiap ujungnya agar kembali ke keadaan semula. Mustahil. Ah, untung segera terbangun. Mimpi rupanya. Mengingatkan pada lukisan Salvador Dali: time. Seperti itulah. Apa maknanya?

Mimpi dari '17' ke '165'

Saya selalu berusaha mengingat mimpi-mimpi yang saya alami untuk kemudian mengartikannya. Terutama jika mimpi itu terlihat tidak biasa. Firasat meninggalnya Bapak dan seorang kakak perempuan saya, saya dapatkan lewat mimpi. Seorang sahabat saya dulu, pernah bermimpi. Dalam mimpinya ia bertemu presiden Soeharto. Dia berharap mendapat rezeki besar. Karena konon, jika kita bermimpi orang besar itu sebagai pertanda akan mendapat rezeki besar. Saya turut tak sabar menunggu apa yang terjadi. Tak lama, sahabat itu mengabari saya kalau dia baru saja diterima di sebuah bank asing yang gajinya hampir tiga lipat dari yang ia terima dari bank swasta lokal tempat ia bekerja sebelumnya. Ganti waktu ia bermimpi hal yang sama. Benar saja, tak lama sebuah promosi besar ia dapatkan. Saya turut senang. Namun diam-diam saya bertanya-tanya kemudian. Kenapa berita-berita besar itu tak mampir dalam hidup saya? Padahal, saya bermimpi bertemu orang besar begitu seringnya. Hampir semua presiden sudah pe

Trauma Ini, Pergilah...

Sebagian orang akan sangat heran mengapa terkena sakit malaria saja bisa membuat saya trauma berkepanjangan. Yeah, saya sendiri heran. Namun saya mencoba berdamai dengan hati. Tak ada yang perlu dipaksakan untuk saat ini. Insyaallah, masih banyak waktu untuk saya untuk melakukan semua yang saya suka, dengan konsep beda. Hasrat dan minat masih menggila. Namun keberanian itu meleleh setiap kali saya siap pergi mengunjungi hutan, gemunung, lautan. Ada rasa kangen yang sangat. Rindu pada dedaun yang berlinang embun. Rindu pada gelisah ombak. Rindu menyentuh awan. Lima hari di rumah sakit, seumur hidup recovery. Terkesan berlebihan. Namun itulah yang terjadi. Pelan-pelan saya meninggalkan rumah, tempat yang selama ini saya anggap paling aman melindungi. Saya mulai dengan city tour, mengunjungi Cirebon liburan lalu. Syukurlah, saya kembali mendapatkan kenyamanan. Semoga dalam waktu dekat, saya punya nyali untuk kembali merambah belantara, menciumi punggung bukit, menepuk samudera.

Meruya Merayu

Seorang sahabat saya sedang galau. Ia dan keluarganya menjadi salah satu korban kasus sengketa tanah di daerah Meruya, Jakarta Barat. Tentu saja saya turut prihatin. Membayangkan jika rumah saya pun ada di antaranya, apa hati tidak tentram siang malam? Kasus kecil-kecil seputar pertanahan, sempat mampir di keluarga saya. Yeah, tidak sempat jadi sengketa ramai. Almarhum Bapak sempat menegur seorang pemilik sawah yang bersebelahan dengan sawah kami. Bapak menanam baru-batu besar di dalam pematang sebagai pembatas. Hal ini ia lakukan diam-diam. Jika hal itu tak dilakukan, katanya, pematang suka bergeser. Tentunya bukan bergeser sendiri. Suatu hari Bapak menemukan batu-batu yang ia tanam sudah tak ada di tempatnya lagi, malah sudah berada di atas pematang. Rupanya, pemilik sawah yang bersebelahan dengan sawah milik kami itu telah memperluas sawahnya dengan cara memangkas pematang yang seharusnya menjadi batas. Pematang menjadi sangat ramping sehingga sulit sekali dilalui tanpa tercebur. L

Evolution of Me

[image aseli hasil browsing]

US=Usep Sayang

Jika Anda memperhatikan judul terbaru album Krisdayanti, penyanyi tenar yang kita miliki, ia menamainya 'Krisdayanti'. Rasanya rada ganjil jika seorang penyanyi senior yang sudah sangat populer. Strategi menggunakan nama penyanyi sendiri untuk judul album bisanya hanya dilakukan oleh penyanyi-penyanyi baru. Mereka perlu melambungkan nama, makan sedapat mungkin namanya dijadikan judul album. Selama ini kita mengenal Krisdayanti dengan menyebutnya KD saja. untuk mempopulerkan nama KD, Krisdayanti menggunakan dua huruf singkatan namanya itu sebagai judul album yang pernah dipublikasikan. Dan sangat berhasil. Baik dari segi penjualan, maupun dari segi popularitas nama. Apalagi didukung dengan penampilan setiap minggu di Trans TV, KD Show. Kian membaptiskan bahwa KD adalah Krisdayanti. Beberapa waktu lalu, ada sebuah iklan obat penambah darah yang memplesetkan istilah KD menjadi Kurang Darah. Cerdik sekali. Dampaknya sangat luar biasa. Di kalangan medis, kini mereka menyebut 'ku

Ingin Jadi Demonstran, Sekaliii... Saja

Mengikuti berita tanah air beberapa hari terakhir, setidaknya ada tiga peristiwa yang melibatkan mahasiswa: bentrok mahasiswa antar fakultas di Universitas 45, demo mahasiswa anti korupsi yang bentrok sama polisi, dan bentrok mahasiswa dengan polisi karena mahasiswa mencoba melindungi bupati dan wakil bupati yang menjadi tersangka korupsi di Tana Toraja. Mengherankan sekali, mahasiswa mencintai koruptor. Selama saya jadi mahasiswa di tahun 90-an, sepertinya tak ada peristiwa yang perlu didemo. Semua serba tenang. Padahal membayangkan turun ke jalan, membawa spanduk, berteriak-teriak... sepertinya seru sekali. Pernah sekali, seorang sahabat mengajak demo untuk mendukung warga Palestina melawan Israel. Saya tak tertarik. Menjelang akhir 90-an, demo anti Soeharto membahana. Sayang, saya sudah tak lagi jadi mahasiswa. Namun tiga orang adik saya masih terdaftar di dua universitas. Saya maklum jika mereka tergerak untuk ikut demo di depan Gedung DPR. Namun saya sangat kuatir. Ibu saya apa la

Hilangnya Keakuan

Dalam sebuah milis meditasi yang saya ikuti, dibahas tentang bagaimana 'hilangnya keakuan' seseorang bisa terjadi. Topik ini berkembang dari sebuah ide dasar: apa sebetulnya yang menjadi tujuan mengapa kita hidup di dunia? Jadi ingat pengalaman saya. Saya pernah bekerja sebagai tenaga penjualan. itungan tahun, baik karir, income, dan penghargaan saya dapatkan. Suatu ketika saya merasakan sesuatu yang aneh. hingga rasa itu sedemikian mengganggu. saya mengalami hilangnya proses keakuan. Saya merasa pekerjaan dan karir yang sudah saya tekuni bertahun-tahun, tak lagi membuat saya happy. Saya gelisah. saya pikir mungkin jenis industri yg saya pilih sudah tak menarik minat saya lagi. Saya berhenti bekerja [dlm kondisi blm mendapatkan pekerjaan baru] . Bersyukur, karena tak lama kemudian saya mendapat pekerjaan baru. Sayang, di tempat baru itu saya bertemu dengan orang-orang yang sangat tak bisa bekerja sama. Padahal mungkin jika saya mau bersabat, saya bisa survive. Tapi lagi-lagi, s

Yang Namanya Godaan Mengapa Begitu Banyak

Niat Minggui pagi mengitari lapangan Senayan barang 10 putaran saja, malasnya minta ampun. Padahal lemak di lingkaran perut sudah semakin menyeramkan. Jauh-jauh hari berencana mengatur waktu buat bereng, namun ketika waktunya tiba, ternyata menonton film lebih asyik. Mau berhenti mengudap coklat sama beratnya dengan meninggalkan kebiasaan makan es krim. Pengen setia sama pasangan, tapi daun muda begitu mudah dan justeru nagih dipetik kapan saja di mana saja. Niat menghemat uang, yang ada malah makin konsumtif. Maunya melihat hal-hal yang baik-baik saja, tapi kebiasaan dan kebutuhan berkata lain. Mengapa semua niat baik selalu berat untuk dijalankan, ya...?

Hari Ini, 13 Mei

Ada dua orang di rumah saya yang lahir tanggal 13 Mei. Almarhum Bapak dan adik lelaki saya. Bayangkan, dua orang Taurus dalam satu rumah! Tapi karena tak ada tradisi merayakan ulang tahun, hari istimewa biasanya lewat begitu saja. Beda lagi dengan suasana di sebuah kantor tempat saya pernah bekerja. Atasan saya lahir pada tanggal yang sama dan rutin kami merayakan ulang tahunnya. Biasalah: makan-makan. Kadang ditambah pergi ke bioskop atau karaoke atau ke luar kota atau main ice skating. Kami sudah merencanakan akan melakukan kegiatan rutin di tanggal itu, tahun 1998. Namun karena suhu politik Jakarta yang sedang memanas, kami tak terlalu yakin bisa melakukannya. Demontrasi mahasiswa ada di mana-mana dan tak henti-henti. Jadual menjadi tentatif. Apalagi sehari sebelumnya, telah terjadi penembakan terhadap 4 mahasiswa demonstran. Tahun 1998, saya tinggal di kawasan Grogol, bekerja di Kawasan Industri Pulo Gadung. Pagi itu suasana ibu kota masih mencekam. Boss besar melarang kami, team p

Things When I am Away

Ada Apa dengan Sony Ercsson?

Handphone saya yang sudah tiga minggu diperbaiki teknisi Sony Ericsson dan tak baik-baik, akhirnya dijanjikan akan diganti! Saya bukan penggila gadget. Handphone mau setiap hari keluar edisi terbaru pun saya tak terlalu perduli. Asal bisa berteleponan dan berkirim-SMS, buat saya sudah cukup. Mau pakai kamera? Tak perlu.. Mau pake radio, MP3, MMS, 3G, tak terlalu penting juga. Ketika handphone lama saya tak bangun dari siuman karena tak bisa menangkap sinyal, saya yang berkali-kali ganti handphone selalu memilih Nokia, suatu ketika ingin ganti merek. Iklan TV yang berkumandang begitu seringnya, membuat saya tergoda untuk memiliki salah satu koleksi dari Sony Ericsson. Maka, lalu saya membeli sebuah handphone dengan kamera, radio, MP3, MMS, dan lainnya yang tak sempat saya pelajari. Gaya benar. Namun apa yang terjadi? Sebulan atau bahkan belum, saya menmukan sebuah masalah dengan handphone baru saya itu. Beberapa kali memotret, gambar tak lagi bisa disimpan di kartu memori. Belum sempat

Spiderman 3

Bayangkan jika setiap dari kita selalu mengharapkan pujian dan ucapan terima kasih dari orang-orang yang kita tolong, betapa menyedihkannya. Kita seperti anak kecil yang haus pujian dan perhatian. Jika tidak mendapat hal itu, kita kecewa, marah, kapok. Ah, semoga saya tidak demikian. Seperti melukai diri sendiri karena ketidaktulusan itu. Bahkan Spiderman juga manusia. Maka ketika warga kota mengelu-elukan, dia jadi tidak peka dengan hatinya sendiri. Berubah, menjadi seorang lain yang bertolak belakang. Banyak filosofi dan pelajaran moral dari film Spiderman ketiga ini. Hati adalah segalanya bagi kita. Ketika kita mencoba-coba untuk menjadi tidak baik, hati-hatilah. Bagaimana jika ketidakbaikan itu menjadi kebiasaan? Bagaimana jika kita merasa bahwa ketidakbaikan itu justeru adalah sesuatu yang baik?

Taman Menteng: Sebuah Edukasi Merubah Perilaku

Jika Anda sering bepergian ke luar negeri seperti saya: Hongkong, United State, Prancis, Australia, Jepang... (cie...), mungkin Anda sempat berpikir mengapa kota-kota di negara kita tak bisa seindah kota-kota lain di dunia. Transportasi yang nyaman, tata kota yang rapi teratur, trotoar yang lebar dan nyaman, pertokoan dan cafe yang cozy, dan lain sebagainya. Sulit membandingkan keadaan di sini dengan di mana pun di luar sana. Selintas kita akan menyalahkan pemerintah yang tak becus membekali para pegawainya dengan pengetahun dan ketrampilan bagaimana menata kota agar bisa sedemikian enak bagi penghuninya. Selintas kita menyalahkan sebagian warga kota yang tak mau berdisiplin menjagai kebersihan dan remeh temeh lainnya agar membuat kota indah dan nyaman bagi semua. Lalu dibangunlah Taman Menteng yang penuh kontroversial itu. Kehadiran taman ini serta merta merubah tatanan landscape di sekitar jalan HOS Cokroaminoto, Menteng. Sepanjang jalan ini sekarang tak boleh lagi ada mobil parkir.

Baby Blues

Seorang sahabat mampir ke kantor saya dengan membawa bayi yang baru dua bulan dilahirkannya. Saya sempat menggendong-gendong bayi tersebut. Ah, sudah lama saya tidak bergaul dengan makhluk bernama bayi. Saya punya adik, punya keponakan. Di luar hubungan itu jarang saya terlibat dalam pengasuhan bayi. Saya masih SD dan mendapat amanah untuk mengasuh adik balita. Sudah sore, saatnya semua orang pergi ke sungai dekat rumah untuk mandi. Saat itu ai masih bersih dan lebar. Saya mengajak adik saya itu. Setelah selesai mandi, saya membungkus badan adik saya dengan bungkus dengan model bedong dimana kedua tangannya rapi masuk di dalam handuk. Saya tak membiarkan adik saya berjalan karena biasanya lama sekali hingga tiba di rumah. Adik saya dudukkan mengangkang di punggung seperti layaknya saya memakai ransel, sementara tangan saya mengikat kuat kedua kakinya. Saya belum jauh berjalan, saya mendapati adik saya terjungkal ke belakang. Jika membawa ransel bisa nyaman di punggung karena ad

Mr. Complain

Suatu hari Minggu, bersama dua sahabat lain, saya pergi window shopping ke Senayan City. Mall yang menurut saya terlalu besar untuk bisa diputari seharian. Mampirlah ke Best, merchant alat-alat elektronic dan perlengkapnnya. Saya tertarik pada Canon EOS 30D. Sekedar melihat harga dan mengelus barangnya. Saya bertanya untuk konfirmasi kepada seorang SPG. Harga terulis 13 juta something termasuk lensa kitt. Tapi menurut SPG itu, harga hanya body only. Saya bingung, pada label yang terpasang, tertulis seperti yang saya baca dan saya yakini. SPG itu keukeuh label itu bukan untuk barang yang dipajang. "Kenapa barang ini ditempeli label yang salah?" "Wah saya tidak tahu." "Tidak tahu kenapa yakin amat bilang label ini bukan buat kamera ini?" "Emang begitu." "Menipu, dong." Sahabat saya menarik nafas. Saya tersadar untuk tidah membuat 'kerusuhan'. Saya memang tak niat beli. Tapi melihat sebuah praktek pembodohan sedang ter