Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2007

See Around: God Talk to Us

See around. Hear all sounds. Feel things. If you try to believe everything is an omen to lead you. Daun jatuh. Bunyi telpon. Obrolan banyak orang. Rasa sedih tiba-tiba. Gelisah. Anda mengunjungi sebuah tempat, lalu Anda bertemu dan berkenalan dengan seseorang. Sengaja maupun tidak. Menurut Anda, untuk apa Anda perlu bertemu dan bersapa dengan orang itu? Setelah pertemuan itu, Anda bisa melupakan dia. Anda bisa terus berkomunikasi dengan dia. Anda bisa menyimpannya dalam memori Anda yang sewaktu-waktu bisa Anda recall untuk kepentingan tertentu. Apa yang Anda lihat, dengar, rasa: setiap harinya adalah ilham dan petunjuk bagi hidup Anda. Saat Anda peka, kadang dengan mudah Anda mengikuti petunjuk itu. Seperti dorongan atau suara hati yang membimbing Anda untuk melakukannya. Namun sering pula Anda mengabaikannya karena Anda terlalu dikuasai oleh dogma logika dan azas usaha. Tuhan menunjukkan siapa jodoh saya lewat SMS. Tuhan menunjukkan tanggal pernikahan saya lewat obrolan orang-orang d

Buka Puasa Gratisan

Hari kedua puasa. Detik-detik menjelang bedug magrib, Warung Buncit Raya. Saya menghentikan perjalanan sejenak, perlu mampir ke mesin ATM. Uang tunai di kantong hanya tersisa Rp 9000. Di depan sebuah bank, terlihat keramaian yang tak wajar. Sambil terus berjalan, saya bertanya-tanya dalam hati ada apa. Beberapa pria membagi-bagikan segelas kolak, air mineral, dan korma. Para pengendara motor berhenti dan mengerubungi para pemuda yang membagi-bagikan paket itu. Cuma-cuma. Karena terjadi di depan mata, saya ikut mengambil bagian. Alhamdulillah, saya tak perlu membeli minum dan makanan untuk membatalkan puasa. Tak lama bedug dan adzan berkumandang. Sambil duduk di tangga depan kantor bank, saya menikmati betul kolak pembagian dari orang-orang asing itu. Kerumunan belum terurai. Tiba-tiba sebersit perasaan ganjil menyeruak, saya merinding. Mata berkaca-kaca. Saya terpejam, mencoba berkomunikasi dengan Sang Mahapembawa Kebaikan. "Ya, Allah. Terima kasih Engkau telah berikan rezeki

Futsal di Kolong Jalan Tol, NewsStand di Jembatan Penyebrangan

Dibutuhkan uang negara yang tak sedikit untuk mengusir warga yang menempati kolong jalan tol baru-baru ini. Tak sekedar uang banyak yang harus digelontorkan, juga ongkos sosial yang tak kalah tinggi. Menghadapi kaum marginal, bukan perkara gampang bagi pemerintah daerah di belahan bumi manapun, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Jika ditanya saya akan di pihak mana jika Pemerintah Kota dan rakyat yang tergusur berseteru, saya akan sulit menjawab. Hati nurani saya mungkin akan simpati pada kelompok rakyat itu. Namun, saya yang sering melihat bagaimana kota-kota besar di belahan dunia lain dikelola, akan setuju jika penggusuran dilakukan demi penertiban kota. Saya akan sangat terkesan jika akhirnya kolong tol yang ditinggalkan para penghuninya lantas dijadikan lapangan futsal, misalnya. Kita sering berhadapan dengan warga yang asal menghuni tempat kosong walaupun itu bukan haknya. Ada tanah kosong, langsung mendirikan bangunan. Ada lahan menganggur, langsung menggelar dagangan. Sa

Ketika Seseorang Ditakdirkan untuk Sendiri, Selamanya

Karena takut disebut sebagai hamba yang tak beriman, maka kita seolah 'terpaksa' untuk percaya pada takdir Ilahi: rezeki, jodoh, dan rezeki. Entah kekuatan dari mana datangnya, ketika kita mengharap dapat bonus dari kantor namun tak jadi dikucurkan, kita berucap, "Mungkin bukan rezeki kita." Antara ikhlas, sabar, dan pasrah. Kali lain, ketika seseorang bertanya pada kita mengapa masih lajang, kita masih menghibur diri dengan berkata, "Mungkin Allah belum memberikan jodoh sekarang." Betulkah begitu? Betulkah Allah yang menunda rezeki yang seharusnya bisa kita terima ketika kita mengharapkannya? Betulkah Allah yang menunda datangnya jodoh kita? Bagaimana jika tertundanya rezeki dan jodoh karena kita yang memang sengaja menundanya? Allah menciptakan manusia secara berpasang-pasangan, begitu kitab suci menuliskan. Mana? Kapan? Anda tak sabar, ya? Mari beranalogi. Anda berdiri di pinggir jalan untuk menumpang sebuah taksi. Sebuah Blue Bird berhenti tepat di dep

Dijual: Ruang untuk Mengeluh!

Padahal sudah pernah menerima email berantai berjudul 'Tak Ada Ruang untuk Mengeluh' hingga tiga kali. Pesan itu terdiri dari dua kelompok foto yang yang saling bersebrangan subjeknya. Kelompok pertama, tentang keadaan-keadaan yang serba 'berlebihan', kelompok lain menunjukkan foto-foto yang keadaannya serba kekurangan. Misalnya, mengapa mengeluh dengan bobot badan Anda yang besar hingga Anda mati-matin berdiet untuk mendapatkan berat dan bentuk tubuh ideal sementara di belahan dunia lain orang-orang sedemikian kurusnya karena kekurangan nutrisi. Persis, setiap kali saya menerima, membaca, dan mengamati email yang disampaikan, saya selalu terjaga. Iya, saya tak boleh mengeluh untuk hal apapun. Saya berjanji untuk tak boleh mengeluh dalam kondisi apa pun. Namun biasanya, ketika pesan itu lama berlalu, saya lupa, lalu kembali kepada kebiasaan bawah sadar: mengeluh. Tapi ketika saya menerima email yang sama untuk yang ketiga kalinya, saya melongo lebih lama. Saya teringat

Mencintaimu Seumur Hidupmu

Kita tak pernah tahu siapa yang akan dipanggil Tuhan terlebih dahulu. Bisa kamu atau aku dulu. Makanya aku akan mencintaimu seumur hidupmu saja, supaya aku bisa mencari penggantimu. Iya, kalau kamu berpulangnya setelah aku usia sangat lanjut, aku mungkin tak perlu mencari perempuan lain. Tapi jika kamu 'pergi' saat aku masih muda, ganteng, kuat...? 'Kan lebih baik aku menikah lagi. Begitu pun, jika aku berpulang terlebih dahulu, aku akan sangat ijinkan kamu mencari penggantiku.Biar kamu tak kesusahan mengurus anak-anak kita, biar kamu tak sendirian bila malam-malam tiba. Yang pergi biarlah pergi. Hidup kan masih terus kita jalani.

Ilegal Lovers

Menjadi orang ketiga dari seorang pasangan, kadang tak bisa kita hindari. Saya pernah menjadi penjahat itu. Ya, setelah masa berlalu, saya merasa telah berbuat kriminal karena menjadi pengganggu dari sebuah hubungan. Tapi kala itu saya berdalih, hubungan mereka memang sudah kacau beliau. Sejuta alasan memang. Saya tak mau melakukannya lagi. Menjadi orang ketiga, siap-siap saja diperlukan tidak adil. Hidup rasanya tidak merdeka karena dijatah, dibatasi, diduakan. Banyak pelaku, sebagai orang ketiga, meskipun menyadari itu keliru, namun tetap melakoni. Jika sudah bicara cinta, tahi kambing bulat-bulat ditaburi tepung gula pun masih berasa enak. Ironis emang. Cinta dijadikan kambing hitam, dijadikan pembenaran atas sebuah perbuatan. Tentu saja, cinta memang selalu menjadi pihak yang dimenangkan. Meskipun ilegal. Otak sepertinya tidak berfungsi dengan baik ketika hati sudah dibalut cinta. Nasihat dari kanan-kiri rasanya hanya sejuk didengar seketika, selanjutnya masa bodoh. Mungkin memang

Kita Temenan Saja

"Kita temenan aja, deh." Sopan tapi menusuk. Seorang sahabat saya bilang begitu ketika saya mengajak 'jadian'. Tanpa menanyakan alasannya, saya mencoba menerima keputusan dia dengan 7 hari tujuh malam berintrospeksi. Lain waktu, sahabat perempuan saya yang lain salah menerjemahkan kedekatan saya dengan dia. Saya menulis sebuah puisi cinta pada sebuah buku. Buku tersebut tak lama dipinjam dia. Persahabatan kami nyaris rusak jika kami tak bersikap dewasa menghadapi kasus serba tak enak itu. Setiap dari kita selalu punya kriteria seperti apa seseorang layak menjadi kekasih. Hasil dari introspeksi, biasanya saya langsung tahu diri. Iya, saya tak sesuai dengan kriteria dia. Saya tak mau sakit hati karena cinta ditolak. Meskipun perlu waktu untuk menyembuhkan, saya tak mau meratap terlalu lama. Ah, dunia tak selebar daun kelor. Masih banyak kesempatan untuk mendapatkan gadis-gadis lain. Iya, mending bersahabat saja dengan dia. Lebih indah, lebih tanpa pamrih. Belum lama se

Bohong Besar Jika Anda Bilang Anda Beragama

Anda boleh mengklaim bahwa diri Anda memiliki Tuhan yang Anda percaya sebagai 'sesuatu' yang menciptakan Anda, jagat raya, dan segala isinya. Karena kita hidup di Indonesia yang mensyaratkan warga negaranya harus beragama salah satu dari lima yang disebutkan dalam GBHN, maka semua warga negara sejak bayi, bahkan sebelum dilahirkan (selamatan kehamilan usia 4 bulan dalam Islam, untuk menandai ruh yang ditiupkan pada si jabang bayi) telah dipilihkan agama oleh orang tuanya. Namun apakah Tuhan yang menurut Anda layak disembah itu akan merasa bahwa Anda adalah salah satu hamba-Nya? Dengan mencantumkan nama agama yang Anda yakini pada kartu identitas penduduk, kemudian Anda merasa telah syah menjadi bagian dari klub pemuja Tuhan yang ada di planet ini. Get up, man! You have to change your mind. Jika perlu, switch it! Apalagi jika usulan menghapus kolom agama dalam KTP disetujui oleh DPR, hilanglah identitas kita sebagai makhluk yang beragama. Setiap kepercayaan memiliki sederet kri

Kapan Terakhir Anda Berdoa?

Sering dengar orang bicara: Jika sedang berkesusahan, berdoa saja. Klise, ya? Bertahun-tahun saya tak pernah menanggapi usulan seperti itu. Saya hanya percaya bahwa segala sesuatunya akan kejadian jika waktunya tiba. Orang sakit akan sembuh jika waktu sembuhnya tiba. Orang akan menikah jika waktunya tiba. Orang akan mati jika waktunya tiba. Panen padi, duren, apalah, akan kejadian jika waktunya tiba. Orang akan menjadi juara atau kalah jika waktunya tiba. Begitulah. Saya pernah berpikir seperti tiu. Berdoa hanya untuk orang-orang soleh saja. Namun akhir-akhir ini, tak ada menit yang lewati tanpa berdoa. Saya berdoa agar dijauhkan dari mara bahaya, dijauhkan dari berbagai penyakit, dijauhkan dari fitnah, dijauhkan dari niat jahat orang-orang dzolim. Saya berdoa agar dosa-dosa saya diampuni, dosa orang tua, dosa isteri, dosa keluarga, dosa para sahabat, dan dosa semua orang yang telah berbuat baik kepada saya. Saya juga berdoa agar rezeki saya tercurah banyak, dijauhkan dari segala masal

Enaugh is Enaugh: Resign

Keputusan untuk menjadi independence-man akhirnya tiba juga. Untuk kesekian kalinya, dengan kesadaran penuh, saya mengundurkan diri dari pekerjaan dimana saya mendapatkan uang untuk nafkah hidup. Saya pernah keluar bekerja dari sebuah biro riset, dari dua buah pabrik, dari sebuah majalah gaya hidup, terakhir dari sebuah production house. Apa yang saya cari kemudian saya dapatkan? Apa yang saya cari namun tak saya dapatkan? Bekerja tak sekedar urusan perut. Ketika urusan ini saya capai, saya menyadari bahwa bekerja juga berhubungan dengan urusan hati. Lalu ketika urusan hati tercukupi, bekerja juga ternyata berkaitan dengan urusan spiritual. Manusia akan terus mencoba melengkapi segala kriteria yang dimiliki. Sementara kriteria itu bisa berubah-ubah dan bisa bertambah atau berkurang. Tapi tentu saja tak semua manusia mengalami hal yang demikian. Saya ingin keseimbangan horisontal dan vertikal. Inilah cara yang saya ambil. Saya memilih menjadi manusia bebas. Dimana kriteria bisa saya tam

Un-Celebrating Man

Padahal hari itu mestinya saya membuat acara perpisahan dengan rekan-rekan satu kantor karena saya resmi mengundurkan diri. Namun saya bersikap bahwa hari itu seperti hari-hari sebelumnya, santai saja. Orang berhenti kerja kan biasa saja. Saya tak suka menjadi pusat perhatian. Tak suka menjadi pangkal keramain. Begitu juga saat saya berulang tahun. Bukannya tak menghargai sahabat-sahabat yang repot-repot mengirimkan kartu ucapan, SMS, email, telepon, bahkan pesta kejutan. Saya memilih melewati hari ulang tahun dengan menganggap bahwa hari itu sama saja dengan hari-hari lainnya. Bahkan, ketika hari pernikahan tiba, saya melakukannya in silence. Tak bisa membayangkan saya duduk di sebuah pelaminan sementara hiruk pikuk di sekitar saya. Ah, saya bukan type manusia seperti itu. Begitulah. Saya memang tak suka di tengah hura-hura kerumunan orang. Apalagi jika harus menjadi pusat perhatian. Contoh lain, saya tak pernah membeli tiket untuk menonton konser musik. Pernah beberapa kali menadapat