Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2008

Temukan Jalan Hidupmu

Iwan Fals, dalam sebuah wawancara yang ditayangkan di TV menyatakan bahwa bermusik itu jalan hidup. Dari musik ia hidup, untuk musik ia hidup. Pandangan yang luhur sekali saya rasa. Lalu saya bertanya pada diri sendiri. Apakah saya sudah menyadari tentang sesuatu yang menjadi jalan hidup saya? Ah, bahagianya jika sudah. Namun rupanya saya masih bertanya. Dua tahun terakhir ini saya mendedikasikan sebagian besar waktu saya untuk mengajar. Dengan sebuah keikhlasan, saya mengurangi pekerjaan praktis. Bahkan belakangan saya menerima pinangan sebuah universitas negeri untuk dijadikan CPNS. Saya juga sedang menggebu untuk kuliah lagi demi meningkatkan kualitas. Apakah mengajar adalah jalan hidup saya? Mestinya iya. Saya sudah lelah bereksperimen.

Carrefour Goes Green

Sejak beberapa waktu lalu, Carrefour memperkenalkan gaya belanja yang ramah lingkungan. Yaitu dengan mengajak konsumennya menggunakan kantong plastik khusus yang mesti dibawa setiap kali belanja. Kantong ini boleh diganti jika rusak dengan cara menukarnya. Carrefour tidak memberikan ini dengan cuma-cuma, alias konsumen harus membelinya terlebih dahulu. Aktivitas mulya. Tapi rasanya tidak efektif. Saya melihat tak satu pun konsumen yang pernah membeli kantong re-use itu datang belanja dengan membawa kembali kantong tersebut. Banyak aktivitas belanja dilakukan secara insidental. Artinya, konsumen ke luar rumah untuk beraktivitas, lalu tiba-tiba mempunyai ide untuk belanja. Sementara kantong plastik re-use yang sudah dibeli tak sempat dibawa. Tak efetktif, namun tetaplah patut dipuji. Jauh sebelum Carrefour melakukan kampanye go green, sebetulnya Makro, salah satu pusat perkulakan, pernah memperkenalkan model belanja minim kantong plastik yang lebih baik dari Carrefour. Kon

Sebagus Apa, sih, Laskar Pelangi?

Sepertinya film 'Laskar Pelangi' sedang digandrungi orang dimana-mana. Presiden SBY saja nonton. Sayang gak pake beli karcis. Seorang sahabat sampai menonton lebih dari satu kali.  Sebagus apa, sih, film yang disutradarai oleh Riri Reza itu? Haruskah saya menontonnya? Saya mencoba mengingat-ingat film terakhir yang saya tonton: Denias? Ah, itu kan sekian tahun lalu!  Saya bukan anti film lokal. Cuman ingin menghindari kritikan diri sendiri saja. Saya penggemar film. Sangat tinggi tuntutan saya terhadap mutu sebuah karya. Saya akan mengomentari cerita, acting para pemain, pemilihan actor/actrees, tata suara, tata lampu, ini itu... Makanya kalau menonton film yang dibuat asal, suka capek sendiri. Film Indonesia sedang menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Pecinta film barat akan kecewa dengan fenomena ini. Dari empat buah studio yang dimiliki suatu bioskop, bisa tiga bahkan semua studio memutar film dalam negeri.  Mungkin ini menunjukkan bangkitnya

Menjual TRUSMI

Kawasan Trusmi di Cirebon sudah dikenal lama sebagai kawasan penghasil batik. Beberapa kali saya mengunjungi toko-toko penjaja batik dan para perajinnya. Namun tiap kali ke sana, rasanya masih saja ada yang mengganjal. Sebuah tempat agar terkenal, banyak dikunjungi wisatawan, dan terus dikunjungi, memerlukan formula yang tepat. Tak sekedar memasarahkan pada kehendak pasar. Formula ini yang tak berhasil saya endus. Yang saya dapatkan seolah datang syukur tak datang terserah atau beli syukur tak beli terserah. Saya ingin jadi pemikir untuk merancang Trusmi agar lebih menjual di kemudian hari.

Belanja Tak Aman di Carrefour

Belanja mingguan atau bulanan bisa fun dengan mengajak anak-anak serta. Aktivitas ini bisa menjadi medium pembelajaran dimana orang tua bisa memperkenalkan sambil menjelaskan satu per satu barang asing kepada anak, bisa juga sebagai ajang sosialisasi bagi anak kepada dunia luar rumah. Umumnya pada sebuah pusat perberlanjaan swalayan, sebagian troli belanja disulap merangkap sebagai kereta bayi. Sambil memilih barang-barang yang hendak dibeli, orang tua bisa sambil mengasuh anak-anak, terutama batita dengan meletakkan bayi pada bagian atas troli belanja. Suatu hari saya mengunjungi Carrefour MT. Haryono. Saya kesulitan mendapatkan troli belanja yang dilengkapi dengan dudukan bayi yang aman. Semua tali pengaman tampak tidak aman karena kendor, putus, dan rusak. Saya sempat adukan kepada seorang manager yang bertugas. Jawab dia, maklum saja, Pak, tokonya sudah tua. Ganti waktu saya mengunjungi Carrefour Pulomas. Kondisi serupa saya temui. Saya menyimpulkan bahwa Carrefour tidak me

Pilkada Bogor: Jika Kelak Ki Gendeng Pamungkas Jadi Walikota

Ki Gendeng Pamungkas yang selama ini kita kenal sebagai dukun santet (Setidaknya, menurut dia), mencalonkan diri untuk menjadi calon walikota Kota Bogor. Dia adalah satu dari lima calon yang saat ini sedang gencar-gencarnya berkampanye menarik simpati warga Bogor. Kondisi perpolitikan tanah air memang membuat siapa saja sekarang bisa mendaftarkan diri jadi pemimpin daerah. Asal punya uang dan mengikuti prosedur dan persyaratan yang ditentukan oleh KPU/KPUD. Di tengah krisis kepemimpinan, bisa saja masyarakat Bogor kangen figur pemimpin alternatif sehingga munculnya Ki Gendeng memang dianggap tepat.Ki Gendeng tak akan korupsi. Karena jika ini dilakukan, kesaktiannya akan hilang. Ki Gendeng akan selalu bicara jujur, kecuali jika untuk membela diri. Dia seorang marketing dan PR yang hebat. Buktinya, selama ini dia membuat namanya terkenal ke penjuru dunia. Memasarkan kota Bogor antuk go global akan menjadi hal yang mudah baginya. Lalu saya berkhayal hal-hal yang seru apa

Cetta Lahir

Basil punya sepupu baru, Cetta, yang baru lahiran, di Bogor.

Kematian Itu Datang Malam Tadi

Saya terdiam ketika suatu pagi mendapat kabar tentang kematian seorang sahabat. Beberapa detik saya membayangkan wajah sehat Tita (bukan nama sebenarnya). Masih 30-an tahun. Masih muda untuk meninggalkan sebuah tugas besar mendampingi kedua orang anaknya yang masih kecil-kecil. Kabar meninggalnya Tita sesungguhnya tak begitu mengagetkan sejak saya dengar kondisi kesehatan dia yang memburuk selama beberapa tahun terakhir karena kanker. Satu hal yang sangat saya ingat, ketika saya menjenguknya di rumah sakit, dia tampak segar atau mungkin 'disegar-segarkan' untuk menyambut kedatangan saya dan para sahabat lain. Sekitar tiga puluh menit kami di ruangannya sampai satu per satu pamit pulang karena jam besuk nyaring mengusir semua pengunjung. Wajahnya lelahnya tiba-tiba menyergap. Saya memilih bertahan hingga tak seseorang pun berada di sana, kecuali suaminya. Dia mendadak jadi sendu dan putus asa. "Agama kamu apa?", tanya saya setelah beragam omongan dukungan bagi kesembu

Anak yang Berjanji Membimbing Bapaknya Sholat

Saya mampir ke rumah seorang kerabat yang sedang sakit. Sakitnya sudah lama, tapi baru-baru itu saja lebih parah dari biasanya hingga tak sanggup lagi bangun dari tempat tidur. Sakit, tapi kelakukannya kian hari kian menyebalkan, begitu keluh istrinya. Serba salah melayaninya. Kepada sang istri, saya berpesan untuk sabar. Saya menyaksikan sosok tua yang terbaring dengan tidak nyaman. Nafasnya satu-satu, gerakan badannya terkesan penuh kesakitan. Di usianya yang mungkin lebih dari 60 tahun, dia masih mengenali saya. Saya duduk di sebelahnya, mengecup keningnya. Semilir pesing masuk ke hidung. Sang istri lalu bercerita tentang keseharian mereka setelah sang suami terbaring termasuk dengan ketakberdayaannya. "Masih suka sholat?" tanya saya menyelak. "Boro-boro. Disuruh istigfar saja marah-marah", jawab istrinya. Masih pukul 4 pm. Saya berbisik kepada si sakit untuk mau saya ajak sholat ashar. Saya berbisik, "Takutlah pada kematian. Karena kematian tanpa iman yang

Desain Rumah Penduduk Khas Cirebon

Rumah-rumah tua penduduk di desa-desa Cirebon, memiliki struktur bangunan dan desain yang unik. Rata-rata berjendela kayu, bertiang, tanpa talang air, dan memiliki beranda selebar rumah.

Ketika Mudik Jadi Rutinitas Baru Saya

Sepertinya keputusan tepat memilih hari Senin, 29/09, untuk memulai perjalanan mudik ke kampung istri di Cirebon. Kekuatiran akan terhadang macet sama sekali tidak terjadi. Jalanan lengang selengang-lengangnya. Atau mungkin karena kami memilih jalur Serdang yang meskipun agak panjang rutenya, namun tak banyak dipilih pemudik lain yang lebih suka mengambil jalur tol pentura. Berangkat jam 6.30, jam 11an sudah tiba di Cirebon. Itupun setelah beberapa kali istirahat. Sebetulnya, saya selalu senewen dengan rencana mudik yang dirancang istri. Saya sering tak tahan membayangkan macet yang bisa sewaktu-waktu mencegat. Apalagi jika melihat tayangan tv tentang segala kesengsaraan yang dialami para pemudik. Maklum, puluhan tahun saya hanya menghabiskan 1 sampai 2 jam saja untuk bertemu keluarga besar, dari Jakarta ke Bogor. Makanya saya tak pernah menyebut itu sebagai mudik. Well, things change and I have to deal with them. Kali ini rombongan jadi lengkap karena ada Basil, my little son.