Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2009

NavNav A Bien Tot

28/10/09. Farewell party di NavNav Kelapa Gading bersama sahabat-sahabat dari FE UNJ. Sampai jumpa lagi...

Kopitiam Conspiracy

27/10/2009. Farewell di Kopitiam Oey, Sabang: Yandi, Santi, Radiana. Ngobrol ngalor ngidul, ujungnya, natal 2010, kami berencana reuni di Perth. Insyaallah.

Pasar Loak Gereja

Ada sebuah iklan tentang garage sale hari Sabtu ini di sebuah gereja dekat asrama yang saya baca pada sebuah surat kabar. Ketika kemarin tidak sengaja saya lewati gereja tersebut, saya yakin untuk menghadirinya. Saya harus tahu apa yang dimaksud dengan acara-acara demikian. Saya membayangkan akan ada orang-orang yang berjualan makanan murah untuk sarapan. Sabtu pagi ini saya ke sana, sekitar 7 menit jalan kaki. Angin kencang menggerus. Saya tak mau pakai jaket, biar terbiasa dengan suhu dingin di sini. Setiba di gereja, saya maklum. Ternyata orang-orang berjualan barang bekas. Mulai dari kaset, CD, pakaian, lampu, buku, hingga boks bayi. Kebanyakan yang berjualan dan yang datang adalah orang-orang sepuh dan warga keturunan Afrika. Makanan yang saya cari tak ada kecuali dua nenek yang menunggui kue-kue. Saya hanya melihatnya dari jauh. Yeah, tidak jadi makan murah, deh.

Wifi Gratisan, Legalkah?

Senin malam, akhirnya saya bertemu salah satu penghuni asrama. Namanya Arun, asal India. Dia mahasiswa ECU juga, jurusan ilmu komputer. Ketika saya bisa berinternet dengan mudah dengan memanfaatkan wifi gratisan, dia bingung kenapa laptop dia tak bisa masuk ke jaringan. Saya coba bantu menyambungkan, ternyata memang tak bisa. Entahlah kenapa. "Kamu masuk ke jaringan orang secara ilegal," katanya. Ilegal? Wah, saya tidak bermaksud begitu. Well, pertama, saya memang tidak tahu jaringan wif i ini punya siapa. Kedua, ilegal itu jika jaringan ini menggunakan password dan saya mencoba memecahkan password tersebut. Kenyataannya, network ini yang justeru menemukan signal saya. Anyway, saya akan bicarakan hal ini dengan pengelola asrama nanti. Sekalian, saya juga belum bayar kamar. Nggak lucu kayaknya jika saya tersandung urusan hukum karena ketidaktahuan dan kemasabodohan. Untuk sementara, saya akan terus pakai jaringan ini buat berselancar di dunia maya.

Buka Rekening Bank di Perth, Mudah Seperti Menggoreng Kerupuk

Hari pertama, saya sempatkan untuk berjalan-jalan di Perth kota, sekedar membunuh rasa penasaran. Lumayan nyaman. Trotoar luas, modern dan antik bercampur. Udara segar, matahari terik tapi tidak menyengat, angin kencang, suhu lumayan rendah. Mungkin sekitar 15 derajat celsius. Sebentar saja saya di kota karena banyak hal yang harus saya lakukan. Misalnya, buka rekening di bank lokal. Saya memilih ANZ bank, karena bank ini juga digunakan oleh ECU. Supaya gampang kalau saya harus membayar uang kuliah. Ternyata mudah sekali buka rekening baru di sini, mudah seperti menggoreng kerupuk. Saya hanya perlu menunjukkan passport dan Acceptance Letter dari universitas. Lalu, mau nabung langsung atau nanti-nanti, boleh saja. Tak ada biaya apapun yang harus dikeluarkan. Cuma, kartu ATM baru bisa diambil empat hari ke muka.

Yokine, Sekitar Asrama

Tak terbiasa tidur sampai siang, saya segera bangun meskipun maunya terus tidur karena mata masih berat untuk dibuka. Apalagi udara berasa sangat dingin. Menggunakan sepatu kets dan celana pendek, saya berjalan mengitar komplek. Sekedar untuk mengetahui situasi sekitar asrama dimana saya tinggal. Seperti seragam, hampir semua rumah dibangun dari tumpukan brick yang tidak diplester. Tidak tahu pasti alasannya. Ini yang harus saya cari tahu. Rata-rata berhalaman, ada yang memelihara rumput, ada juga dibiarkan telanjang. Hal yang menarik perhatian saya, dimana-mana terdapat pasir, seperti pasir pantai. Padahal letak Yokine jauh dari laut. Mungkin juga pasir gurun yang menjadi ciri khas Perth di masa lalu. Tempat saya tinggal ternyata lumayan jauh dari halte. Harus berjalan sekitar 7 menit. Bahkan perlu berjalan hingga 15 menit untuk bisa tiba di mini market. Saya melongo lunglai melihat harga-harga yang tercantum di setiap produk yang dijual. Hoah... mahal-mahal. Tepat di depan rumah, ada

My First Steps in Perth

Tidak tahu pasti jam berapa pesawat JetStar yang saya tumpangi tiba di bandara Perth. Sepertinya sebelum jam 2am waktu Perth. Handphone belum saya nyalakan dan jam tangan ternyata batrenya mati. Waktu Jakarta dan Perth hanya selisih satu jam, Perth lebih dulu. Alhamdulillah, semua lancar dan sangat mudah setelah terbang kurang lebih 4 jam, kecuali saat mau check in yang penuh dengan masalah berat bawaan. Setelah mengurus ini-itu urusan imigrasi dan bea cukai, saya keluar buru-buru keluar gedung. Seorang Ibu, tepatnya nenek mungkin karena terlihat sudah sepuh, memegang papan nama dengan nama saya tertulis di sana. "My name is Christina," katanya mengenalkan diri. Nenek itu yang akan menyupiri saya hingga ke asrama di sekitar Yokine, Mount Lawley. Luar biasa, walaupun sudah sepuh, masih sigap bekerja malam hari, jadi sopir. Saya tidak sendiri, ada siswa lain asal Italy yang juga dia jemput. Bahasa Inggrisnya sangat kacau. Hampir saya tidak paham dengan apa yang dia bicarakan. A

Hari-hari Terakhir, Pekerjaan Masih Menumpuk

28/10/09. Masih punya dua hari untuk packing dan saya belum mulai juga. Pikiran rasanya masih terpaut pada sejumlah laporan pekerjaan yang harus segera selesai dan diselesaikan sebelum saya berangkat, Kamis malam nanti. Pikir-pikir, ternyata tugas yang saya emban baik di tingkat fakultas maupun universitas lebih banyak dari teman-teman satu angkatan lainnya. Di satu sisi saya bersyukur atas kepercayaan yang saya dapatkan. Di sisi lain, kadang saya seolah melenggang sendiri, tergesa sendiri, ribet sendiri, puyeng sendiri. Yeah, tak apalah. Setidaknya hal-hal sulit seperti itulah yang akan terus membentuk saya menjadi manusia fleksibel yang bisa diharapkan dapat membantu banyak orang. Amien. Hal yang bisa saya delegasikan, saya delegasikan. Hal yang tak bisa digantikan orang lain, pelan-pelan saya selesaikan meskipun dengan megap-megap. Bismillah, semuanya beres tepat waktu.

Akhirnya, Visa Terbit Juga

26/10/09. Pagi itu saya mendengar kabar dari IDP, agen yang membantu mengurusi segala keperluan saya untuk belajar di Australia, bahwa visa saya sudah jadi. Alhamdulillah, plong rasanya. Dengan begitu saya bisa segera beli tiket, konfirmasi akomodasi, dan packing. Bayangkan, seolah ada saja hal yang menjadi penghambat. Mulai dari surat dari Setneg yang salah, laporan medical check up yang hilang di kedutaan, foto yang dianggap keliru... Tapi untungnya, saya bisa menghadapi semua itu dengan dewasa tanpa emosional. Saya selalu berujar, semuanya akan beres jika memang harus beres. Mengurus visa belajar, jauh lebih mudah. Pihak agen melakukannya melalui online. Saya hanya menyiapkan dokumen-dokumen yang diminta seperti passport, kartu keluarga, acceptance letter, salinan buku tabungan dan deposito, surat menikah, akte lahir, surat keterangan kerja istri, foto, dan laporan medical check up ke dokter yang sudah ditentukan oleh kedutaan. Tanpa perlu datang ke kedutaan. Biaya yang perlu dipe

In Bed with Basil

22 Oktober 2009, hotel Borobudur.

Keinginan VS Super Keinginan

Hampir saya tak pernah berjuang keras untuk sebuah keinginan yang paling saya kehendaki. Saya terlalu kompromi dengan keadaan dan keterbatasan. Saya tak tahu apakah ini kelemahan atau justeru kelebihan saya. Kali ini, saya memiliki sebuah keinginan yang "begini, begini, begini". Hal yang saya dapatkan hanya "begini". Itu saja sudah membuat saya sangat bersyukur. Namun sebetulnya, jauh di lubuk hati, saya menginginkan "begini, begini" yang lain. Saya sungguh ingin mendapatkannya. Namun seringkali saya tak punya nyali atau saya justeru berfilosofi untuk tidak harus mendapatkannya. Pertanyaan saya, haruskah? Saya berhadapan dengan dua aliran pandangan hidup yang berbeda. Pertama, syukuri yang kau dapat sekarang. Kedua, do what do you really want to do. Dua aliran yang juga saya lakukan, namun untuk yang kedua, sangat jarang karena menurut saya terlalu obsesif. Sebuah obrolan ringan dengan seorang kenalan baru, membuat saya terusik. Tanyanya, mengapa saya tak

Basil di Borobudur Hotel

Jika dibiarkan main sendiri, Basil akan senang dan tidak takut air. Tapi jika sengaja diajak berenang, kabur-kaburan ketakutan.

AUPF 2009: Gedung Arsip, Berfoto dengan Partisipan

AUPF 2009: Gedung Arsip, Panitia Dosen

20 Oktober 2009. Seluruh panitia acara ini adalah dosen dan mahasiswa.

AUPF 2009: Gedung Arsip, Tim Humas

20 Oktober 2008. Sesaat setelah selesai acara cultural night di Gedung Arsip. Tim humas berfoto bersama.

AUPF 2009: Istana Bogor

21 October 2009. Optional tour ke Istana Bogor. Guide yang bertugas di istana tak lancar berbahasa Inggris. Akhirnya saya harus merangkap jadi penterjemah. Duileh.

Di Balik Masalah, Derajat Kita Ditinggikan

Sekilas saya menonton tayangan promo acara tv Aa Gym. Kurang lebih terdengar seperti: "... di balik setiap masalah yang kita hadapi, Allah akan menaikkan derajat kita". Ya, saya harus selalu ingat pesan ini. Bahwa saya tak boleh mengeluh, tak boleh berprasangka. Masalah adalah sebuah pelajaran, pengalaman. Orang yang tak mau menghadapi masalah, adalah orang yang tak mau mendapat pelajaran.

Siti Fadila Supari Tak Lagi Menjadi Menteri

20 Oktober 2009. Ketika Presiden terpilih SBY untuk masa bakti 2009 - 2014 mengumumkan jajaran menteri kabinet ternyata tak ada nama Siti Fadilah Supari sebagai menteri kesehatan, media mengulas panjang lebar spekulasi mengapa dokter ini tak terpilih lagi. Padalah, menurut media, tokoh ini punya sederet panjang prestasi yang membanggakan. Namun keputusan telah dibuat presiden. Dan saya setuju. Saya masih ingat bagaimana reaksi ibu ini saat merebak kasus susu yang terkontaminasi bakteri. "Dari dulu saya minum susu bubuk dan jadi menteri." Well, Ibu. Ibu bisa terus minum susu berbakteri meskipun tak lagi jadi menteri...

AUPF 2009: Town Hall

19/10/09. Dinner at town hall of Jakarta the Capital City.

Sebuah Event, Sebuah Tungku Pelajaran Hidup

Pada event AUPF 2009 yang saya dan sahabat-sahabat selenggarakan di hotel Borobudur ini, tugas setiap orang menjadi blur karena saling over lap . Diperlukan fleksibilitas, saling menghargai, toleransi, dan inisiatif yang tinggi. Tak bisa rasanya kita menghindari pekerjaan yang bukan tugas kita, terus kita abaikan. Atas nama tujuan bersama untuk kesuksesan event ini, saya rasa semua orang yang terlibat perlu legowo dan ikhlas mengerjakan semua pekerjaan, baik miliknya maupun milik orang lain. Tanpa berhitung, tanpa menuntut. Saling gesek dan saling menyalahkan akan terjadi karena tak semua terus waspada, tak semua terus mengansipasi. Pekerjaan luar biasa dengan dampak luar biasa terhadap diri sendiri maupun semua pihak yang terlibat. Banyak pelajaran hidup yang dapat diamati. Sayang rasanya kalau kita membiarkan hal-hal ini terjadi tanpa sempat mengambil faedah. Saya menempatkan diri sebagai orang yang siap membantu. Saya sodorkan diri untuk segala persoalan yang tak orang lain mau atau

Seni Menerima: Sebuah Kasus Lain

Suatu ketika saya dipasangkan dengan seseorang dalam sebuah tim oleh sebuah kepanitiaan. Karena saya lebih sreg dengan seseorang yang lain, saya minta keputusan panitia itu untuk mengganti pasangan saya. Saya membayangkah bakal terjadi hal-hal seru jika saya berpasangan dengan seseorang pilihan saya. Waktu berjalan, peristiwa demi peristiwa bergulir. Saya menyadari bahwa ternyata hal-hal indah yang saya bayangkan sama sekali tak terjadi. Saya tak berani menyatakan kecewa karena itu artinya menyesali keputusan yang saya buat. Saya hanya menghela nafas, mestinya saya menerima saja apa yang telah ditetapkan. Seni menerima. Pelajaran yang harus saya selami setiap kali agar terhindar dari penyakit hati. Belajar menerima, belajar ikhlas, meluhurkan hati.

Obsesi Eropa

Ada sejuta aktifitas yang saya bisa lakukan di Maastricht jika seandainya saya benar-benar memilih kota ini sebagai tujuan untuk belajar. Saya suka fotografi, saya suka traveling, saya suka galeri seni, saya suka bangunan-bangunan tua, dan saya suka mempelajari bahasa baru. Saya pernah belajar bahasa Prancis dan Jerman. Saya membayangkan senang rasanya bisa bicara bahasa-bahasa tersebut di negara asalnya. Saya merasa Eropa akan menjadi obsesi. Namun, apapun nanti kejadiannya, saya tak mau berprasangka dulu. Biarkan semuanya berjalan hingga waktu tertentu saya harus bertindak. Lagian, terlalu dini untuk mengambil keputusan.

Antara Australia dan Belanda

Saya sedang menunggu peneribtan visa atas nama saya dan keluarga oleh kedutaan Australia ketika tiba-tiba Dikti mengeluarkan pengumuman daftar dosen yang masuk bursa beasiswa ke luar negeri. Tidak terlalu melompat-lompat karena saya yakin tak akan mengambilnya. Saya akan lebih senang memilih yang sudah ada di tangan, Australia. Namun ternyata, pandangan dekanat dan rektorat berbeda. Saya malah direkomendasikan untuk beasiswa dari Dikti saja. Menurut mereka, jatah saya bisa digunakan untuk dosen lain. Masuk akal. Beasiswa dari Dikti secara jumlah memang lebih besar dari beasiswa yang diberikan oleh IDB (Islamic Development Bank) yang akan mengirimkan saya ke Australia. Namun tentu saya akan kelelahan untuk mengulang proses dari awal. Misalnya wawancara, mengumpulkan dokumen ini-itu, belum lagi jadual kegiatan yang tak jelas. Hal lain yang terpenting adalah waktu transfer uang. Bisa telat berbulan-bulan. Di negeri orang, tanpa uang rasanya hal yang mustahil. Saya belum bersikap. Pertama,

Forum Rektor se-Asia

Saya dan sahabat-sahabat dari Fakultas Ekonomi UNJ, sedang jumpalitan menyelenggarakan forum rektor se-Asia. Nama acaranya "Asian University Presidents Forum 2009". Persiapan sudah sejak setahun lalu. Perjuangan yang merepotkan karena harus berbagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk pekerjaan-pekerjaan lain yang juga menuntuk konsentrasi. AUPF ini berlangsung dari 18 tanggal hingga 21 Oktober. Event ini diadakan di hotel Borobudur. Namun tak sekedar di hotel ini saja kegiatan berlangsung karena kami juga memilih beberapa lokasi lain untuk bermacam kegiatan seperti Town Hall gubernuran, Gedung Arsip, Cafe Batavia, Segarra Ancol, Museum Sejarah, dan Istana Bogor. Untuk event ini, saya mengambil peran sebagai External Relations. Itu job utamanya, tapi ketika waktunya tiba, apa saja dikerjakan untuk membantu bagian-bagian lain yang keteteran. Bekerja dengan orang-orang yang belum pernah bekerja dan orang-orang yang pernah bekerja dengan latar belakang motivasi yang beragam, lumaya

Basil's at Wilona's Party

10/10/09. Basil diundang hadir di pesta ulang tahun Wilona Azarel, putri Santy dan Yandi, di Restoran Bakmi Gajah Mada, Jl. Sunda.