Skip to main content

Upeti Bis Jurusan Kuningan


Bis umum jurusan luar daerah mestinya dilarang keluar jalan tol masuk dalam kota. Namun ada pengecualian. Di kawasan interseksion Slipi bis tersebut boleh ngetem untuk menunggu penumpang. Bis tujuan kuningan pada foto, baru keluar dari terminal Kali Deres. Jika penumpang tak sampai memenuhi kursi bis yang tersedia, bakal rugi. Makanya perlu mendapatkan penumpang di titik-titik lain seperti Slipi itu.

Tapi tentu saja tidak gratis. Satu unit bis boleh parkir jika terlebih dahulu membayar upeti Rp 600,000 kepada seseorang bernama Boss Edi. Jika Boss ini tidak terlihat, ada beberapa kacungnya yang siap galak membantu. Oleh Boss Edi, uang tersebut akan didistribusikan kepada polisi-polisi yang bertugas di kawasan itu. Dengan uang itu, para polisi itu dapat membelikan handphone dengan teknologi 3G untuk para istrinya.

Awak bis juga masih harus membayar upeti sebesar Rp 60,000 buat calo yang turut berteriak membujuk penumpang. Jika hingga sekarang praktek ini masih ada, itu karena dianggap win-win solution. Awak bis tak keberatan, polisi dan para preman makin kesenangan. Peraturan? Bye-bye-lah.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Forum Rektor se-Asia

Saya dan sahabat-sahabat dari Fakultas Ekonomi UNJ, sedang jumpalitan menyelenggarakan forum rektor se-Asia. Nama acaranya "Asian University Presidents Forum 2009". Persiapan sudah sejak setahun lalu. Perjuangan yang merepotkan karena harus berbagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk pekerjaan-pekerjaan lain yang juga menuntuk konsentrasi. AUPF ini berlangsung dari 18 tanggal hingga 21 Oktober. Event ini diadakan di hotel Borobudur. Namun tak sekedar di hotel ini saja kegiatan berlangsung karena kami juga memilih beberapa lokasi lain untuk bermacam kegiatan seperti Town Hall gubernuran, Gedung Arsip, Cafe Batavia, Segarra Ancol, Museum Sejarah, dan Istana Bogor. Untuk event ini, saya mengambil peran sebagai External Relations. Itu job utamanya, tapi ketika waktunya tiba, apa saja dikerjakan untuk membantu bagian-bagian lain yang keteteran. Bekerja dengan orang-orang yang belum pernah bekerja dan orang-orang yang pernah bekerja dengan latar belakang motivasi yang beragam, lumaya

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.