Skip to main content

Antara Belajar, Bekerja, dan Berteman

Saya sudah diperingatkan beberapa kali, oleh beberapa orang di fakultas untuk tidak melakukan riset lain selain projek PhD, terutama kalau proposal belum diseminarkan.  Beberapa waktu lalu, saya sudah pernah berjanji. Tapi lupa sama janji. Saya bandel. Sekarang saya terlibat dalam penulisan bagian sebuah buku (mudah-mudahan beres sebelum deadline). Setelah ini beres, saya malah berencana untuk menulis paper baru. Saya menilai tak ada salahnya, kecuali memang banyak memakan waktu, pikiran, dan tenaga: saya secara langsung justeru belajar banyak, ya menulis, ya berpikir, ya berbahasa. Malah justeru akan melatih kemampuan saya, terutama saya jadi lebih paham dengan apa menjadi spesialisasi saya. Lagian apa yang saya lakukan bukan hal negatif. 

Entah seharusnya saya bagaimana. Hanya fokus pada disertasi rasanya tidak mungkin, meskipun banyak hal yang belum saya lakukan untuk menyempurnakan dan melengkapi proses kandidasi, misalnya urusan ethical clearance. Di Australia, semua bentuk peneltian yang berhubungan dengan manusia dan hewan harus lolos tim etik. Di tanah air rasanya saya belum pernah mendengar istilah itu. Belum lagi urusan hak cipta sehubungan dengan gambar-gambar yang akan saya sertakan dalam karya tulis. Akan banyak memakan waktu dan energi. Yeah, saya harus segera melakukannya selangkah demi selangkah. 

Saya bukan tipe setia pada satu kegiatan. Banyak maunya. Termasuk dalam peneltian. Satu belum selesai, sudah pengen melakukan projek lain. Jika tidak, masalah lebih besar malah kuatir muncul; malah tak punya mood untuk belajar sama sekali. Otak saya terus bekerja, dalam kondisi apapun. Jika tidak tersalurkan, bisa miring. Maka saya salurkan dengan menulis, meskipun tulisan yang saya buat lebih banyak tak sempurna sebagai tulisan utuh.

Saat ini saya benar-benar ketat mengatur jadual untuk belajar, menulis, dan bekerja. Untung saja saya tak punya kebiasaan keluyuran, tepatnya belum punya teman pas yang bisa diajak keluyuran. Ada beberapa sebab saya rasa, misalnya, karena memang faktor internal, saya sudah kehilangan rasa untuk banyak keluyuran. Kedua, faktor eksternal, seperti misalnya, tak ada teman-teman seumuran yang memiliki minat sama, status sama, kebutuhan sama... Pernah saya bertemu dengan bujangan aseli Aussie. Jika mau berteman dengan dia, sepertinya harus all out: ke bar, nyari pasangan kencan, pesta... Sementara itu tak mungkin saya lakukan. Jadi tidak heran, jika kemudian orang Indonesia akan berkelompok dengan orang Indonesia, orang Arab berteman dengan orang Arab, orang Vietnam, orang Cina... mereka berkelompok dengan orang-orang sebangsa. Kecuali, diantara orang-orang itu memiliki banyak kesamaan. Misalnya, saya mengenal suatu kelompok orang Cina yang bergaul dengan kelompok Vietnam karena ternyata mereka bicara dengan bahasa yang sama, usia yang sama, dan dalam kelas yang sama. Padahal kalau saya lihat di Jakarta, banyak ekspatriat justeru tak punya masalah bergaul dengan orang lokal. Mungkin juga karena orang Australia tak seterbuka orang kita. 

Itu mengapa belajar di luar negeri menjadi tampak berat. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Forum Rektor se-Asia

Saya dan sahabat-sahabat dari Fakultas Ekonomi UNJ, sedang jumpalitan menyelenggarakan forum rektor se-Asia. Nama acaranya "Asian University Presidents Forum 2009". Persiapan sudah sejak setahun lalu. Perjuangan yang merepotkan karena harus berbagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk pekerjaan-pekerjaan lain yang juga menuntuk konsentrasi. AUPF ini berlangsung dari 18 tanggal hingga 21 Oktober. Event ini diadakan di hotel Borobudur. Namun tak sekedar di hotel ini saja kegiatan berlangsung karena kami juga memilih beberapa lokasi lain untuk bermacam kegiatan seperti Town Hall gubernuran, Gedung Arsip, Cafe Batavia, Segarra Ancol, Museum Sejarah, dan Istana Bogor. Untuk event ini, saya mengambil peran sebagai External Relations. Itu job utamanya, tapi ketika waktunya tiba, apa saja dikerjakan untuk membantu bagian-bagian lain yang keteteran. Bekerja dengan orang-orang yang belum pernah bekerja dan orang-orang yang pernah bekerja dengan latar belakang motivasi yang beragam, lumaya

Super Deal 2 Milyar, Super Rekayasa?

ANTV bersimbiosis dengan STAR TV. Secara revolusioner statsiun TV ini melakukan pembenahan. Maka program-program unggulan diluncurkan. Berminat dengan kemilau dan bakat Farhan, mereka berani mengontrak secara ekslusif lelaki asal Bandung yang sebelumnya tumbuh subur di lading kreatif Trans TV, dengan nilai rupiah yang menjuntai. Namun program talk show yang dikomandani Farhan setiap malam itu hingga kini belum bisa dikatakan sukses. Lalu, muncullah acara kuis Super Deal yang mempesona jutaan pemirsa karena nilai hadiahnya yang mencapai 2 milyar Rupiah. Siapa yang tak ingin ketiban rejeki sebanyak itu? Kali ini, Nico Siahaan yang berkesempatan membawakan acara. Untuk meningkatkan awareness public terhadap acara kuis Super Deal, baliho besar-besar dipasang nyaris di setiap perempatan jalan Jakarta, entah kalau di luar kota. Lalu secara mengejutkan, sepasukan guru yang menjadi peserta kuis tiba-tiba tampil dan berhasil mendapatkan uang senilai dua milyar! Fantastis