Skip to main content

Sri Lankans: Smiley Faces, but Dangerous






Hampir semua orang Sri Lanka yang berpapasan dengan saya, mereka akan tersenyum, dari penumpang bis hingga polisi.Yeah, mereka ramah-ramah. Mengingatkan saya pada orang-orang Indonesia dua puluhan tahun lalu. 

Namun di balik senyum ramah mereka, saya punya sejumlah pengalaman yang rada menganjal hati. Pertama, ketika saya naik tuktuk untuk pergi ke sebuah pusat perbelanjaan di hari pertama saya tiba di Colombo. Dia membawa saya jauh berkeliling, bahkan berpura-pura tanya banyak orang di mana mall itu berada. Come on, hanya ada tiga mall sekelas Arion Plaza yang ada di Colombo. Mustahil kalo sopir tuktuk tak tahu. 

Kedua, kenek bis kota. Saya naik bis dari sekitar hotel ke pusat kota. Saya sodorkan uang 100 Rupee. Dengan senyum selebar lautan Hindia, kenek itu langsung saja berbalik badan tanpa mengembalikan uang. Saya pikir, mungkin ongkosnya memang segitu. Eh, seorang penumpang yang baik hati mengingatkan saya. Rupanya saya dibohongi, ongkos cuma 10 Rupee! Ketika ditegur, si kenek kembali tersenyum lebar. Kali ini lebih lebar dari sungai Gangga sambil mengembalikan sisa uang kembalian.

Ketiga, sopir tuktuk lagi. Saya sudah menulis pengalaman ini pada tulisan sebelumnya, namun akan saya umbar lagi di sini. Dari hotel tempat saya menginap, saya perlu mendatangi hotel tempat konferensi berlangsung. Pada hari pertama, saya hanya membayar 250 Rupees. Namun pada hari kedua itu, saya membayar hingga 450 Rupees karena si sopir membawa saya berputar-putar dengan alasan tak tahu hotel berada. Geblek.

Keempat dan kelima, kuli pelabuhan dan again, sopir tuktuk. Saya sedang berjalan di kawasan pasar tua Colombo ketika seorang berbadan gempal berbaju pink menghampiri. Ramah dan siap mengulurkan pertolongan. Dia bercerita tentang spot-spot Colombo yang menarik, mulai dari temple hingga toko perhiasan. Yeah, sebetulnya emang cuma dua tempat yang mereka tunjukkan. Setelah berkendara sekitar 30 menit, saya tanya berapa ongkos tuktuk, si sopir bilang 8600 Rupees. Apes. Tak ada argometer di sana. Dan saya harus bayar USD45 karena saya tak punya Rupees sebanyak itu. Eh, ditambah si gempal berbaju pink itu minta 2000 Rupees buat upah nganter-nganter. Sinting.

Itu saja. Tapi tentu, begitu meninggalkan Colombo, saya tinggalkan perasaan sebal pada mereka itu. Biarlah pengalaman jelek tertinggal di sana. Ganti waktu, biar hanya pengalaman-pengalaman baik yang saya temui.




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Forum Rektor se-Asia

Saya dan sahabat-sahabat dari Fakultas Ekonomi UNJ, sedang jumpalitan menyelenggarakan forum rektor se-Asia. Nama acaranya "Asian University Presidents Forum 2009". Persiapan sudah sejak setahun lalu. Perjuangan yang merepotkan karena harus berbagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk pekerjaan-pekerjaan lain yang juga menuntuk konsentrasi. AUPF ini berlangsung dari 18 tanggal hingga 21 Oktober. Event ini diadakan di hotel Borobudur. Namun tak sekedar di hotel ini saja kegiatan berlangsung karena kami juga memilih beberapa lokasi lain untuk bermacam kegiatan seperti Town Hall gubernuran, Gedung Arsip, Cafe Batavia, Segarra Ancol, Museum Sejarah, dan Istana Bogor. Untuk event ini, saya mengambil peran sebagai External Relations. Itu job utamanya, tapi ketika waktunya tiba, apa saja dikerjakan untuk membantu bagian-bagian lain yang keteteran. Bekerja dengan orang-orang yang belum pernah bekerja dan orang-orang yang pernah bekerja dengan latar belakang motivasi yang beragam, lumaya

Super Deal 2 Milyar, Super Rekayasa?

ANTV bersimbiosis dengan STAR TV. Secara revolusioner statsiun TV ini melakukan pembenahan. Maka program-program unggulan diluncurkan. Berminat dengan kemilau dan bakat Farhan, mereka berani mengontrak secara ekslusif lelaki asal Bandung yang sebelumnya tumbuh subur di lading kreatif Trans TV, dengan nilai rupiah yang menjuntai. Namun program talk show yang dikomandani Farhan setiap malam itu hingga kini belum bisa dikatakan sukses. Lalu, muncullah acara kuis Super Deal yang mempesona jutaan pemirsa karena nilai hadiahnya yang mencapai 2 milyar Rupiah. Siapa yang tak ingin ketiban rejeki sebanyak itu? Kali ini, Nico Siahaan yang berkesempatan membawakan acara. Untuk meningkatkan awareness public terhadap acara kuis Super Deal, baliho besar-besar dipasang nyaris di setiap perempatan jalan Jakarta, entah kalau di luar kota. Lalu secara mengejutkan, sepasukan guru yang menjadi peserta kuis tiba-tiba tampil dan berhasil mendapatkan uang senilai dua milyar! Fantastis