Skip to main content

Saya, Joko Widodo, dan Bahasa Inggris


Saya seorang dosen, lulusan S3 dari luar negeri. Meskipun disertasi saya ditulis dalam bahasa Inggris dan pernah menerbitkan buku berbahasa Inggris di luar negeri, tetap saja kemampuan berbahasa Inggris saya pas-pasan. Setiap kali saya mengirimkan hasil penelitian pada jurnal internasional yang bereputasi baik, para reviewer selalu mengomentari bahasa Inggris saya yang 'poor'. Tapi ini tak membuat saya merasa rendah.
Dalam berbagai forum ilmiah, saya sering bertemu dengan para doktor dan bahkan professor dari negara-negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris. Menurut saya, kemampuan mereka berbicara bahasa Inggris pun jauh dari sempurna. Belepotan dengan grammar dan vocabulary yang menyedihkan. Namun mereka tak merasa rendah dan tak ada yang merendahkan. Kami akan lebih mengkritisi ide, bukan kefasihan berbahasa, meskipun ini penting juga.

Saat Joko Widodo berpidato di sebuah forum internasional, sejumlah orang berkomentar miring karena kemampuan presiden kita berbahasa Inggris. Mereka malu presidennya berbahasa Inggris tak sefasih orang Inggris saat bicara. Orang-orang sinis ini, merasa rendah karena presidennya tak cakap berbahasa Inggris. Mereka tak mencermati ide apa yang sedang disampaikan sang presiden, malah berlelah-lelah dengan mengomentari hal lain. Jika ini yang dituntut, lain kali memilih presiden, mereka boleh mengusulkan calon presiden harus memiliki skor TOEFL atau IELTS yang tinggi.

Jika saya membandingkan kemampuan berbahasa Inggris secara umum orang-orang India, Malaysia, Singapura, dan Filipina, orang-orang kita mungkin jauh di belakang. Sejak dulu, pelajaran bahasa Inggris sudah diajarkan bahkan ketika mereka masih duduk di sekolah dasar. Hal yang tidak terjadi saat saya kecil dulu. Saya baru mengenal bahasa Inggris ketika di SMP. Mungkin hal sama dialami juga oleh Joko Widodo.
Lain dulu lain sekarang. Anak saya dan teman-temannya yang duduk di bangku kelas satu SD, berkat Kurikulum 2013, sudah mulai belajar bahasa Inggris. Mereka sudah bisa melafalkan abjad-abjad latin dan kata-kata sederhana lain dengan baik. Bayangkan jika kelak dia lulus SD, setidaknya dia sudah akan hafal tenses dan sejumlah perbendaharaan kata. Kelak, jika dia atau teman-temanya mau jadi presiden, insyaallah bahasa Inggrisnya bisa setara dengan kemampuan presiden Amerika, perdana menteri Australia atau perdana menteri Inggris.

Jadi, merasa rendah karena Joko Widodo tak fasih berbahasa Inggris hanyalah masalah pribadi orang yang berhati sempit, bukan masalah bangsa. Jika kita mau berpikir positif, beri kesempatan anak-anak kita untuk belajar bahasa Inggris sejak dini, bukan karena tidak nasionalis dan anti bahasa Indonesia, tapi untuk mempersiapkan anak-anak kita sebagai calon pemimpin yang berwawasan global.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Forum Rektor se-Asia

Saya dan sahabat-sahabat dari Fakultas Ekonomi UNJ, sedang jumpalitan menyelenggarakan forum rektor se-Asia. Nama acaranya "Asian University Presidents Forum 2009". Persiapan sudah sejak setahun lalu. Perjuangan yang merepotkan karena harus berbagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk pekerjaan-pekerjaan lain yang juga menuntuk konsentrasi. AUPF ini berlangsung dari 18 tanggal hingga 21 Oktober. Event ini diadakan di hotel Borobudur. Namun tak sekedar di hotel ini saja kegiatan berlangsung karena kami juga memilih beberapa lokasi lain untuk bermacam kegiatan seperti Town Hall gubernuran, Gedung Arsip, Cafe Batavia, Segarra Ancol, Museum Sejarah, dan Istana Bogor. Untuk event ini, saya mengambil peran sebagai External Relations. Itu job utamanya, tapi ketika waktunya tiba, apa saja dikerjakan untuk membantu bagian-bagian lain yang keteteran. Bekerja dengan orang-orang yang belum pernah bekerja dan orang-orang yang pernah bekerja dengan latar belakang motivasi yang beragam, lumaya

Super Deal 2 Milyar, Super Rekayasa?

ANTV bersimbiosis dengan STAR TV. Secara revolusioner statsiun TV ini melakukan pembenahan. Maka program-program unggulan diluncurkan. Berminat dengan kemilau dan bakat Farhan, mereka berani mengontrak secara ekslusif lelaki asal Bandung yang sebelumnya tumbuh subur di lading kreatif Trans TV, dengan nilai rupiah yang menjuntai. Namun program talk show yang dikomandani Farhan setiap malam itu hingga kini belum bisa dikatakan sukses. Lalu, muncullah acara kuis Super Deal yang mempesona jutaan pemirsa karena nilai hadiahnya yang mencapai 2 milyar Rupiah. Siapa yang tak ingin ketiban rejeki sebanyak itu? Kali ini, Nico Siahaan yang berkesempatan membawakan acara. Untuk meningkatkan awareness public terhadap acara kuis Super Deal, baliho besar-besar dipasang nyaris di setiap perempatan jalan Jakarta, entah kalau di luar kota. Lalu secara mengejutkan, sepasukan guru yang menjadi peserta kuis tiba-tiba tampil dan berhasil mendapatkan uang senilai dua milyar! Fantastis