Skip to main content

Ijinkan Aku Meninggalkanmu

Bau matahari yang tertinggal di sepanjang pagar kayu menuju rumahmu mengendurkan langkahku dari bergegas. Wajahmu melintas. Bayangan akasia condong merendah. Alang-alang layu ditiduri angin. Senja mengelam. Banyak ragu pada niatku.

Menemuimu, bukan untuk mengumbar kasih karena hatiku meragu setiap kali pagi tiba. Menemuimu, bukan untuk membujuk rayu karena bibirku tlah kelu. Menemuimu, bukan untuk meminang karena sayapku yang tumbuh setiap kali kubuka jendela. Hatiku tlah berbelah.

Andai empat tahun lalu seekor burung gelatik tua tak menjatuhkan biji salam di bukit kecil itu, aku masih akan leluasa melihat rumahmu dari tempatku berdiri sekarang. Malam belum matang. Sekawan kalong terbang rendah. Selapis debu hinggap di sepatu.

Masih puluhan meter ke rumahmu, tempat yang dulu selalu aku rindukan untuk aku kunjungi. Namun malam ini rumahmu sebagai siluet menyeramkan yang menyiutkan keberanianku. Tarikan nafasku seberat beban dosa para leluhur. Langkahku terpatok pada kehampaan, masihkah ini bernama cinta ketika untuk menemuimu saja aku ragu?

Bintang berkelip malu-malu bagai taburan mute di lengkungan bando hiasan rambut yang biasa kau pakai. Aroma sendu tercetak kusam pada kemeja yang aku kenakan. Lelakikah aku? Seberapa jauh keberanianku untuk mengutarakan isi hati?

Saatnya, gumamku.

Ah, kau muncul dengan mata cemerlangmu. Dengan selendang meriah merah kuning hijau sukade. Cahaya lampu teras bagai keriaan yang menyempurnakan penampilanmu.
Kulihat separuh keindahan bumi di ketenangan wajahmu. Keindahan inikah yang kerap kusiakan?

Tak ada nyali untuk menatapmu. Tak kuasa dengan niatku untuk meninggalkanmu. Dinda, luhur agung rasa cintamu. Aku ingin pergi meninggalkanmu entah untuk apa. Aku ingin pergi entah untuk apa. Tak perlu kau tunggu aku karena entah kapan aku akan pulang. Karena sayap yang tumbuh setiap kali pagi tiba. Karena jiwa dan pikiranku telah melanglang ke penjuru mata angin. Jiwaku telah tertambat pada lengking setiap kereta yang membelah daratan. Pikiranku telah melebur pada setiap dengung ombak segala lautan.

Ijinkan aku meninggalkanmu. Karena tak pergi berarti mati bagiku.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.