Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2010

Kembali ke Kampus, Ganti Topik Penelitian

Kembali ke kampus setelah lebih dari satu bulan saya meninggalkan Australia, berjumpa buku dan jurnal, dan proposal yang baru saja saya ganti topiknya. Mulai dari nol lagi, tapi karena ini keputusan yang saya buat sendiri, saya pikir tak harus jadi beban. Saya harus sangat cermat memanfaatkan waktu karena konsentrasi saya otomatis terbagi karena keluarga sudah ada di Perth.

Museum di Indonesia Ibarat Taman Pemakaman

Saya pikir jika ada survey penilaian masyarakat terhadap museum-museum yang ada di Indonesia mayoritas jawaban akan sama: membosankan. Ketika suatu ketika saya bicara dengan seorang sahabat, dia mengeluh karena kepala dinas museum DKI Jakarta ternyata dipimpin oleh seorang mantan kepala dinas pemakaman. Tidak heran, semua museum tampak seperti taman pekuburan. Senyap, laksana suasana pemakaman pada umumnya. Siapa yang seharusnya pantas memimpin museum? Menurut saya tentu saja bisa siapa saja. Asal mereka punya minat terhadap permuseuman, punya leadership, kreatif, dan mau belajar. Leadership yang dibutuhkan bukan sekedar kepemimpin gaya bos orang pemerintah yang bahkan untuk mengatur orang saja tidak bisa. Tapi yang mampu merekrut bawahan yang bisa mengelola gedung-gedung museum dan koleksinya, menghidupkan dan memasarkan museum sehingga bisa menjadi tujuan pariwisata, medium pembelajaran, dan salah satu denyut kehidupan urban yang berharga. Bisakah museum-museum di Indonesia kelak men

Berburu Rumah

Saya memang kurang bekerja keras mencari rumah sebelum pulang ke Indonesia tempo hari. Saya mengandalkan satu usaha yang mungkin bisa berhasil. Ternyata tidak begitu kejadiannya. Saya tiba di Perth tanpa rumah tujuan padahal saya sudah membawa anak dan istri. Lalu, semula kami hanya berencana akan menginap di hotel untuk sementara. Seorang sahabat menawarkan tumpangan. Sahabat lain menawarkan juga. Maka empat malam pertama, saya dan keluarga menclok dari satu rumah ke rumah lain. Bersyukur punya sahabat-sahabat yang perhatian. Meskipun tidak begitu nyaman karena harus menumpang, namun apa daya. Sementara itu, setiap siang kami berkeliling Perth bertemu para pemilik rumah atau agen yang menawarkan rumah sewa. Dari Maylands ke Joondalup, dari Morley ke Victoria Park. Keputusan akhir: Victoria Park.

Basil ke Museum WA

Up in the Air

Dalam penerbangan ke Perth. Basil sibuk ngemil, mama sibuk dandan.

Jakarta, for the Last

Menikmati jalanan Jakarta sebelum ke Perth. Ini perjalanan dari Mampang setelah mengantar istri saya bekerja, ke Rawamangun, kampus tempat saya bekerja, 23/7. Sepanjang jalan Ahmad Yani, jalur busway yang mubazir dengan bangunan-bangunan shelter yang digerogoti pencuri amatiran. Oh, negeriku. Negeri tanpa orang-orang cerdas berbudi baik.

Sekali Lagi, Bebaskan Ariel

Kasihan Ariel. Mestinya, dokumentasi kegiatan asyik masyuk dia dengan sejumlah rekannya, jika benar, adalah urusan pribadi dia, tidak seharusnya menjadi urusan banyak orang. Yeah, adalah urusan setiap individu jika mereka mau melakukan perzinahan, menurut standar kitab suci. Termasuk urusan dia juga jika dia merasa perlu mengabadikan kegiatannya dengan merekam. Urusan dia pula jika dia melakukannya dengan lebih dari satu orang. Selama itu dilakukan suka sama suka. Ini kalau kita bicara hak azasi manusia. Bila kita bicara pada ranah sosial, jelas apa yang menimpa Ariel bisa dikategorikan sebagai kriminal. Tapi ini pun sebatas pada, siapa yang melakukan penyebaran. Maka yang harus dikejar seharusnya adalah siapa penyebar dari video tersebut dan apa maksudnya. Apakah itu urusan pribadi atau memang sengaja untuk meracuni masyarakat. Jika melihat dampak dan kemungkinan dampak, mestinya orang yang menyebarkan harus dikenai sanksi berat. Sedangkan Ariel, selama dia tidak terlibat dalam penyeb

Kisah Tabung Gas Mini

Beberapa tahun lalu. Belum juga Pertamina ketok palu untuk memutuskan bahwa mereka perlu mengimpor tabung gas ukuran mini, tahu-tahu pasokan tabung sudah datang dari negeri Cina. Setelah itu, satu demi satu kasus ledakan tabung terjadi di mana-mana. Sekarang, kita perlu mencari kambing hitam untuk disalahkan tentunya. Pertama, bagaimana mungkin pihak distributor yang melakukan impor tabung gas bisa melakukan transaksi dengan supplier dari Cina dengan spesifikasi jelas sesuai dengan rencana Pertamina? Ada indikasi permainan orang dalam yang seolah berebut pasar sebelum pertandingan dimulai. Kedua, karena orderan dilakukan sangat instan sehubungan dengan perlombaan meraih pasar, quality control tidak lakukan sehingga mutu tidak terjaga dan akibatnya bisa dilihat sekarang. Ketiga, mestinya begitu terendus ada keterlibatan orang dalam yang bermain mata dengaqn pihak distributor sebelum keputusan diluncurkan, Pertamina harus bertindak tegas. Mengusut bagaimana informasi bisa bocor ke pihak

Wish You Were in Nottingham, Aprina

Secara kebetulan, saya dan seorang sahabat saya, Aprina, sama-sama pernah mendaftar dan diterima di dua universitas berbeda di Nottingham, UK. Saya di University of Nottingham sementara Aprina di University of Trent Nottingham. Karena sejumlah alasan, kami tidak jadi ke Nottingham dan malah ke Australia. Begitu saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Notingham, tiba-tiba saya punya ide jahil untuk sahabat saya itu. Saya membuat sebuah tulisan pada secarik kertas, lalu meminta sejumlah mahasiswa di kampus itu untuk memegang kertas ybs. Silakan gondok, sista.

Speaker's Corner

Begitu lewat salah satu pojok Hyde Park, taman terluas di London, saya melihat kerumunan orang yang betul-betul membuat saya penasaran. Apakah ada event perusahaan? Tour? Begitu tiba, saya baru ngeh kalau itu adalah Speaker's Corner, tempat orang bicara bebas bikin panggung sendiri dan mencari massa sendiri. Hari Minggu itu sejumlah orang dari yang berwajah Arab, India, Afrika, hingga kulit putih bicara lantang tentang agama-agama yang mereka yakini kebenarannya. Pengunjung yang mendebat, langsung buka alkitab atau Quran. Mereka bicara dengan argumentasi yang kuat. Seolah tak ada yang mau kalah. Meski demikian, tak ada yang saling hina meskipun urat leher mengencang dan mulut berbusa. Tak perlu ada yang tersinggung juga. Semua berjalan aman dan saling menghormati. Saya membayangkan kalau pojok seperti ini ada di Indonesia. Belum-belum pedang melayang. Namun tak selalu semuanya serius. Ada sekelompok anak muda yang menawarkan 'Free H

Heading Back to Jakarta

Hari terakhir di England. Tak ada rencana untuk melakukan banyak hal kecuali packing dan menunggu waktu check out hostel tiba. Banyak yang sudah saya rasa, alami, lihat, dengar. Tak semua indah. Tapi semua memberi pelajaran dan pengalaman yang sangat berharga. Alhamdulillah. Saya punya kesempatan yang tak banyak orang dapatkan. Kembali ke Jakarta, bertemu keluarga, sahabat, dan tanah air. Kembali pada persoalan-persoalan bangsa yang semrawut. Kasus-kasus politik dan korupsi kelas tinggi yang sangat susah diurai kecuali mereka dimatikan. Kembali ke Jakarta untuk kembali berangkat ke Australia, negeri dimana saya untuk tiga tahun ke depan akan mengejar mimpi menyelesaikan kuliah. Entah masa depan apa yang kelak saya jalani. Hari ini dan besok hanya menlakukan apa yang harus saya lakukan. Agar jikapun saya berumur panjang nanti, tidak pernah akan menyesal karena telah melakukan apa yang saya lakukan hari ini dan besok. Kemarin adalah masa lalu. Tak perlu diungkap, biarlah berlalu. Tuhan,

"Banyak Uangnya, Ya?"

"Jalan-jalan mulu . Banyak uangnya, ya?" Sejumlah sahabat berkomentar demikian. Saya gagap menjawab. Uang selalu identik dengan sebuah perjalanan apalagi jika dilihat cuma sekedar untuk liburan. Sepertinya saya harus meluruskan bahwa uang bukanlah patokan dari niat dan itikad. Bagi orang-orang tertentu, melakukan perjalanan ke luar negeri bisa jadi hal yang luxurious. Namun bagi orang lain, bisa jadi hal yang sangat kasual. Lalu bagaimana dengan saya? Well, saya anggap saja ini sebagai tugas yang harus dilaksanakan. Tugas hidup, karena semesta menghendaki saya berpergian. Saya anggap sebagai bagian dari perjalanan spiritual. Sebagai ziarah untuk melengkapi nilai religius yang saya miliki. Saat dimana saya bicara banyak dengan diri sendiri, dengan dunia, dan dengan Tuhan. Tak banyak orang akan memahami apa yang saya pahami. Karena memang tak perlu. Ada orang-orang yang memberi label saya orang aneh. Saya senang menerimanya karena mungkin begitulah

Igloo Backpackers

Hostel yang saya tempati di Nottingham bernama Igloo Backpackers, terletak di 110 Mansfield Road. Dari stasiun kereta, sekitar 5 menit naik taksi dengan ongkos 4,8 pound. Saya menempati kamar di lantai 3 dengan 5 tempat tidur susun. Semuanya terisi. Per malam, tarifnya 14 pound harga online. Ditambah 1 pound untuk sewa handuk. Internet gratis. Ruangan rapi, bersih, dan terkesan baru. Padahal gedung ini dibangun sekitar abad 18. Ada ruang tv di lantai pertama, sedangkan dapur dan ruang video game di basement. Hostel ini tak jauh dari stasiun bis centrelink, bis gratis untuk keliling kota. Sangat dekat juga ke pusat kota. Jika memperhatikan para penghuni lainnya, terlihat berbeda dengan para penghuni hostel yang pernah saya kunjungi di England ini. Di sini terlihat lebih intelek dan bersih. Apa karena Nottingham bukan kota turis umumnya? Menurut resepsionis, sangat banyak mahasiswa internasional di sini. Bisa jadi karena ada dua universitas besar, Nottingham University dan Notting

Selamat Datang di Nottingham

Transit sekitar 30 menit di stasiun Sheffield dan harus berganti kereta, saya terkejut ketika tiba-tiba sampai di stasiun Nottingham. Perjalanan dua jam berasa cepat karena saya isi dengan tidur, sebentar-sebentar membaca jurnal dan menulis. Ah, Nottingham. Seseru apa kota ini, ya? Yang pasti, salah satu tujuan terpenting mampir di kota ini adalah mengunjungi Nottingham University.

Melihat Kasus-kasus Korupsi Indonesia dari Nottingham

Jauh dari tanah air bukan berarti saya tidak mengikuti perkembangan berita, terutama kasus-kasus korupsi yang melibatkan para petinggi negara. Membuat sesak dan sangat memalukan. Mereka berambisi jadi pejabat karena sepertinya sudah punya rencana untuk mengeruk keuangan negara sebanyak-banyaknya untuk memperkaya diri. Lalu, karena pergeseran arah politik, satu per satu kasus terungkap dan diungkap. Tapi tertutup dan ditutup kembali oleh lapisan korupsi berikutnya berupa penyuapan dan segala macam strategi tipu muslihat agar terlepas dari jerat hukum. Jauh-jauh hari saya berdoa, jika harus terlibat dalam kasus korupsi, saya mending jadi orang sederhana yang tak memiliki jabatan apa pun. Memiliki jabatan membuat orang lupa diri, memanfaatkan kekuasaan untuk jadi apapun yang mereka mau, termasuk menjadi orang kaya dengan cara hina. Saya bukan orang suci yang sok bersih. Setiap hari pun saya mungkin saja membuat dosa. Tapi setidaknya dosa yang saya lakukan hanya untuk saya sendiri tanpa ha

3rd Anniversary

Alhamdulillah, hari ini, tanggal 7 bulan 7 tahun 2010, genap memasuki tahun ketiga usia pernikahan. Sayang saya tak sedang bersama isteri untuk merayakan. Semoga dia bisa mengerti mengapa saya harus jauh dari rumah di hari penting ini.

University of Nottingham, Here I Am

Dulu saya girang banget ketika mendapat surat dari seorang profesor dari Unversitas Nottingham yang mengabarkan dia bersedia menjadi supervisor riset saya. Saya tidak tahu bahwa surat itu hanyalah tahap awal dari perburuan sebuah universitas di luar negeri yang sebenarnya tidak begitu sederhana. Saya masih harus mendaftar secara resmi ke bagian penerimaan. Lalu saya coba melamar. Tapi karena kriteria yang ditentukan kampus ini sangat tinggi, seperti misalnya nilai IELTS harus minimal 7, saya tidak bisa memenuhi syarat tersebut. Rada kecewa waktu itu. Padahal saya sudah menghayal tingkat tinggi untuk bisa tinggal dan menuntut ilmu di kota Nottingham. Sekarang, alhamdulillah . Meskipun cuma sekedar pengunjung, tercapai juga keinginan saya untuk bisa menjejakkan kaki di salah satu kampus terbaik di dunia ini.

Huddersfield University

Di kampus ini, Huddersfield University, sahabat saya Ernita bersekolah. Kampusnya tepat di tengah kota, sangat dekat ke berbagai amenities. Ada sebuah kanal yang membelah lokasi kampus, yang jika sedang kalut oleh jurnal-jurnal yang harus dibaca, bisa langsung nyemplung.

Open Market dan Charity Shop

Meskipun di Perth banyak juga toko-toko charity yang menjual barang-barang bekas, tapi saya belum pernah menjajal untuk melihat dan berbelanja di sana. Di Huddersfield, sahabat saya Ernita mengajak saya untuk melihat-lihat koleksi barang-barang di toko-toko amal ini. Jumlah tokonya lumayan banyak. Dengan kualitas yang masih lumayan bagus, barang-barang dijual dengan sangat murah. Misalnya, sebuah kaca mata hitam yang saya jamin baru, hanya dijual 4 pound. Lalu ada juga kaos-kaos yang dibandrol hanya dengan 2,9 pound. Di bagian lain kota, kebetulan hari itu Rabu, harinya Open Market di kota Huddersfield. Sebuah bangunan tanpa dinding dengan jajaran meja-meja, dipenuhi para pedagang barang bekas. Mulai dari koin antik sampai barang elektronik bekas. Ada yang dijual dengan harga pas, ada juga yang harus ditawar dulu. Banyak orang lokal berbelanja di sana. Untuk menambah seru perjalanan, saya ikut berbelanja di sana.

National Railway Museum, York

Hari pertama di Huddersfield, bukan kota ini yang saya jelajahi. Ernita dan satu sahabat baru saya, Delfia, mengajak saya mengunjungi National Railway Museum di York, sebuah kota bagian utara kota Huddersfield dan Leeds. Museum ini sangat menarik. Berisi gerbong-gerbong kereta tua dan segala pernik yang berhubungan dengan perkeretaapian Inggris dan lintas Eropa. Dikemas sangat unik, edukatif, dan menghibur untuk segala usia. Termasuk suvenir-suvenir yang dijual, sangat berhubungan dengan kereta api dan khas karena hanya dijual di tempat ini.

"Hilton Chambers Hostel"

"Hilton? Keren amat", komentar salah seorang sahabat saya begitu tahu saya tinggal di Hilton. Sahabat saya yang lain, langsung meralat. "Hilton Chambers Hostel". Iyalah, mana mampu saya tinggal di Hilton Hotel. Hostel yang saya tuju kali ini lumayan baru dan luas. Terlihat lebih rapi dan serius. Per malam, saya membayar 18 pound, tambah 1 pound untuk sewa handuk besar dan bagus, tidak kecil dan garing seperti di Bath atau Oxford. Atau di London yang petugasnya lupa meskipun sudah saya ingatkan dua kali minta handuk, akhirnya saya pakai handuk mini seukuran telapak tangan yang diselipkan istri saya sebelum berangkat. Plus lagi 5 pound internet sepuasnya. Agak boros, tapi begitulah. Tak ada hostel lain yang lebih murah dari ini yang berhasil saya temui di internet. Kamar yang saya tempati, terdiri dari 3 buah ranjang susun yang sudah penuh ditempati anak-anak muda dari Findlandia berkulit sangat pucat. Ada kamar mandi di dalam. I

Menjajal Tram di Manchester

Satu hal yang menarik dan ingin saya coba di Manchester, naik tram . Tram ini, begitu masuk stasiun dan menaiki jalur rail, berubah jadi kereta. Dulu di Jakarta, bekas peninggalan Belanda ada tram . Tapi dengan alasan kuno, maka ditinggalkan. Pemerintah waktu itu terbuai dengan pesona angkot yang diproduksi jutaan oleh PT. Astra.

Disambut Gerimis di Manchester

Langit sangat mendung begitu saya turun bis tiba di Manchester. Angin kencang, tak begitu lama gerimis turun. Marvin, sahabat saya yang kuliah di Manchester University, menjemput dan membantu saya mencari hostel yang sudah saya pesan. Syukurnya, letak hostel tak begitu jauh dari stasiun bis. Berada di pusat kota, menempati lantai dua sebuah gedung pertokoan. Setelah check in, meletakkan tas, kami berangkat lagi untuk memanfaatkan waktu berkeliling kota. Tak banyak cita-cita ingin melihat apa saja yang saya miliki di Manchester ini. Jadi kami asal jalan, berfoto-foto, makan. Gedung-gedung tua berdampingan dengan gedung modern. Orang-orang bertampang Pakistan dan India berbaur dengan orang-orang oriental dan Caucasian.

Bertemu Dua Sahabat di Manchester

Untuk bisa mendapat nilai IELTS bagus supaya bisa lolos masuk universitas di luar negeri, saya merasa perlu mengikuti sebuah kelas persiapan bahasa Inggris di IALF , Jakarta, tahun lalu. Maklum kemampuan bahasa Inggris saya sangat terbatas. Dengan hasil tes IELTS itu, hampir sebagian besar peserta di kelas saya, telah melanglang buana. Dua diantaranya saya temui di Manchester, Marvin yang kuliah di Universitas Manchester dan Theresa yang kuliah di Universitas Lancaster. Serasa mimpi bisa mengunjungi mereka.

Lupa, Lupa, Lagi

Musuh utama saya jika sedang berpergian bukanlah penjahat yang mungkin mau merampok, tapi sifat lupa. Dua hari sebelum berangkat ke Inggris, saya lupa meninggalkan harddisc di sebuah warnet di gedung Sarinah. Besok paginya saya datangi, benda itu sudah hilang entah kemana. Padahal banyak data penting ada di sana. Di hostel pertama yang saya inapi di Oxford, sabun tertinggal. Di Bath, saya beli sabun baru. Tertinggal juga. Di London beberapa hari mandi tidak pakai sabun, cukup pakai sampo saja. Tiba di Manchester, saya baru ngeh kalau adapter listrik tertinggal di London. Repot benar jika barang yang satu ini hilang. Beli baru bukanlah persoalan mudah. Selain mahal, pun mesti menunggu waktu toko buka yang kadang sangat siang dan buka sangat cepat. Untung ada teman sekamar yang bisa dipinjami dan sangat pas dengan kebutuhan saya. Semoga tidak ada barang-barang lagi yang tertinggal.

London Pride Parade

Tak tahu pasti kemana harus berjalan di antara banyak pesona London, saya hanya terus berjalan dan terus berjalan. Sampai tiba di kawasan Circus Picaddily, beberapa petugas membuat blokade jalan. Seorang petugas memberi alasamn: "Here will be a Pride Parade". Tiba-tbia saja ribuan orang berjejal rapi di sepanjang jalan yang katanya akan dilewati oleh Pride Parade, sebuah parade kaum gay dan lesbian kota London. Hampir dua jam penuh arak-arakan di bawah matahari terik mengusung beragam topik khas kelompok ini. Misalnya, tuntutan kaum lesbian yang menginginkan pensyahan operasi kelamin. Musik-musik disco seperti lagu-lagunya Lady Gaga berkumandang hingar bingar membuat para penonton ikut berjingkrak. Saya? Ikutan, dong.

Deptford, London

Saya terus berusaha berpikiran positif menjejakkan kaki di distrik Deptford, ketika begitu banyak warga kulit hitam di sepanjang Deptford High Street. Saya membayangkan sedang berada di sebuah sudut kota di sebuah negara di Afrika. Beberapa dari mereka mengawasi saya. Saya terus berjalan sambil bingung harus kemana berjalan. Seorang anak sekolah berambut kepang kecil seolah siap membantu persoalan yang sedang saya hadapi. "Do you know where is Deptford Church Street?" Omongannya tidak jelas, saya terus bertanya. Seorang pria hitam lainnya yang lewat menunjuk sebuah bangunan gereja tak jauh dari tempat kami berdiri. "No. It's not a church what I'm looking for. I'm looking for Deptford Church Street." Orang itu sambil terus berjalan, bilang: "It's High Street." Anak sekolah tadi lari-lari mengejar ibunya meninggalkan saya yang masih kebingungan. Saya terus berjalan. High Stree

25 Pound dari London ke Manchester

Tiga puluh menit pertama, saya menyesal telah memilih bis setelah mengalami ketidaknyamanan. Biasanya saya akan mulai serasa mau muntah. Kecuali jika saya buru-buru tidur dengan merebahkan kepala. Untung bis sedikit penumpang dan di sebelah saya kosong hingga saya bisa meringkuk tidur. Setelah mulai terbiasa, saya berani bangun dan mengisi waktu dengan menulis. Langit mendung sepanjang jalan dari London ke Manchester. Pemadangan yang tersaji hanya hamparan padang rumput, perkebunan dan sesekali rumah-rumah tua pedesaan. Harga tiket yang 27 pound sebetulnya sangat mahal. Tapi saya tak punya pilihan. Mungkin jika saya membeli lewat internet beberapa hari lalu, harga tak akan semahal itu. Seorang mahasiswa asal Mesir yang saya tanya, dia hanya membayar 12 pound bolak-balik dari Manchester-London-Manchester.

London Underground

Jalur kereta api di Inggris sangat jelas dibangun dengan sangat serius. Dari satu distrik ke distrik lain, dari satu stasiun ke stasiun lain semua terkoneksi dengan sangat rapi. Negara betul-betul memudahkan warganya untuk melakukan perjalanan. Dengan begitu semua bagian kota dan negeri bisa bergerak leluasa, membangun dan bekerja lebih giat. Tak ada alasan untuk berdiam diri saja. Ketika hari Sabtu tiba kembali ke London, saya menemukan arah ke hostel dengan mudahnya setelah banyak bertanya tentunya. Begitu juga ketika hari Minggu. Saya menemukan kerumunan yang luar biasa padat di jalur-jalur tertentu. Lorong-lorong underground seperti labirin tikus yang penuh jebakan. Bahkan orang-orang London sendiri masih perlu memegang peta untuk bisa selamat tiba di tujuan. Jalur utara, selatan, pusat, platform 1 sambapi belasan... Riweuh pisan. Hari Minggu, ketika sejumlah jalur ditutup untuk efisiensi, masalah baru muncul. Saya yang sudah mulai hapal de