Saya terus berusaha berpikiran positif menjejakkan kaki di distrik Deptford, ketika begitu banyak warga kulit hitam di sepanjang Deptford High Street. Saya membayangkan sedang berada di sebuah sudut kota di sebuah negara di Afrika. Beberapa dari mereka mengawasi saya. Saya terus berjalan sambil bingung harus kemana berjalan. Seorang anak sekolah berambut kepang kecil seolah siap membantu persoalan yang sedang saya hadapi. "Do you know where is Deptford Church Street?" Omongannya tidak jelas, saya terus bertanya. Seorang pria hitam lainnya yang lewat menunjuk sebuah bangunan gereja tak jauh dari tempat kami berdiri. "No. It's not a church what I'm looking for. I'm looking for Deptford Church Street." Orang itu sambil terus berjalan, bilang: "It's High Street." Anak sekolah tadi lari-lari mengejar ibunya meninggalkan saya yang masih kebingungan.
Saya terus berjalan. High Street yang dimaksud pria hitam tadi merupakan deretan toko. Tak hanya toko orang-orang hitam yang banyak ditemui di sana. Ternyata, banyak toko orang India dan Cina juga. Saya masuk ke sebuah toko milik orang India. Perempuan yang menjaga toko menerangkan arah yang harus saya tuju sambil memberikan sebuah peta. Ternyata, perempuan ini pun tahu dengan pasti letak hostel yang saya maksud.
Meskipun saya ingin sekali mengeluarkan kamera untuk membuat beberapa foto kawasan Deptford, tapi naluri saya menahan. Saya harus sangat berhati-hati. Kelak, seorang room mate saya di hostel, menerangkan tentang kondisi kawasan itu yang sesungguhnya. Katanya, Deptford merupakan kawasan termiskin di London. Perekonomiannya tidak tumbuh baik jika dibandingkan dengan distrik lain di ibukota Inggris ini. Namun begitu jalur kereta underground penghubung dibangun, kawasan ini mulai membaik. Ah, saya bersyukur bisa menahan diri untuk tidak memotret tadi. Satu hal lagi, penduduk sana biasanya akan mengawasi orang-orang yang tak mereka kenal berada di daerah itu. Saya menebak-nebak, mungkin juga begitu karena orang-orang itu banyak yang tak memiliki kesibukan dan jarang ada turis datang karena tak ada atraksi menarik di sekitar Deptford.
Setelah check in, saya beristirahat sejenak. Seorang pria muda Jerman berumur 24 tahun, sangat ramah mengajak saya berbincang. Menjelang malam dan perut mulai berasa lapar, saya berjalan santai menuju High Street yang saya lalui tadi. Saya merasa perlu tahu lebih detail. Saya mulai mengeluarkan kamera.
Dari dua deret pertokoan di sepanjang High Street, saya menemukan banyak tukang daging berlabel halal. Ah, siapa mereka? Dari tampangnya, mereka seperti wajah-wajah dari Asia Selatan. Ada juga salon-salon dengan banyak pelanggan wanita kulit hitam yang me-rebonding rambut, mengepang kecil-kecil, dan meni-pedi. Ketika saya melewati sebuah salon cukur, tiga orang pria hitam tanpa wajah ramah menawari saya untuk memotong rambut saya. Saya melihat sekilas ke dalam salon. Tiga orang kulit hitam tamu sedang dipangkas sangat pendek. Saya membayangkan bagaimana mereka akan memotong rambut saya jika yang mereka bisa kerjakan hanya menggunduli? Saya menolak dengan sopan. Tapi dalam hati, sepertinya saya ingin mencoba memotong rambut di London mengingat potongan rambut terakhir yang saya miliki sangat ajaib sulit diatur.
Di ujung jalan, saya mampir membeli susu dan kripik pisang. Perut mulai bunyi-bunyi tapi saya belum juga memutuskan restroan mana yang akan saya datangi. Rupanya banyak restoran yang memasang label halal di bagian mukanya. Saya masuk ke sebuah restoran milik orang Pakistan. Dua pound untuk dua potong ayam yang tak begitu enak dengan kentang goreng. Alhamdulilah. Rasa nomor sekian, yang penting halal dan kenyang. Porsinya lumayan banyak. Saking banyaknya, saya minta penjaga restoran untuk membungkus sisanya. Lumayan buat sarapan.
Comments