Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2009

Maddington Station

29/12/09.

Araluen Botanical Garden

Another unplanned trip. Saya berdiri di stasiun bis, lalu mengamati jalur-jalur kereta kemana saja arahnya. Mau sesuatu yang belum pernah saya kunjungi: Armadale. Lalu sambil menunggu kereta datang, saya sempatkan browsing, mencari tempat apa saja yang mungkin menarik untuk dikunjungi. Di urutan pertama sebagai objek wisata yang direkomendasikan oleh sebuah website adalah Araluen Botanical Garden. Okay, go get there! Tidak sampai 60 menit, saya sudah tiba di ujung rel Armadale. Hal pertama yang saya lakukan adalah bertanya kepada pertugas stasiun. Lelaki muda berkepala botak yang saya tanyai, sangat ramah membantu. Ia menelpon kemana-mana untuk mendapatkan informasi kendaraan apa yang mungkin bisa membawa saya ke sana. Ternyata cuma ada taksi dan untuk jarak terdekat, saya harus mundur balik sekitar 3 stasiun. Saya ikuti petunjuk pria tadi setelah sebelumnya saya menelpon Swan Taxi untuk mengatur penjemputan di stasiun Helmscott. Keluar dari Helmscott, sebuah taksi mendeka

Kisah 5 Dolar

Ketika saya mendapatkan berbagai kebaikan saat mengunjungi Armadale, saya teringat sesuatu. Di stasiun Armadale ketika saya menunggu kereta menuju stasiun Helmscott, seorang remaja pria duduk di sebelah saya. Dia bercerita kehabisan uang, tak punya uang untuk beli tiket pulang ke Bunburry seharga 14 dolar sekian sen. Saya terus waspada mencecar dia dengan sejumlah pertanyaan. Dua buah tindikan di bibirnya tak membuat saya langsung percaya. Saya membayangkan kecewanya hati saya jika tahu ternyata saya dibohongi. Begitu kereta datang, kami naik bersama. Dia kembali duduk di sebelah saya, menunjukkan tiket waktu dia datang dari Bunburry ke Perth. Di sana tercantum namanya Jack Farmer. Saya minta dia mengulang ceritanya. Katanya, sahabat yang dia kunjungi ditangkap polisi dan dia tak tahu apa yang harus dilakukan kecuali pulang. Well, sudah jelas bagi saya. Sekarang ambil sederhananya saja, jika saya mau menolong, menolonglah. Jika tidak, pergilah. Tak perlu berpikir

See Avatar and Go Green

29/12/09. Sambil terus menyaksikan Avatar, saya terus membandingkan Pandora, planet tempat tinggalnya para makhluk berkulit biru, dengan tanak air yang kaya akan sumber daya. Lalu datang manusia dari bumi yang niat awalnya mulya untuk melakukan penelitian. Namun karena ingin menunjukkan kekuatan, niat mulya itu luruh oleh ego dan kesombongan. Cerita tentang peran kolonialisme dalam menghancurkan bumi. Film ini juga tentang bumi yang tak lagi layak huni hingga perlu ada tim khusus yang mencari alternatif menjelajah ke planet lain demi terus berlangsungnya spesies bernama manusia.

Kabar dari Oxford

Saya sampai lompat dari kursi tempat saya duduk ketika membaca email dari Oxford University, Inggris. Awalnya saya tidak tahu itu email apa, main baca saja. Ternyata, pemberitahuan kalau abstrak saya diterima dan saya diundang untuk mempresentasikannya Juni tahun depan. Subhanallah. Alhamdulillah. Cerita bermula ketika seorang rekan saya di FE UNJ mengirimkan sebuah email tentang konferensi internasional bidang bisnis di Oxford ini. Sudah beberapa rahun, dosen-dosen dari fakultas kami bergantian mengirimkan proposal ke sana dan selalu berhasil lolos. Tahun ini ada beberapa yang mengirim dan puji Tuhan, mereka juga lolos. Gembira bukan main. Ini akan menjadi langkah besar saya menggeluti dunia penelitian. Sebuah pengakuan internasional yang harus saya persiapkan betul-betul. Apalagi penyelenggaranya adalah unviersitas terkemuka di dunia. Wow, hati seperti berbunga-bunga. Namun begitu, ada juga perasaan gelisah. Bagaimana tidak? Jangankan tingkat dunia, tingkat kelurahan saja saya tak pe

Saya Ingin Jadi Peneliti

Suatu ketika, guru bahasa Inggris saya meminta setiap siswa di kelasnya untuk menyiapkan materi oral presentasi tentang carier path, karir apa yang ingin kami jalani nanti. Ada waktu dua minggu untuk mempersiapkan. Hingga tiba waktunya presentasi, saya masih belum punya kepastian karir apa yang ingin saya jalani berikutnya. Saya sudah jadi dosen, jadi tak mungkin rasanya karir yang sekarang sudah dijalani saya presentasikan. Namun demikian, saya tetap menyiapkan power point. Begitu nama saya dipanggil, tiba-tiba saja menyeruak sebuah ide: "I would like to be a researcher. Researcher in social marketing." Eng, ing, eng. Sebuah presentasi yang punya konsekuensi berikutnya. Saya telah membuat pernyataan pada banyak orang bahwa saya mau jadi peneliti. Seru juga. Meskipun tentu saja pekerjaan ini bukan hal yang populer. Menjadi peneliti sekaligus dosen. Hal yang sangat klop, bukan? Banyak dosen yang tidak melakukan penelitian karena berbagai alasan. Sementara saya tidak punya al

Jurrasic in Perth

Hingga Maret 2010, Museum WA akan terus menampilkan robot Dinosaurus setelah sebelumnya, selama berbulan-bulan mereka menampilkan patung Budha raksasa asal Vietnam yang terbuat dari batu giok. Museum, untuk terus dapat pengunjung, harus selalu punya inovasi produk. Tidak melulu mengandalkan koleksi-koleksi yang ada. Prihatin dengan kondisi museum di Indonesia. Mereka perlu network untuk bisa survive, agar terus bekerja sama. Misalnya, ya, Museum Nasional yang memiliki koleksi arca-arca jaman kerajaan nusantara, dipamerkan di Perth dan sebaliknya, robot mekanik Dino yang bisa bergerak dan bersuara ini dipamerkan di sana. Saya rasa kan menguntungkan kedua belah pihak. Sama-sama diuntungkan.

Saya Masih Nge-blog dan Akan Terus Nge-blog

Sudah lama saya tak browsing blog-blog yang orang lain buat. Ternyata masih banyak orang yang aktif blogging. Menulis keseharian mereka, hal-hal yang sederhana, hal-hal yang mungkin sangat tidak penting. Sama seperti yang saya lakukan. Kadang hal yang memang remeh temeh. Tapi mereka tetap menulis. Saya pun tetap menulis. Saya tak tahu kebiasaan ini akan berhenti kapan dan karena sebab apa. Menulis itu perlu energi, inspirasi, dan disiplin. Tak bisa survive hobby menulis kita kalau tak punya dorongan yang kuat dari hati. Mood saya pun naik turun dan bolong-bolong. Kadang jika lagi semangat, bisa lima buah postingan bisa naik. Jika tidak, berminggu-minggu bahkan sebulan penuh tak ada. Untungnya, saya sekali mengambil foto dengan kamera atau dengan telepon selular. Jika sedang malas menulis, saya tinggal posting saja foto yang saya buat. Bukankah satu foto bisa bercerita seribu kata? Hahaha. Saya manfaatkan saja istilah itu. Atau sering juga saya memposting foto-foto lama, saya lihat kapa

Lakeside Mall

Saya sedang mereka-reka jika kemudian Joondalup saya pilih untuk tempat tinggal. Saya terus berkeliling melihat Lakeside mall ini, mencari tetek bengek keperluan buat harian. Lumayan komplit. Ada tiga supermarket seperti Coles, IGA, dan Woolworths, bioskop (tapi mahal, 17, 5 dolar), toko buku, dan macam-macam lain. Yang terpenting adalah dekat ke kampus. Jika perlu tinggal jalan kaki saja. Tapi entahlah.

Joondalup yang Sunyi

Saya pernah membaca sebuah blog, jauh sebelum saya tiba di Australia, tentang Joondalup yang ditulis oleh pemilik blog itu sebagai kota hantu karena saking sepinya. Di dalam mall, orang memang berlimpah. Di jalan raya pun sesekali mobil melintas. Tapi mungkin perlu bermenit-menit untuk bisa melihat orang berjalan kaki melintas. Kota ini meskipun banyak bangunan berdiri, rumah-rumah, apartemen, dan kampus, tapi penghuninya entah kemana. Seperti sub-urban di Perth pada umumnya. Sunyi.

Sale Sale Sale

Saya mendamparkan diri di pusat perbelanjaan Lakeside di kota Joondalup, bagian utara Perth. Tidak saya sangka, bangunan ini luas sekali. Pengunjungnya juga berlimpah. Mungkin juga karena diskon boxing day masih berlangsung. Potongan harga gila-gilaan masih melanda hampir semua toko.

Piknik di Halaman Katedral

Di luar rencana, saya bertemu sahabat saya, orang Bangladesh. Dia sedang menemani teman-teman perempuannya belanja. Lihat, dia jadi porter untuk banyak belanjaan. Hahaha. Dia tinggal di sebuah apartemen sewa di kota. Saya berkesempatan mampir. Saya memang punya rencana untuk mencari rumah atau apartemen untuk keluarga saya nanti jika mereka sudah gabung. Tapi 250 dolar seminggu rasanya mahal juga untuk saya. Tak lama di sana, saya pamit sambil berpikir mencari tempat yang nyaman untuk bisa membaca buku. Tak jauh dari apartemen sahabat saya itu, ada sebuah katedral besar yang cantik, yang baru selesai direnovasi. Di sekitarnya, ada beberapa pohon tua yang rindang yang kelihatannya sangat enak untuk rebahan bersantai. Sedapnya. Dulu, ketika saya terobsesi dengan fotografi, setiap melihat bangunan tua selalu saya lahap bahkan hingga ke detailnya. Sekarang, sekedar untuk saya kagumi. Tak ada lagi energi untuk mengeksplorasi. Minat

Boxing Day in Perth

"Boxing Day", bahkan seorang housemate saya yang kristiani saya tidak mengerti maksud dari istilah ini. Dia mengira ini ada kaitannya dengan pertandingan tinju. Beruntung, tiga hari menjelang libur natal, Debbie, guru bahasa Inggris saya memberikan materi tentang segala hal yang berhubungan dengan natal. Maka, saya jadi paham apa itu boxing day . Di negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan kristiani, istilah boxing day memang jarang dipakai. Pada hari yang jatuh setelah hari natal ini, saya ke kota. Setelah menunggu hampir 1 jam, bis akhirnya datang juga. Sebelumnya saya sudah minta informasi tentang jadual bis yang katanya memang akan lebih jarang dari hari biasa. Susahnya tinggal sub-urb yang selalu tergantung pada bis. Tiba di kota, saya terperangah. Ramai sekali. Orang-orang saling bergegas masuk keluar toko dengan tangan penuh belanjaan. Ketika saya lihat ke jendela-jendela pertokoan, di sana tertulis diskon d

Mimpi "Moating"

Terbangun dari mimpi. Saya berada di sebuah tempat dengan banyak orang. Saya sedang membayangkan sebuah kata dalam bahasa Inggris 'moating' yang berarti, versi mimpi saya, aktivitas atau sesuatu yang dilakukan ketika kita 'terbelenggu' atau dalam kondisi terpojok yang dihubungkan dengan kreatifitas, mengoptimalkan diri, well, agak maksa dan melakukan kegiatan atau usaha yang tidak harus melanggar hukum tapi seolah-olah di luar batas dari kebiasaan. Bisa juga sebuah pertualangan. Tiba-tiba, seseorang yang saya yakini seorang yang memiliki jabatan mengumpulkan orang-orang, dari segala usia, termasuk saya. Saya baru menyadari sedang berada di kantor surat kabar Kompas. Ada semacam kompetisi menulis. Orang ini memiliki asisten yang membagikan buku dan alat tulis kepada para peserta lomba. Salah satu topiknya adalah...ah, lupa. Ada beberapa topik sebetulnya. Sesuatu yang berhubungan dengan 'moating' ketika kita sedang berada di luar negeri, sesuatu yang berhubungan

X-Mas

Natal. Saya putuskan untuk di rumah saja: online, baca buku, tiduran, masak. Hawa di luar lumayan panas. Tidur pun tidak nyaman saking panasnya. Maklum, kamar tidak ber-AC. Ketika sore tiba, saya keluar rumah untuk jogging dengan arah yang berbeda dari biasanya untuk mengeksplorasi daerah-daerah baru. Dengan ratusan lagu mengalir ke kuping, saya melenggang ringan. Ketika kaki sudah lumayan lelah, saya tinggal mencari halaman rumput yang rapi, rebahan, mengirim SMS ucapan selamat natal kepada sejumlah sahabat, lalu melamun. Kapan saya dapat kejutan yang menyenangkan, ya? Merry christmas, everybody!

Malam Kudus

Menjelang natal, perpustakaan kota masih ramai dikunjungi orang seperti biasa. Tempat yang sangat menyenangkan memang. Jika ingin mencari referensi, tinggal ke atas atau jika hanya ingin mengetik dan browsing, tinggal duduk di lantai saja. Internet gratis. Banyak anak muda yang datang membawa laptop masing-masing, cuma sekedar untuk chatting atau menonton video. Saya membawa banyak buku dan laptop. Membaca dan membuat catatan untuk riset saya. Sampai jam buka habis, sampai sayalah orang terakhir yang keluar ruangan, sampai satpam merasa perlu berdiri di samping meja saya... Kota agak lengang. Beberapa orang tampak bergegas membeli kado-kado untuk orang terkasih sebelum toko-toko tutup. Sebagian lain membeli perlengkapan untuk dapur. Besok tak ada toko buka. Hampir jam enam, sebentar lagi semua pintu bisnis akan ditutup karena ini malam natal!

Mimpi Burung Pemakan Bangkai

Source: Chrocodiles.blogspot.com  Mimpi terbang lagi. Saya baru saja menitipkan Mak di sebuah kedai kopi dengan dua sahabat saya di sana. Saya mulai berjalan menyusuri lorong, entah apa yang dicari. Hujan mulai turun ketika saya berada di sebuah ketinggian. Jalan aspal mulai tergenang. Ada keinginanan untuk mengepakkan tangan tapi ragu. Apa saya masih bisa terbang? Lalu saya ambil jalan lain dan mulai terbang. Melintasi rumah-rumah, keluar masuk gang sebuah perkampungan. Lalu sebuah rumah yang di dalamnya banyak tokoh-tokoh politik berkumpul, eh ada Wiranto yang baru saja menaiki mobil dan berlalu, kemudian saya terhenti karena ujung gang tertutup terali dan terkunci. Berikutnya di sebuah halaman kosong, dua ekor burung besar, sepertinya vulture (pemakai bangkai), berlabel 'gagak' menyapa ramah. Atau mungkin gagak. Burung ini berukuran besar, berwajah seorang ibu yang datar, bisa bicara. Sementara anaknya, berbadan lebih kecil berkepala manusia, terbang mendekati menya

Jalan Menuju S3 di Luar Negeri: dari Nilai IELTS hingga Agen Pendidikan

Mengantongi restu dari profesor untuk menjadi supervisor riset kita bisa jadi modal awal. Langkah berikutnya pendaftaran. Pastikan semua dokumen, seperti sertifikat dan transkrip S1 maupun S2 diterjemahkan oleh penterjemah tersumpah. Kita juga perlu punya surat referensi dari dosen-dosen kita selama kita kuliah S2 dimana dosen kita itu harus menulis secara subjektif tentang kita. Intinya, apakah kita ini memang mampu melanjutkan studi ke S3. Ada universtas yang meminta dua surat referensi, ada juga yang minta tiga. Ada yang mengharuskan pake form yang mereka sediakan, ada juga yang boleh pake kop surat dari kantor dosen kita. Persyaratan lain, nilai kecakapan berbahasa Inggris. Untuk universitas-universitas di negara persemakmuran Inggris, umumnya meminta nilai IELTS. Sementara untuk kampus-kampus di Amerika, lebih banyak mensyaratkan TOEFL. Tapi hampir rata-rata mau menerima keduanya. Nah, setiap perguruan tinggi memiliki standar yang berbeda untuk menentukan skor. Pertama saya menda

Oh, Jahe. Mengapa Engkau Mahal Sekali?

Ceritanya saya ingin mencoba masak sesuatu yang berbeda: ayam kecap. Setelah bertanya pada seorang sahabat apa saja bumbu dan bagaimana cara buatnya, saya mulai berburu ke super market bahan apa saja yang diperlukan. Ternyata agak susah mencari jahe di sini. Di super market besar tak ada, adanya di toko milik orang Vietnam, yang semula saya kira orang Korea. Saya hanya ambil sebutir jahe yang ketika ditimbang, oalah, harganya sekitar 30 ribu kalau dirupiahkan! Mahal pisan. Mau tak mau harus dibeli karena daging ayam sudah saya beli juga. Ini rencana kedua sebetulnya. Sebelumnya saya sudah mencoba memasak ayam kecap juga. Tapi karena lupa beli jahe, jadi saya masak ayam kecap tanpa jahe. Rasanya? Ya, begitu, deh. Ada hal lucu. Waktu itu saya beli kecap asal saja. Begitu saya tuang ke panci, encer banget. Makanya saya tuangkan agak banyak. Setelah matang, saya coba cicipi. Shhhh...asin. Rupanya, biar encer, kecap yang saya beli rasanya luar biasa asin. Di Jakarta saya biasanya menghindar

Jalan Menuju S3 di Luar Negeri: dari Profesor hingga GMAT

Seorang sahabat getol sekali bertanya bagaimana bisa kuliah Phd ke luar negeri dengan beasiswa. Hmm, saya mencoba menjelaskan dengan sesederhana mungkin tanpa mengesankan bahwa ini pekerjaan yang mudah dan bukan pula yang susah sehingga sulit diikuti. Tentu saja saya ingin menyemangati siapa pun yang mau mengikuti jejak saya. Ini yang ingin saya lakukan sekarang. Lama saya bergaul dan mengenal orang-orang yang akrab dengan pencarian dan usaha untuk mendapatkan beasiswa namun tak membuat saya terusik. Mengapa? Mungkin karena kebutuhan saya waktu itu belum ada atau juga sahabat-sahabat saya itu yang kurang 'menularkan' semangat mereka. Lalu ketika saya hitung, ternyata lumayan banyak sahabat-sahabat yang terus saya bakar semangatnya untuk tidak patah semangat mendapatkan peluang beasiswa. Beasiswa bisa didapat oleh siapa pun asal mau berjuang, tentunya. Beasiswa ada yang didapat dari perusahaan atau institusi tempat bekerja, dari universitas di luar negeri yang mengadakan sayemba

Libur = Belajar

Sabtu, Minggu, Senin, Selasa... Empat hari pertama liburan saya berkutat di perpustakaan. Ada dua perpustakaan yang sering saya kunjungi, perpustakaan kampus dan State Library di kawasan Northbridge. Ide untuk menulis sedang lancar mengalir, mood pun lagi naik. Maka keinginan untuk jalan-jalan saya kesampingkan dulu. Saya punya target menyelesaikan dua karya ilmiah sebelum kuliah utama saya dimulai pertengahan Februari nanti. Selain itu ada juga dua abstrak yang saya pertaruhkan untuk dikirim ke konferensi internasional di luar negeri. Hahaha, iseng banget. Sejujurnya, selain skripsi dan thesis, saya belum punya pengalaman menulis karya ilmiah. Apalagi di bawah bimbingan seseorang yang akhli. Saat ini pun saya otodidak saja. Semoga tidak melenceng jauh. Tujuan lain mengisi liburan dengan terus belajar, agar saya terbiasa dengan tuntutan mahasiswa riset nantinya. Biar tidak kaget. Lagi pula, mumpung keluarga belum gabung dan belum punya pekerja

Luna dan 'Pelacur'

Luna Maya, satu-satunya artis Indonesia yang saya kagumi, sedang dirudung masalah gara-gara menghujat infotainment di Twitter. Karena reaksi infotainment yang berlebihan, saya meradang. Syukurlah, banyak pula yang juga membela Luna. Mengapa Luna dibela padahal netiket-nya kurang terpuji? Menurut saya ada dua alasan. Pertama, karena semua orang memang menyukai Luna yang selain cantik ragawi, kelakuannya juga dianggap 'baik-baik', dibandingkan artis lain yang populer tapi karena sensasi bukan karena karya yang dibuat. Kedua, karena banyak orang sudah muak dengan infotainment. Kultur kita bukan seperti Amerika dimana mengumbar kejelekan orang masih dianggap tidak senonoh meskipun juga disuka. Kita semua berada pada wilayah hipokrit akut yang tahu bahwa bergunjing itu tak baik tapi karena MUI tidak mengharamkan maka dianggap boleh. Untuk beberapa hal urusan dosa, kita seolah telah memasrahkannya pada MUI sebagai dedengkot hakim atas baik-buruk perbuatan.

Peringatan Natal

21/12/09.

Libur Telah Tiba

Menandai libur akhir tahun, Jumat, 18/12/09, PIBT ECU mengadakan barbeque di taman kampus. Enaknya tinggal di Australia, hampir semua taman terbuka difasilitasi alat bakaran otomatis. Tak ada yang usil merusak apalagi sampai menghilangkan. Burgers, hotdogs... Dua minggu ke depan, tak akan ada kegiatan perkuliahan di kampus. Happy holiday and new year, mate...

Kings Park

Meskipun rada linglung karena belum tahu tujuan mau kemana, saya bulatkan tekad untuk keluar rumah, 13/12/09. Biar tak terlalu sederhana hidup saya. Apalagi, Sabtu kemarin saya sama sekali tak keluar rumah kecuali jogging. Matahari ada selusin di atas kepala. Panas nian. Bahkan setelah turun dari bis, saya masih belum yakin apakah mau ke Subiaco, 5 km dari Perth sesuai mini city guide book yang saya baca selama perjalanan. Atau ke Joondalup, atau keliling kota saja naik gratisan bus Blue Cat dan Red Cat? Kaki masih terus melangkah, hingga akhirnya turun ke stasiun kereta yang letaknya bersampingan dengan stasiun bis. Midland, Amidale, Fremantle,... ah, hati saya lagi-lagi tak terusik untuk mengunjungi salah satu dari tujuan itu sampai kemudian kaki saya terus bergerak, keluar stasiun kereta. Sejenak window shopping , tapi tak nikmat juga karena hati sedang tidak ingin melakukannya. Tak lama Blue Cat lewat dan saya lompat ke da

Street Poster

Dino is Alive!

WA Museum 'menghidupkan' kembali keluarga dinosaurus yang sudah punah!

SmartRider

Sekarang saya lumayan mengerti tentang ticketing untuk bus, kereta, dan ferry di Perth setelah cukup lama mengamatinya. Seminggu pertama saya di sini, saya belum terima kartu mahasiswa karena ternyata nama saya tidak ada dalam sistem jaringan kampus. Padahal dengan kartu itu, saya bisa menikmati fasilitas perpustakaan dan mengisi kartu tersebut dengan deposit sejumlah uang sehingga saya bisa cetak, fotocopy, dan naik angkutan umum dengan harga konsesi, harga khusus pelajar. Selama itu, kemana-mana saya bayar pakai uang tunai. Harus uang kecil atau pas, jika nilai uang terlalu besar, sopir akan menolak. Angkutan dalam kota, gratis. Jika masuk wilayah sub-urban dalam batas zone 1, dikenai ongkos senilai AUD 1,7. Memasuki zone kedua dan ketiga, masing-masing dikenai tambahan AUD 1,7. Lumayan berat. Tapi, ada satu hal yang perlu diingat. Setiap kali kita menyerahkan uang ke sopir, sopir akan mencatat transaksi pada sebuah mesin. Ada secarik bon yang akan diberik

Jadi Pemulung

Masih perlu berpikir berulang kali ketika pulang sekian hari lalu, saya melihat ada orang yang membuang televisi 17 inch di pinggir jalan. Di sini memang biasa orang menggeletakkan barang-barang di luar rumah, berharap ada orang lain yang ambil. Kadang spring bed , boks bayi, kursi, lemari, dan benda-benda ajaib lainnya. Tak semua barang rusak dan usang, kadang mereka dibuang karena pemiliknya sudah bosan saja. Malu. Hah, malu apa? Sama siapa? Memang ada yang peduli? Iya, juga. Setelah beberapa detik saya nyaris meninggalkan lokasi kejadian, saya berputar badan. Dengan terengah-engah, saya memanggil TV gendut itu. See? Seperti biasa, jalanan akan selalu sepi seperti kuburan. Apalagi waktu itu sudah jam 8, gelap. Tak ada yang lihat. Beberapa menit kemudian, sebuah tv sudah menclok di kamar saya. Meskipun masih bisa dinyalakan, tapi ternyata saya perlu antena untuk bisa menangkap siaran. Seorang housemate berkebangsaan India yang kerjanya selalu