Skip to main content

Jalan Menuju S3 di Luar Negeri: dari Nilai IELTS hingga Agen Pendidikan

Mengantongi restu dari profesor untuk menjadi supervisor riset kita bisa jadi modal awal. Langkah berikutnya pendaftaran. Pastikan semua dokumen, seperti sertifikat dan transkrip S1 maupun S2 diterjemahkan oleh penterjemah tersumpah. Kita juga perlu punya surat referensi dari dosen-dosen kita selama kita kuliah S2 dimana dosen kita itu harus menulis secara subjektif tentang kita. Intinya, apakah kita ini memang mampu melanjutkan studi ke S3. Ada universtas yang meminta dua surat referensi, ada juga yang minta tiga. Ada yang mengharuskan pake form yang mereka sediakan, ada juga yang boleh pake kop surat dari kantor dosen kita.

Persyaratan lain, nilai kecakapan berbahasa Inggris. Untuk universitas-universitas di negara persemakmuran Inggris, umumnya meminta nilai IELTS. Sementara untuk kampus-kampus di Amerika, lebih banyak mensyaratkan TOEFL. Tapi hampir rata-rata mau menerima keduanya. Nah, setiap perguruan tinggi memiliki standar yang berbeda untuk menentukan skor. Pertama saya mendaftar ke Nottingham University, UK. Mereka meminta IELTS dengan skor minimal 7. Saya bahkan belum pernah tes IELTS saat itu. Universitas di Amerika rata-rata meminta 7 juga. Lumayan tinggi standarnya.

Untuk mendapatkan skor IELTS yang sesuai standar universitas tujuan, ini pun perlu perjuangan yang tak mudah. Seorang sahabat ada yang sampai empat kali ikut tes tapi tak juga memuaskan hasilnya. Jika ada waktu dan uang, ada kelas khusus persiapan tes IELTS di IALF Kuningan, Jakarta. Jika persiapan untuk tes TOEFL, adanya di gedung WTC, Sudirman. Yeah, meskipun sebetulnya banyak juga tempat-tempat lain yang menyelenggarkan kursus persiapan tes ini.

Jika sertifikat bahasa sudah dipegang, mulai saja mendaftar. Ada kampus yang menganjurkan daftar online, ada juga yang kudu dikirim hardcopy-nya. Ada yang harus bayar uang pendaftran, ada juga yang gratis. Waktu saya mendaftar ke Maastrich School of Management di Belanda, semua dokumen harus dikirim lewat pos beserta kuitansi bukti transfer. Untungnya pendaftaran online, kita bisa mengumpulkan berkas secara bertahap. Begitu kita mendaftar, kita akan mendapatkan user id dan nomor pendaftaran. Setiap kali mau melengkapi data, kita tinggal masukkan user id dan nomornya. Bahkan, jika sertifikat bahasa belum punya, kita sudah bisa memulai daftar. Jangan lupa juga membuat CV. Jika sudah punya karya tulis yang dipublikasikan, terjemahkan pula karena diminta. Ini tidak wajib, tapi akan jadi bahan pertimbangan mereka. Bila seluruh dokumen sudah lengkap semua, klik! Dan tunggu sekitar 4 minggu.

Saran saya, jangan mengandalkan satu universitas. Daftar ke sebanyak mungkin supaya kita punya banyak harapan dan bisa memilih mana yang terbaik dan mana yang paling cocok dengan keadaan kita.

Ada cara lain yang sangat memudahkan: minta bantuan agen. Ada banyak agen pendidikan di Jakarta yang siap membantu segala keperluan kita. Mereka akan mengingatkan apa saja yang perlu disiapkan. Bahkan mulai dari 0 mereka akan membantu. Tapi tentu saja dengan imbalan tertentu. Saya datang ke IDP di Kuningan ketika sudah mendapat professor dan semua dokumen lengkap. Begitu pendaftaran, IDP-lah yang melakukan. Dan gratis.

Selamat mencoba!

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.