Skip to main content

Kings Park



















































Meskipun rada linglung karena belum tahu tujuan mau kemana, saya bulatkan tekad untuk keluar rumah, 13/12/09. Biar tak terlalu sederhana hidup saya. Apalagi, Sabtu kemarin saya sama sekali tak keluar rumah kecuali jogging.

Matahari ada selusin di atas kepala. Panas nian. Bahkan setelah turun dari bis, saya masih belum yakin apakah mau ke Subiaco, 5 km dari Perth sesuai mini city guide book yang saya baca selama perjalanan. Atau ke Joondalup, atau keliling kota saja naik gratisan bus Blue Cat dan Red Cat? Kaki masih terus melangkah, hingga akhirnya turun ke stasiun kereta yang letaknya bersampingan dengan stasiun bis.

Midland, Amidale, Fremantle,... ah, hati saya lagi-lagi tak terusik untuk mengunjungi salah satu dari tujuan itu sampai kemudian kaki saya terus bergerak, keluar stasiun kereta. Sejenak window shopping, tapi tak nikmat juga karena hati sedang tidak ingin melakukannya. Tak lama Blue Cat lewat dan saya lompat ke dalamnya. Lalu saya berpikir, bagaimana kalau ke Kings Park?

Setelah menaiki tangga yang sangat curam, mungkin 60 derajat, tiba juga saya di taman luas yang termasyur itu. Orang berkelompok-kelompok melakukan aktifitas. Seru juga. Tapi taman ini memang sangat luas dan saat itu saya sedang tak ingin melakukan eksplorasi. Saya hanya ingin berbaring di hamparan rumput di bawah pohon rindang. Sejauh mata memandang, pohon-pohon berusia puluhan bahkan ratusan tahun memayungi. Angin semilir tak henti-henti, kicau aneka burung, termasuk gagak yang tak merdu memekakkan telinga, pasangan-pasangan yang sedang bermabuk asmara.

Ide untuk menulis mengalir. Sesekali saya biarkan hawa malas menguasai. Tidur sejenak. Lalu bekerja lagi. Seorang pria muda tiba-tiba datang, duduk tak jauh dari saya duduk. Mulailah sebuah percakapan. Dario, yang tingginya mungkin hanya 160 cm, berusia 28, berasal dari Parma, kota kecil dekat Milan, Italia. Ah, bahasa Inggrisnya kacau sekali. Tapi itu yang membuat kami jadi cepat akrab. Saya terkesan dengan kisah perjalannya ke Florida, Dominika, Dubai, ... Sekarang di Perth, bulan depan mungkin sudah sudah ke Sydney terus merangkak ke utara, entah kemudian akan kemana lagi karena dia sendiri belum merancanakannya.

A friend for a season. Or for a reason? Who knows.

Lalu kembali tangga curam harus saya hadapi, kali ini turun dan tak sendiri. Ada seorang pria muda berusia 28 tahun yang cakap bahasa Inggrisnya kacau, ikut menemani. "Are you 25?" Tawa saya lepas tak terkontrol. Dia mengira usia saya 25 tahun! Anak itu ngaco atau saya memang kelihatan muda?

Blue Cat lagi. Bye, Dario...


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.