Skip to main content

Jalan Menuju S3 di Luar Negeri: dari Profesor hingga GMAT

Seorang sahabat getol sekali bertanya bagaimana bisa kuliah Phd ke luar negeri dengan beasiswa. Hmm, saya mencoba menjelaskan dengan sesederhana mungkin tanpa mengesankan bahwa ini pekerjaan yang mudah dan bukan pula yang susah sehingga sulit diikuti. Tentu saja saya ingin menyemangati siapa pun yang mau mengikuti jejak saya. Ini yang ingin saya lakukan sekarang.

Lama saya bergaul dan mengenal orang-orang yang akrab dengan pencarian dan usaha untuk mendapatkan beasiswa namun tak membuat saya terusik. Mengapa? Mungkin karena kebutuhan saya waktu itu belum ada atau juga sahabat-sahabat saya itu yang kurang 'menularkan' semangat mereka. Lalu ketika saya hitung, ternyata lumayan banyak sahabat-sahabat yang terus saya bakar semangatnya untuk tidak patah semangat mendapatkan peluang beasiswa.

Beasiswa bisa didapat oleh siapa pun asal mau berjuang, tentunya. Beasiswa ada yang didapat dari perusahaan atau institusi tempat bekerja, dari universitas di luar negeri yang mengadakan sayembara, atau ada juga dari yayasan. Jika dari perusahaan, ada yang khusus untuk karyawannya, ada pula yang untuk umum dengan syarat tertentu.

Kebetulan saya bekerja untuk sebuah universitas, ada beberapa kesempatan yang bisa saya bidik. Dua diantaranya, beasiswa Dikti dan IDB (Islamic Development Bank) yang alhamdulillah saya mendapatkan keduanya meskipun pada akhirnya saya harus memilih.

Bagi sahabat saya yang bertanya itu, saya sarankan untuk memulai dengan menuliskan topik riset terlebih dahulu. Setelah merasa yakin, mulailah dengan membuat kerangka penelitian, dilanjutkan dengan proposal. Contoh-contoh proposal banyak ditemukan di internet. Proposal penelitian untuk riset S3, berbeda dengan proposal yang kita buat saat menulis untuk thesis. Ini lebih sederhana namun harus sangat jelas terbaca maksud kita mau apa. Gampang-bampang susah.

Saya bilang, jika tidak yakin dengan kembampuan menulis dalam bahasa Inggris yang baik dan benar, cobalah menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lalu cari penterjemah, yang tak perlu tersumpah supaya murah. Per lembar biasanya hanya Rp 14 000. Setelah selesai, langkah berikutnya adalah berburu profesor untuk kita jadikan supervisor.

Saya sudah mencoba beragam cara, terutama lewat bantuan Google:
- Mencari daftar universitas di setiap benua. Lalu saya masuki website mereka masing-masing, cari fakultasnya, jurusannya, dan daftar profesornya.
- Menulis kata kunci jurusan yang saya cari.
- Menulis kata kunci topik yang saya tulis.
- Menulis kata kunci professor yang minat di bidang yang saya tulis.

Setelah menemukan email profesor, langsung kontak "mereka". Iya, jangan satu atau dua yang kita kirimi, jika perlu sehari 10 profesor. Itu yang saya lakukan. Nah, akan ada berbagai macam respon. Ada yang sedang cuti, tugas keluar kota/negeri, ada yang mengaku sibuk lalu berjanji mem-forward ke rekannya, ada juga yang terang-terangan menolak karena tidak tertarik atau alasan lain. Jangan sedih. Kita masih akan punya harapan dari profesor lain.

Respon positif, biasanya si profesor akan membahas topik yang kita tulis lalu minta kita mengirimkan proposal kita. Tunggu saja respon berikutnya. Biasanya tak makan waktu lama, paling sehari dua hari, profesor akan membalas. Well, setidaknya itu pengalaman saya. Jika dia merasa nyaman dengan tulisan kita, dia akan menyarankan kita mendaftar secara resmi ke universitas. Ada juga profesor yang berkomentar macam-macam tentang proposal kita. Untuk yang model ini, terserah kita. Mau kita ikuti saran dia atau kita tinggalkan.

Di beberapa universitas, ada kebijakan, kita daftar dulu, baru setelah masuk, kita akan dicarikan profesor.

Profesor yang menyarankan kita daftar, biasanya akan memforward email kita ke bagian pendaftaran. Email ini anggap saja dokumen sakti yang harus kita simpan dan cetak.

Hadangan berikutnya, soal persyaratan. Saya mencoret sejumlah universitas yang mensyaratkan nilai GRE dan GMAT. Mungkin jika semua universitas di dunia mewajibkan itu, baru saya akan berjuang mendapatkan kedua sertifikat itu. Skukurlah, hanya sebagian kecil saja yang meminta. Kecuali univsersitas di Amerika yang sepertinya seragam memberlakukan. Saya pernah mendapatkan profesor dari University of California, senangnya kala itu. Tapi begitu tahu harus menyerahkan GRE dan GMAT, saya menelan ludah pahit mundur teratur.




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.