Skip to main content

Araluen Botanical Garden

Another unplanned trip. Saya berdiri di stasiun bis, lalu mengamati jalur-jalur kereta kemana saja arahnya. Mau sesuatu yang belum pernah saya kunjungi: Armadale. Lalu sambil menunggu kereta datang, saya sempatkan browsing, mencari tempat apa saja yang mungkin menarik untuk dikunjungi. Di urutan pertama sebagai objek wisata yang direkomendasikan oleh sebuah website adalah Araluen Botanical Garden. Okay, go get there!

Tidak sampai 60 menit, saya sudah tiba di ujung rel Armadale. Hal pertama yang saya lakukan adalah bertanya kepada pertugas stasiun. Lelaki muda berkepala botak yang saya tanyai, sangat ramah membantu. Ia menelpon kemana-mana untuk mendapatkan informasi kendaraan apa yang mungkin bisa membawa saya ke sana.

Ternyata cuma ada taksi dan untuk jarak terdekat, saya harus mundur balik sekitar 3 stasiun. Saya ikuti petunjuk pria tadi setelah sebelumnya saya menelpon Swan Taxi untuk mengatur penjemputan di stasiun Helmscott.

Keluar dari Helmscott, sebuah taksi mendekat. Bapak sopir taksi harus membuka buku peta yang setebal buku halaman kuning untuk mengetahui letak Araluen Botanical Garden. Namun ternyata buku tersebut tak dapat membantu sampai akhirnya saya kembali online untuk mencari nomor telepon yang bisa dihubungi. Syukurlah, pada website kebon raya itu, tercantum nomor telepon. Pak sopir berbaik hati mau menelpon ke sana.

Saya tak bawa uang tunai yang cukup. Untungnya, baik taksi dan kantor tiket kebon raya bisa menerima kartu elektronik. Salah satu alasan enaknya tinggal di Australia kita tak perlu membawa uang kemana-mana. Saya mengeluarkan uang 20,6 dolar untuk taksi dan 4 dolar untuk tiket masuk Araluen Botanical Garden. Hmm,

saya tutup mata dengan jumlah yang saya keluarkan.

Langit berawan untungnya hingga matahari tak terlalu terik. Namun hawa musim panas terpantul dari tanah yang kering dan dahan-dahan yang meranggas.

Dalam perjalanan, saya sempat membayangkan Kebon Raya Bogor (KRB). Namun begitu tiba, bayangan saya langsung berantakan karena sama sekali berbeda dan tak bisa dibandingkan. KRB luar biasa dari segi koleksi, penataan, dan suasananya. Saya terus menyusuri jalan setapak beraspal, tangga dan jembatan kayu, dan melintas tanah berlempung kering yang beda dari permukaan Perth pada umumnya yang berpasir. Sambil menghabiskan bekal makan siang, saya terus menanjak-turuni bukit-bukit di sana. Sejujurnya, saya tak begitu puas dengan trip saya ini karena tempat yang saya kunjungi tidak terlalu menarik. Tapi setidaknya, rasa penasaran saya terpuasi.

Seorang aki-aki tampak akan membetulkan alat bakar barbeque. "Are you working here?" tanya saya iseng. Kakek itu ramah membalas. Ketika saya berlalu menuju halaman rumput di sebuah pohon besar yang tak rindang, lelaki tua itu menawarkan tumpangan jika saya mau kembali ke kota. Hah? Serasa dapat rezeki nomplok. Saya langsung membayangkan uang 20 dolar yang bisa saya irit!

Sementara Frank, kakek bermuka tirus itu bekerja, saya mulai rebahan, membaca buku, membiarkan bebek-bebek liar menginjak-injak buku, dan mendengarkan beberapa lagu dari Gregorian, Ira Maya Sopha, dan Chicago.

Sambil menyetiri mobilnya yang berantakan, Frank yang berumur 73 tahun, bercerita tentang Autumn dan Spring yang sepertinya lebih enak dibanding Summer dan Winter. Katanya, jika saya datang di musim semi, banyak bunga tulip bermekaran di kebon raya tadi. Kakek beranak dua ini lalu menunjukkan sungai kecil di bawah bukit yang mengalir sepanjang jalan yang hampir semuanya tertutup pohonan. Sangat menyenangkan bisa bercakap-cakap dengan bule Australia itu.

Saya diturunkan di stasiun Paddington sementara dia melanjutkan perjalanannya pulang. Bye, Frank. Thank to the universe too.





Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.