Skip to main content

Luna dan 'Pelacur'


















Luna Maya, satu-satunya artis Indonesia yang saya kagumi, sedang dirudung masalah gara-gara menghujat infotainment di Twitter. Karena reaksi infotainment yang berlebihan, saya meradang. Syukurlah, banyak pula yang juga membela Luna.

Mengapa Luna dibela padahal netiket-nya kurang terpuji? Menurut saya ada dua alasan. Pertama, karena semua orang memang menyukai Luna yang selain cantik ragawi, kelakuannya juga dianggap 'baik-baik', dibandingkan artis lain yang populer tapi karena sensasi bukan karena karya yang dibuat. Kedua, karena banyak orang sudah muak dengan infotainment.

Kultur kita bukan seperti Amerika dimana mengumbar kejelekan orang masih dianggap tidak senonoh meskipun juga disuka. Kita semua berada pada wilayah hipokrit akut yang tahu bahwa bergunjing itu tak baik tapi karena MUI tidak mengharamkan maka dianggap boleh. Untuk beberapa hal urusan dosa, kita seolah telah memasrahkannya pada MUI sebagai dedengkot hakim atas baik-buruk perbuatan.

Saya, kadang juga menonton infotainment dan membaca kolom gosip di Detikom atau Kompas.com. Sekedar untuk menetralisir emosi setelah mengikuti kasus-kasus korupsi yang penuh intrik dan menyesakkan. Dengan melihat kiprah dan penderitaan artis karena tersandung perkara bisa berupa terapi yang menghibur. Saya tidak tahu pasti bagaimana rasanya jadi artis yang digosipkan. Mungkin mereka suka, mungkin juga tidak karena mereka tokh manusia biasa juga. Mungkin juga jadi kecanduan untuk terus jadi objek kamera. Kita bisa menyebutkan satu per satu artis semacam ini. Setiap minggu selalu bikin sensasi dengan berita-berita tidak penting karena muncul si hampir semua infotainment sehingga pemirsa mau tak mau harus menonton karena sudah jadi ritual harian.

Luna dan infotainment. Infotainment suka Luna karena Luna masih malang melintang di jagat hiburan dan dia memang 'seseorang' yang layak tayang, bukan seperti Cut Keke yang sudah lewat masanya. Luna bukan seperti Sarah Azhari yang nakal dan masyarakat maklum atau seperti Dewi Persik yang dengan mudah mengumbar cerita ari wilayah pribadinya. Luna dicari karena dia selalu tutup mulut. Dia tahu sesuatu atau terlibat sesuatu tapi dia tak mau bicara. Luna tahu bagaimana membuat value atas dirinya. Luna, jenius. Maka kita suka.

Pers kita, mereka yang sensitif akan intelektualisme yang mereka punya dan terlalu arogan dengan profesi yang mereka emban, telah jauh bergerak dari UU Pers yang mestinya mereka junjung. Mereka tak ubahnya pelacur, seperti yang Luna tulis, bahkan lebih rendah dari pelacur, betul. Mereka telah mengkhianati korps mereka sendiri dengan menghalalkan segala cara tanpa menghindahkan rambu-rambu dan keharusan mengikuti aturan. Kita lihat, contohnya bagaimana infotainment dan pers, secara umum, telah memvonis seseorang bersalah sebelum pengadilan berlangsung dengan mengabaikan tata cara pemberitaan yang benar.

Pers memang layak ditampar bukan saja oleh Luna, tapi juga oleh kita semua. Supaya mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan selama ini telah jauh dari yang seharusnya. Era liberalisme pers di Indonesia harus disudahi, mereka harus kembali ke akar Pers yang pancasilais, yang menjunjung norma dan tatanan nilai ketimuran.

Jadi, sepatutnya kita memang perlu mendukung Luna Maya.




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.