Skip to main content

Saya Ingin Jadi Peneliti

Suatu ketika, guru bahasa Inggris saya meminta setiap siswa di kelasnya untuk menyiapkan materi oral presentasi tentang carier path, karir apa yang ingin kami jalani nanti. Ada waktu dua minggu untuk mempersiapkan. Hingga tiba waktunya presentasi, saya masih belum punya kepastian karir apa yang ingin saya jalani berikutnya. Saya sudah jadi dosen, jadi tak mungkin rasanya karir yang sekarang sudah dijalani saya presentasikan. Namun demikian, saya tetap menyiapkan power point.

Begitu nama saya dipanggil, tiba-tiba saja menyeruak sebuah ide: "I would like to be a researcher. Researcher in social marketing." Eng, ing, eng.

Sebuah presentasi yang punya konsekuensi berikutnya. Saya telah membuat pernyataan pada banyak orang bahwa saya mau jadi peneliti. Seru juga. Meskipun tentu saja pekerjaan ini bukan hal yang populer. Menjadi peneliti sekaligus dosen. Hal yang sangat klop, bukan? Banyak dosen yang tidak melakukan penelitian karena berbagai alasan. Sementara saya tidak punya alasan untuk tidak melakukan penelitian, nantinya. Sekarang belum.

Kemudian, hampir setiap hari pernyataan saya ini terus terngiang. Mengapa peneliti? Mau meneliti apa? Lalu saya berandai-andai. Begitu terus. Hingga saya menemukan sebuah pembenaran mengapa saya suka jadi peneliti. Dulu, saya pernah bekerja di sebuah perusahaan riset pemasaran, part timer, sambil kuliah. Meskipun hal yang saya jalani waktu itu murni karena alasan keuangan, namun pekerjaan itu sangat berkesan buat saya. Saya selalu berharap bisa kembali ke bidang itu lagi. Namun garis nasib menentukan lain. Hingga akhirnya saya terseret oleh kepasrahan: menjadi pengajar. Mulailah keinginan itu muncul lagi. Saya mulai merangkai-rangkai proposal. Jika dilihat-lihat, lumayan juga stok proposal saya walaupun belum sempurna. Setidaknya sudah banyak ide dalam kotak file. Pernah saya menulis untuk sebuah majalah profesi. Pernah juga membuat riset pengabdian masyarakat.

Sebagai dosen, beberapa kali saya diminta jadi pembimbing skripsi, termasuk menjadi penguji sejumlah karya ilmiah. Insting saya terasah, minat pun makin tajam. Hingga akhirnya saya punya kesempatan untuk menimba ilmu memperdalam ilmuu untuk melakukan lebih banyak lagi penelitian.

Jalan masih panjang. Mungkin begitu kuliah S3 saya selesai, saya akan jadi peneliti sungguhan. Dosen peneliti. Insyaallah.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.