Skip to main content

Mimpi Burung Pemakan Bangkai

Source: Chrocodiles.blogspot.com 
Mimpi terbang lagi. Saya baru saja menitipkan Mak di sebuah kedai kopi dengan dua sahabat saya di sana. Saya mulai berjalan menyusuri lorong, entah apa yang dicari. Hujan mulai turun ketika saya berada di sebuah ketinggian. Jalan aspal mulai tergenang. Ada keinginanan untuk mengepakkan tangan tapi ragu. Apa saya masih bisa terbang? Lalu saya ambil jalan lain dan mulai terbang. Melintasi rumah-rumah, keluar masuk gang sebuah perkampungan. Lalu sebuah rumah yang di dalamnya banyak tokoh-tokoh politik berkumpul, eh ada Wiranto yang baru saja menaiki mobil dan berlalu, kemudian saya terhenti karena ujung gang tertutup terali dan terkunci.

Berikutnya di sebuah halaman kosong, dua ekor burung besar, sepertinya vulture (pemakai bangkai), berlabel 'gagak' menyapa ramah. Atau mungkin gagak. Burung ini berukuran besar, berwajah seorang ibu yang datar, bisa bicara. Sementara anaknya, berbadan lebih kecil berkepala manusia, terbang mendekati menyambut. Pada beberapa bagian tubuhnya tak berbulu hingga kulitnya yang kering terlihat jelas. Saya sodorkan tangan dan dia mengulum tangan saya hingga lengan. Saya tenang saja. Seolah ibu dodo itu bicara, rawatlah anak saya. Dalam hatipun saya tak keberatan.

Ibu.
Dua sahabat.
Terbang.
Burung gagak/pemakai bangkai.
Hewan berkepala manusia.
Rumah ulama.
Tokoh Politik.
Wiranto.
Hujan.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.