Skip to main content

Kisah 5 Dolar


















Ketika saya mendapatkan berbagai kebaikan saat mengunjungi Armadale, saya teringat sesuatu. Di stasiun Armadale ketika saya menunggu kereta menuju stasiun Helmscott, seorang remaja pria duduk di sebelah saya. Dia bercerita kehabisan uang, tak punya uang untuk beli tiket pulang ke Bunburry seharga 14 dolar sekian sen. Saya terus waspada mencecar dia dengan sejumlah pertanyaan. Dua buah tindikan di bibirnya tak membuat saya langsung percaya. Saya membayangkan kecewanya hati saya jika tahu ternyata saya dibohongi. Begitu kereta datang, kami naik bersama. Dia kembali duduk di sebelah saya, menunjukkan tiket waktu dia datang dari Bunburry ke Perth. Di sana tercantum namanya Jack Farmer.

Saya minta dia mengulang ceritanya. Katanya, sahabat yang dia kunjungi ditangkap polisi dan dia tak tahu apa yang harus dilakukan kecuali pulang. Well, sudah jelas bagi saya. Sekarang ambil sederhananya saja, jika saya mau menolong, menolonglah. Jika tidak, pergilah. Tak perlu berpikir apakah saya diperdaya atau tidak. Jika benar anak itu jujur bukankah saya juga yang akan tak nyaman karena tak jadi menolong?

Sering kali saya bertemu orang asing, di Jakarta khususnya, yang tiba-tiba datang menghampiri. Bercerita kalau mereka kehabisan uang untuk makan atau anaknya sakit atau untuk ongkos pulang. Hanya Tuhan yang Mahatahu atas segala niat orang-orang itu. Hal yang selalu saya panjatkan saat berdoa adalah salah satunya agar saya dijauhkan dari niat jahat orang-orang djolim.

Saya membuka dompet dan menunjukkan isinya kepada anak muda berambut kriting itu. "Look, only this note that I have." Saya serahkan uang 5 dolar. Saya tak bisa memaksakan diri untuk menolong orang lain di luar kemampuan saya. Memang saya hanya memiliki uang segitu banyak saat itu. Semoga dia bisa memecahkan persoalannya sendiri.

Setelah kejadian itu, alhamdulillah, banyak sekali kebaikan saya terima di hari itu. Salah satunya, saya mendapat tumpangan dari Araluen Botanical Garden ke kota yang jika saya menyewa taksi, nilainya bisa 20 dolar!


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.