Skip to main content

Oh, Jahe. Mengapa Engkau Mahal Sekali?


Ceritanya saya ingin mencoba masak sesuatu yang berbeda: ayam kecap. Setelah bertanya pada seorang sahabat apa saja bumbu dan bagaimana cara buatnya, saya mulai berburu ke super market bahan apa saja yang diperlukan. Ternyata agak susah mencari jahe di sini. Di super market besar tak ada, adanya di toko milik orang Vietnam, yang semula saya kira orang Korea.

Saya hanya ambil sebutir jahe yang ketika ditimbang, oalah, harganya sekitar 30 ribu kalau dirupiahkan! Mahal pisan. Mau tak mau harus dibeli karena daging ayam sudah saya beli juga.

Ini rencana kedua sebetulnya. Sebelumnya saya sudah mencoba memasak ayam kecap juga. Tapi karena lupa beli jahe, jadi saya masak ayam kecap tanpa jahe. Rasanya? Ya, begitu, deh. Ada hal lucu. Waktu itu saya beli kecap asal saja. Begitu saya tuang ke panci, encer banget. Makanya saya tuangkan agak banyak. Setelah matang, saya coba cicipi. Shhhh...asin. Rupanya, biar encer, kecap yang saya beli rasanya luar biasa asin. Di Jakarta saya biasanya menghindari makan kecap, tanpa alasan, jadinya saya kurang tahu sisik melik tentang kecap. Langsung kuahnya saya buang sebelum banyak meresap ke daging ayam.

Kali ini, saya punya kecap manis merek ABC buatan Indonesia yang banyak ditemukan di hampir semua super market.




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.