Skip to main content

Jadi Pemulung



































Masih perlu berpikir berulang kali ketika pulang sekian hari lalu, saya melihat ada orang yang membuang televisi 17 inch di pinggir jalan. Di sini memang biasa orang menggeletakkan barang-barang di luar rumah, berharap ada orang lain yang ambil. Kadang spring bed, boks bayi, kursi, lemari, dan benda-benda ajaib lainnya. Tak semua barang rusak dan usang, kadang mereka dibuang karena pemiliknya sudah bosan saja.

Malu. Hah, malu apa? Sama siapa? Memang ada yang peduli? Iya, juga. Setelah beberapa detik saya nyaris meninggalkan lokasi kejadian, saya berputar badan. Dengan terengah-engah, saya memanggil TV gendut itu. See? Seperti biasa, jalanan akan selalu sepi seperti kuburan. Apalagi waktu itu sudah jam 8, gelap. Tak ada yang lihat. Beberapa menit kemudian, sebuah tv sudah menclok di kamar saya. Meskipun masih bisa dinyalakan, tapi ternyata saya perlu antena untuk bisa menangkap siaran.

Seorang housemate berkebangsaan India yang kerjanya selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan saya berkomentar, "Buat apa kamu punya tv sementara di rumah ini sudah ada tv?" Saya bilang, teman saya pulang ke Indonesia, tv-nya diberikan ke saya. Dia tidak sadar, tiap kali nonton bareng, selalu dia yang menguasai tv. Terang saja saya pengen nonton tv sendirian di kamar tanpa perlu diganggu dia.

Ganti waktu, saya melewati jalan yang sama. Kali ini tv yang ukurannya sangat besar, mungkin 24 inch. Ada printer 3 buah, scanner, AC, dan spring bed. Woah, insting saya sebagai pemulung bangkit. Mata saya nanar menatap hamparan barang-barang elektronik itu. Printer dan scanner sepertinya pasangan yang menarik. Tapi hari itu masih siang, gengsi saya masih selangit. Ah, menunggu malam saja, biar nanti saya balik lagi.

Malam tiba, saya malas keluar rumah. Pagi datang, saya buru-buru pakai sepatu layaknya orang jogging. Sampai di lokasi pembuangan, suasana sunyi seperti biasa. Saya mendekat ke arah barang yang saya incar. Scanner dulu, printing mungkin ronde kedua. Yeah, saya urung memungut barang itu karena ternyata tak ada kabel power-nya!



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.