Skip to main content

Sekali Lagi, Bebaskan Ariel

Kasihan Ariel. Mestinya, dokumentasi kegiatan asyik masyuk dia dengan sejumlah rekannya, jika benar, adalah urusan pribadi dia, tidak seharusnya menjadi urusan banyak orang.

Yeah, adalah urusan setiap individu jika mereka mau melakukan perzinahan, menurut standar kitab suci. Termasuk urusan dia juga jika dia merasa perlu mengabadikan kegiatannya dengan merekam. Urusan dia pula jika dia melakukannya dengan lebih dari satu orang. Selama itu dilakukan suka sama suka. Ini kalau kita bicara hak azasi manusia.

Bila kita bicara pada ranah sosial, jelas apa yang menimpa Ariel bisa dikategorikan sebagai kriminal. Tapi ini pun sebatas pada, siapa yang melakukan penyebaran. Maka yang harus dikejar seharusnya adalah siapa penyebar dari video tersebut dan apa maksudnya. Apakah itu urusan pribadi atau memang sengaja untuk meracuni masyarakat. Jika melihat dampak dan kemungkinan dampak, mestinya orang yang menyebarkan harus dikenai sanksi berat. Sedangkan Ariel, selama dia tidak terlibat dalam penyebaran video tersebut, sebaiknya kita jujur dan berpikir logis, dia hanya korban.

Kasus ini pun bisa ditengok dari sisi ekonomi. Misalnya ada indikasi pemerasan dari pelaku penyebaran video. Atau video yang dicolong oleh pelaku dari komputer Ariel, dijual kepada pihak ketiga dan mendapat bayaran. Pihak ketiga bisa berupa media cetak yang ingin oplahnya berlipat, media elektronik yang ingin naik ranking, bisa juga portal berita internet yang ingin mendapatkan hit tinggi.

Atau mau dilihat dari sudut politik? Bisa juga. Kasus ini tentu saja dengan sangat gampang melibas pemberitaan Gayus dan bahkan antasari, dua dari para penjahat kerah putih yang sebelumnya sangat menyita perhatian.

Begitulah, sebuah kasus bisa sangat berdampak luas atau muncul dari salah satu alasan di atas. Maka, bebaskan Ariel. Dia hanya berdosa di mata Tuhan, tidak buat masyarakat. Seorang yang sangat berprestasi seperti dia, mestinya memang diberi pengampunan. Biarkan dia terus berkarya, menghibur kita.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.