Skip to main content

Kepada pengelana

Kepada langit sewarna gandaria dan awan dan hembus udara yang menaungi
Kepada belukar padang tenggara dan riang ilalang dan serangga yang menyiangi
Kanda, dimana

Kepada belukar padang tenggara dan riang ilalang dan serangga yang menyiangi
Kanda, dimana
Ketika pagi menelikung tanpa bisa kuhindari
Tanpa matahari di lorong jendela tanpa penghuni lain di kamar sewa
O, pagi yang selalu kuperangi
O, rimba masa lalu dengan tapak-tapak kusam di tiap jengkal kenangan

Lalu akan kubiarkan hawa dingin yang purba menepuk pundakku
Menyeretku ke sudut sunyi dengan kesakitan yang sangat
Masih akan kubiarkan diriku terjaga dalam hening penuh bimbang
Akan terus kubiarkan rasa kesakitan itu menyalip di kening hingga ku tumbang

Kanda, dimana

O, pagi tanpa hela nafas di pundak
O, siang tanpa ketukan di pintu
O, malam yang semakin dipenuhi parut
Kepada seribu ceruk laut dan gelombang dan para pelaut yang menggarami
Kepada kesendirian;

Biar aku bicara pada birahi yang meranggas
Tentang nanti yang lama kunanti
Tentang nanti yang tak lagi mengunjungi

Kanda, dimana

Dibiarkannya aku tak terkabari
Waktu yang menjadi layu tanpa sempat tertandai
Peraduan yang terkepung misut tak dinodai
Binasa harapku tersumbat sukmaku

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.