Skip to main content

berseteru dengan ibu

seorang sahabat mengeluh berkali-kali tentang hubungan dengan ibunya yang tak harmonis. menurutnya, ada saja hal yang selalu diangkat ibunya untuk dijadikan masalah. selain itu, dia merasa ibunya lebih perhatian dan sayang sama saudara-saudaranya yang lain.

well, perasaan dia sajakah? saya menemukan ini bukan cerita pertama yang saya dengar. beberapa teman lain pun ada yang punya kasus serupa. ketika sahabat saya itu meminta saran saya, tentu saja saya bingung. saya tidak tahu pasti persoalannya. apakah benar ibunya yang menjengkelkan atau sahabat saya itu yang memang trouble maker. yang jelas, saya tak punya pengalaman seburuk itu. ibu saya baik-baik saja kepada semua anaknya. tak pernah beliau memberikan kasih sayangnya berbeda dari satu anak ke anak lainnya.

namun akhirnya saya memberinya perumpamaan. anggap saja ibu adalah yang paling benar. anggap saja ibu yang paling sempurna. anggap saja ibu sedang mendidik kita. anggap kita anak kecilnya (terus). anggap kita memang selalu salah. karena kita anaknya, karena kita tak ingin membiarkan diri kita durhaka sekecil apapun pada beliau, ikhlaskan. tak sebiji sawit pun kita biarkan hati kita merasa sakit. syukuri. betapa indah mata pelajaran yang ibu berikan. biarlah ujian itu kita selesaikan dengan baik.

memang, perlu waktu untuk bisa mengunyah semua amalan tersebut. tak ada jalan lain.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.