Skip to main content

Flowing Like Wind











because i'm living in now, not in the past not even later. so i dedicate my time and energy only for now time. all the chances are what i have and what i face right now!


Masih Januari, namun ajakan outing dari beberapa komunitas di mana saya sering bermain, begitu menggoda. Bahkan sampai bulan April nanti jadual mingguan seperti tak ada hentinya. Ketika hal ini terjadi pada beberapa waktu lalu, saya seperti orang kalap yang mencoba semua jenis kegiatan. Tidak ikut dalam kegiatan mereka sepertinya hidup saya ada yang kurang. Maka saya pergi melintas lautan, mendaki pegunungan, menyelami belantara hutan, menjelajah daerah terpencil, membaui mall, mencumbui segala kehidupan malam, larut dalam berbagai agenda budaya dan seni.Saya sangat sibuk, beredar dimana-mana.

Itu dulu. Seiring waktu, saya ingin melakukan perubahan. Saya tak mau kehilangan esensi dari 'mengalir' yang sesungguhnya. i'm trying to flow, like wind. Mengendap ketika semua tampak rendah, membumbung ketika seharusnya ada. Karena saya udara, saya yang menghidupi kehidupan.

Diam saja, ketika segala sesuatu bergerak di sekitar saya. Saya amati, saya tandai. Saya biarkan semua berlalu. Kenikmatan, kesakitan. Saya akan memutuskan ketika waktunya tiba dan saya menilai bahwa sesuatu yang di depan mata itu milik saya, maka itulah yang akan saya kerjakan. Tidak terlalu kuatir dengan dampak apa di belakang nanti. Karena nanti adalah nanti. Dan potensi sekarang yang saya punya adalah yang terbaik yang ada. Saya akan menikmatinya dengan rasa syukur yang tinggi. Saya akan mengerjakannya dengan tanggung jawab yang tinggi. Saya akan memilikinya dengan rasa cinta yang tinggi.

Sesungguhnya hal ini kemudian saya pelajari dari meditasi vivassana. Saat duduk ajeg dan tenang, saya diharapkan hanya konsentrasi pada apa yang terjadi 'sekarang'. Konsentrasi pada gerakan keluar masuk udara yang dimenghidupi 'sekarang'. Bukan berarti harus mengabaikan memori yang terlintas di masa lalu dan rencana di masa depan, namun pusat perhatian tentu saja apa yang terjadi sekarang. Sederhana sekali. Namun bukan berarti hal yang gampang untuk dilakukan.

Sama juga dengan praktek alur hidup sehari-hari yang saya jalankan belakangan. Mengejutkan sejumlah teman dekat yang menemukan perubahan saya. Mengecewakan sejumlah pihak karena hidup saya seperti tanpa arah dan tak ter-organized. Padahal sesungguhnya tidak.

Saya tertarik pada sebuah kegitan akhir bulan, misalnya. Saya mencari tahu kemungkinan saya untuk bergabung. Namun saya tak ingin hal ini membebani saya sekarang. Saya tak ingin adrenalin saya mengembang ke ubun-ubun untuk kesempatan yang belum ada di tangan. Ketika saatnya tiba, kesehatan saya memungkinkan, keuangan saya mencukupi, waktu saya tersedia, dan masih ada kursi yang tersedia untuk saya, saya anggap itu memang kesempatan saya. Adalah kegiatan itu memang didedikasikan untuk saya. Dan segalanya akan indah. Jika ternyata salah satu syarat tadi kurang, maka saya percaya memang bukan di sana seharusnya saya berada. Mungkin akan ada sesuatu yang telah dipersiapkan oleh semesta bagi saya, yang lebih indah.

Saya ingin lebih jujur menerima kenyataan. Seperti pada vivassana. Saya jujur ketika rasa sakit itu menyita perhatian, saya jujur ketika rasa nyaman mengayomi. Saya juga jujur ketika rasa kantuk tak bisa dilawan. Beberapa waktu lalu, saya ikut pitching pekerjaan pada sebuah perusahaan. Pengundangnya adalah seorang teman dekat. Saya tak dimenangkan. Saya tak mendapat kesempatan untuk mengerjakan projek itu. Sedikit kecewa, namun saya juga bersyukur. Saya lalu berprasangka baik, bahwa jika saya yang mengerjakan projek itu mungkin saya tak bisa melayani mereka dengan lebih baik dari pada yang dilakukan oleh perusahaan pesaing saya. Mungkin juga jika saya yang mengerjakan projek itu, saya tak akan punya kesempatan untuk mengerjakan projek lain yang lebih besar dari itu. Dan prasangka-prasangka baik lainnya.

Vivassana, membuat saya bisa berkompromi dengan si 'aku'. See? I'm making friends with 'me'.






Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.