Skip to main content

From Canggu to Tulamben

After all hectic days in Bali caused by working, Bharata, Henny, and I went to Tulamben for diving and snorkeling. Saya dan Henny hanya snorkeling saja. Also, some new friends joinned, such as Anthony, Kay Ling, and Allan. Allan menjadi guide untuk penyelaman. Saya belum pernah ke Tulamben. Daerah Bali paling timur yang pernah saya kunjungi ialah Candi Dasa. Tulamben masih sekitar 22 km lagi setelah Candi Dasa.

Dengan Kijang tua sewaan, saya membuntuti Allan yang menjadi penunjuk jalan dan memang sudah menetap lama di Bali. Along the way to Tulamben from Canggu, where we stayed for couple nights [thank to Endie who lent us her villa], we found great scheneries like beaches, stoned hill, mountain, and woods. Pemandangannya sangat unik. andai punya banyak waktu, mau saja saya sebentar-sebentar berhenti untuk sekedar memotret landscape-nya yang memang indah.
Tulamben sangat jauh dari pusat kota ternyata, but it didn't disturb at all cause we got so much fun. Pantai tulamben berbeda dengan pantai-pantai yang pernah saya kunjungi. Berkat letusan gunung Agung, pantainya disesaki batu-batu mulai dari kerikil hingga sebesar kepala.
Agak susah mencari bagian pantai yang berpasir. Ada dua spot yang menjadi objek snorkeling. Kecuali ikan-ikannya yang terhitung banyak, tak ada terumbu karang yang bisa ditemui. Daya tarik lain adalah sebuah wreck dari kapal raksasa yang menghuni dasar laut di sana. Sekedar melihat bayangan hitamnya yang dapat terlihat dari pantai, saya menduga bahwa kapal ini dulunya memang besar sekali. Teman-teman yang menyelam ternyata melihat keindahan lain dari dasar laut sana. Selain bisa mengelilingi dan masuk ke bagian rongsokan kapal itu, ikan-ikan yang dilihat pun lebih banyak dan lebih bervariasi, juga terumbu-terumbu karangnya yang indah. Bahkan mereka sempat berfoto pada kedalaman itu.


The day after, we spent a day around Echo beach near by the villa in Canggu where people did surfing and sunbathing. Ombaknya lumayan menantang buat para surfer pemula. Canggu terletak pada perjalanan arah ke Tanah Lot. Karena memang bukan tempat favorit kunjungan wisata, hampir tak ada turis lokal bermain ke pantai ini, kecuali para penduduk setempat yang memancing. Bharata senang sekali mendokumentasikan sejumlah turis topless. Diam-diam tentunya. Kapan dan dimana lagi, hayo?

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.