Skip to main content

Lelaki Ibu

Sekitar tahun 2003, klub fotografi yang saya ikuti mengadakan pameran foto puisi. Saya menciptakan sebuah karya kolase yang terdiri dari sejumlah foto yang saya 'rusak', diimbuhi puisi. Karya tersebut saya beri judul 'Memasung Ibu'. Pameran tersebut diliput oleh Arbain Rambey (saat itu menjabat redaktur foto) dan dimuat pada harian Kompas. Bahkan karya saya itupun dikoleksi beliau.
Puisi saya yang berjudul Memasung Ibu itupun disertakan. Lalu seorang asing bernama Damhuri Muhammad terinspirasi oleh puisi tersebut untuk dijadikan cerpen. Beberapa hari lalu, kami saling 'bertemu' dalam sebuah milis.

Cerpen : DAMHURI MUHAMMAD

Kupasung Ibu pada gurat angin,
1)
Angin malam yang mengeringkan peluh di kuduk saat kepalaku menyuruk di bawah selangkangan perempuan seusia ibu. Perempuan yang tak menyadari kalau ia juga punya anak laki-laki seusiaku. Tak kuhiraukan aring bau kencing di liang selangkangan itu, sebab setiap lenguhku mengusung aroma khas tubuh ibu. Yang tercium hanya keringat ibu. Bukan wangi tubuh perempuan seusia ibu itu.
"Siang aku ibumu, tapi kalau malam aku kekasihmu"
"Kupenuhi semua permintaanmu, sebab aku ibumu. Tapi penuhi juga permintaanku sebab aku juga kekasihmu!"
"Ya bu. Siang aku anakmu. Tapi kalau malam aku suamimu" batinku, menggerutu.
Ayah hengkang dari rumah kami hanya berselang beberapa hari setelah Fatalummiya berhenti menetek pada puting ibu. Lalu tersiar kabar, ia mempersunting janda kaya, persis setelah Ladunna (adik perempuanku yang tengah) menerima ijazah SD dengan nilai tertinggi di seluruh sekolah di kecamatanku. Janda kaya itu memacakkan bayi perempuan dari benih ayah setelah aku dikeluarkan dari SMU karena pembayaran SPP yang menunggak empat bulan.
"Buyung mau kerja apa di Jawa?, SMU saja tidak tamat." tanya ibu, cemas.
"Tukang cebok 2 ) pun jadi "
"Buyung belum terbiasa kerja berat, Nak!"
"Lama-lama akan terbiasa, Bu. Jangan risau! Restui saja Buyung merantau!"
Cincin nikah ibu tergadai untuk ongkos perjalananku ke rantau jauh. Ranah Jawa. Kutinggalkan ngeyak tangis Fatalummiya dan isak sedu Ladunna. Dua perempuan yang sudah yatim (meski ayah belum mati). Bergegas aku merentang panjang waktu kelana. Mengusung harap hendak menjadi ayah di usia yang belum setahun jagung.
***
Menjadi tukang cebok tak menghidupi tiga nyawa di ranah ibu. Lagi pula, Ladunna harus tetap bersekolah. Ia tidak boleh berhenti, apalagi mendaftarkan diri sebagai TKW. Sedapat-dapatnya jangan sampai adik perempuanku menjadi TKW. Banyak gadis-gadis ranah ibu hanya pulang nama setelah jadi babu di luar negeri. Mereka pergi naik pesawat, tapi pulangnya naik peti mati.3) Maka, mengelayaplah aku di bawah selangkangan perempuan seusia ibu. Menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan. Menjilat-jilat serupa kucing kehausan.
Kucetak ijazah sarjana dari lendir sperma yang meruah tumpah. Kubayar suap (puluhan juta) untuk meluluskan Ladunna sebagai pegawai negeri sipil. Saat ini, ia menjadi guru SMU di ibukota kapubaten. Fatalummiya tak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, karena buru-buru harus menikah dengan seorang bintara polisi. Ibu meminta agar ia tidak menolak lamaran lelaki itu. Sialnya, belum cukup tiga bulan usia pernikahannya, polisi itu mati tertembak saat ditugaskan di Aceh. Kuhidupi ibu, kusarjanakan Ladunna, kunafkahi Fatalummiya…
Terjual keperjakaanku pada perempuan seusia ibu. Punah kejantananku tersedot selangkangan. Aku ikhlas. Demi ibu. Semestinya, aku berterima kasih pada liang selangkangan tempatku menegakkan hidup ibu dan dua adikku. Namun, aku tak tahu bagaimana cara balas jasa. Pernah kukatakan pada perempuan seusia ibu, jika boleh menyembah selain Tuhan, akan kuberhalakan selangkangan itu, kujadikan sebagai Tuhan keduaku.
"Gasaklah tubuhku, nikmati sesukamu! Dengan cara beginilah aku menunjukkan rasa terima kasih padamu!"
"Jika dengan cara seperti ini, jasa-jasamu belum terbalas, maka pasunglah tubuhku di pertemuan kedua belah selangkanganmu, hingga kau tidak akan pernah kehilanganku!"
"Aku bukan hanya kekasihmu, ibu. aku budakmu yang bisa kau perdayakan kapan saja"
"Sssst….! Kau bukan hambaku, tapi kekasihku! Aku tidak akan mengurungmu di selangkanganku. Kau bebas pergi ke mana suka, tapi begitu aku merindukanmu, kuharap kau bersegera menemuiku" bisiknya, lembut.
"Aku menyayangimu seperti ibumu, tapi aku juga mencintaimu seperti aku mencintai suamiku"
Andai perempuan seusia ibu itu benar-benar ibu yang melahirkanku. Tentu aku tak akan melacur. Tak memberhalakan selangkangan. Berkali-kali ia menyebut kata 'ibu', berkali-kali pula aku kehilangan gairah. Kulihat raut muka ibu di sepasang bola mata liarnya. Nyaris pada setiap pergumulan kami, aku merasa seolah-olah sedang menindih tubuh ibu. Ibuku.
"Akhir-akhir ini kau dingin. Ada apa denganmu? Sakit?"
Aku menggeleng. Diam.
"Kau bosan bercinta di hotel ini? kita perlu ke pantai? atau ke hutan-hutan?"
"Atau kau kepingin kita melakukannya di rumahku, di kamarku?"
"Aku ingin kau hangat lagi, seperti pertama kali kita melakukannya "
Lagi-lagi aku menggeleng. Mustahil aku bersijujur menjawab tanya nyinyirnya.
"Kalau kau ingin hangat, sebelum kita bercinta, beri aku Sabu-sabu dulu!" batinku, kesal
Kehangatan? sejak ditebasnya kelelakianku, tak pernah aku menikmati kehangatan saat menghimpit tubuhnya. Justru yang kurasakan tak lebih dari sekedar ketersiksaan. Batinku menghentak, hatiku menjerit sejadi-jadinya. Tapi kuredam saja, kubayangkan saja tiga nyawa yang terancam mati di ranah ibu. Lalu kunikmati kepura-puraan itu.
Tak pernah aku berkabar pada ibu, bahwa selama di rantau aku bersekolah lagi. SMU-ku selesai juga akhirnya. Aku ikut test masuk perguruan tinggi negeri, lulus di fakultas Kedokteran. Aku sudah jadi dokter. Bahkan empat tahun lalu telah menyelesaikan pendidikan spesialisasi kandungan. Saat ini aku, dokter muda spesialis kandungan. Semujur apapun nasibku kini, aku tetap terkerangkeng di dalam lubang selangkangan. Aku mesti berbakti dan balas budi. Maka kuabdikan hidupku pada perempuan seusia ibu itu. Sejatinya, aku sudah jijik melihatnya. Kulitnya sudah keriput. Tubuhnya sudah bau tanah. Tapi ia masih 'gila'. Masih binal. Makin liar.
"Kenapa kau belum menikah juga?"
Aku menunduk, menekurkan kepala. Takut salah menjawab.
"Menikahlah! tapi kuharap kau masih kekasihku. Kau tentu masih berkenan berselingkuh denganku bukan?"
"Kau tidak mungkin menikahiku, sebab aku ini ibumu"
Tanya-tanya soal rencana pernikahan ini kian mengganggu. Aku tak nyaman. Bukan saja dari perempuan seusia ibu, tapi juga dari ibuku. Surat-suratnya terus berdatangan. Isinya tak lebih dari sekedar permintaan agar aku pulang, dan menikah di sana. Tentu saja dengan perempuan kampung pilihan ibu.
"Pulanglah Buyung! Kau tinggal pilih, Si Rifah (puteri tunggal wakil Bupati) yang kuning langsat itu, dia baru pulang dari Austalia, sekolahnya sudah tamat. Si Upit, guru SMU yang berjilbab panjang itu, anak bungsu wan Kokai juragan beras di kampung kita, atau Si Dilla, si hidung mancung, berlesung pipit, kini bekerja sebagai Bidan di puskesmas daerah kita, anaknya wan Anwar Bey, orang terpandang di desa kita. Pulanglah!"
"Buyung belum ingin menikah bu! nanti sajalah kita bicarakan soal itu, jika Buyung sudah berkeinginan" begitu saja aku membalas surat-surat ibu. Berbasa-basi
***
Bersikukuh aku pada perempuan seusia ibu, juga pada ibu bahwa aku belum hendak menikah. Padahal, setahun lalu aku telah menikahi perempuan bermata coklat. Alisnya matanya lebat dan bertaut seperti gugusan awan gemawan tindih menindih. Rapi susunan giginya saat tersenyum. Kukenali ia saat datang ke tempat praktekku. Langkah-langkahnya pelan, bersilambat karena (waktu itu) ia sedang hamil muda. Dua bulan usia kandungannya. Ningsih Wulandari, namanya. Semula Ningsih mendesak agar aku bersedia melakukan aborsi. Ia tidak mau menerima kelahiran bayi dari hasil persetubuhan jadah dengan 'bapak angkat'-nya, seorang laki-laki yang sangat berpengaruh di kota ini. Ningsih tercatat sebagai mahasiswi sebuah PTS, tapi juga bekerja free lance sebagai istri simpanan. Celakanya, Ningsih bunting. Kunyatakan cinta padanya pada kunjungannya yang kedua (lagi-lagi masih merayu agar aku berkenan menggugurkan kandungannya).
Bergetar rongga dadaku saat pertama kali bersitatap dengan mata coklat perempuan muda itu. Jatuh hati setengah mati aku pada pelacur itu. Ningsih menerima lamaranku. Kami menikah, tanpa pesta, tanpa doa dan restu ibu. Juga tanpa memberitahu perempuan seusia ibu, kekasih gelapku. Kubelikan Ningsih sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Kami tinggal di sana. Anak 'kami' laki-laki, kuberi nama Ababil. "Nama yang bagus" begitu puji Ningsih.
Meski telah menjadi ayah bagi Ababil, tetap saja aku menerima telpon dari perempuan seusia ibu. Sebagaimana biasanya, begitu ia memanggilku, aku pun bersegera menemuinya, dan lagi-lagi aku menyelam di balik selangkangannya. Perempuan seusia ibu nyaris tak pernah insyaf. Makin tua makin genit dan kemayu 4), meski umurnya sudah berkepala enam.
"Belum berfikir juga untuk menikah, ada apa denganmu?" tanyanya lagi.
"Jangan-jangan kau jatuh cinta padaku ya?" rayunya sambil mengelus-ngelus dada telanjangku.
"Kalau begitu, nikahilah aku!"
"Bukankah aku sudah menjadi lelakimu sejak umurku belum 17 tahun? belum cukupkah itu, bu ?" selaku, jengkel
"Aku ingin mati sebagai suami sahmu"
Hari-hariku resah. Risih melilitku. Aku diancam rasa cemas bila suatu saat Ningsih mengetahui affair-ku dengan perempuan seusia ibu. Lebih cemas lagi bila ibu datang menjemput, membawaku pulang ke kampung, lalu memaksa agar aku menikah dengan perempuan pilihannya. Aku durhaka pada ibu, karena tidak menuruti kehendaknya (untuk soal yang satu ini).
"Apa kata orang nanti, jika Buyung belum juga menikah? Pulanglah, Ibu sudah tua, Nak!"
Surat ibu datang lagi. Mustahil aku berterus terang perihal pernikahanku dengan bekas pelacur, Ningsih. Ibuku bisa mati berdiri mendengar kejujuranku.
Aku merantau karena ibu. Aku melacur, bersetia menyurukkan kepala di bawah selangkangan perempuan seusia ibu, karena ibu. Kurahasiakan pernikahanku dengan Ningsih, juga karena ibu. Kujunjung derajat, agar ibu terhormati. 5)
"Bu! Jika Buyung menikah, Buyung kuatir, sayang Buyung (pada ibu) akan berkurang. Buyung tak akan menikah, Bu. Bukankah Buyung telah 'menikahi' Ibu?" batinku. Ngilu
Ku-kebiri Ibu agar cintanya hanya untukku.6 )
Yogyakarta, April 2004
Catatan :
1) Dari puisi Usep Suhud, Memasung Ibu (Kompas, 16/04/04), sekaligus menjadi pemicu lahirnya cerita ini
2 ) Pekerjaan sebagai tukang cuci piring kotor di restoran/rumah makan masakan khas Padang
3) Indra Tranggono, Bayi dari Negeri Seberang (Media Indonesia, 26/01/03)
4) Bahasa Jawa ; keayu-ayuan, merasa cantik
5) Bait ke 7 puisi Usep Suhud
6 ) Bait terakhir puisi Usep Suhud
Cerpen ini sudah terbit dalam antologi tunggal ; LARAS : Tubuhku Bukan Milikku (Jakarta : Dastan Books, Lini fiksi Pustaka Zahra, April 2005)
Penulis adalah cerpenis, tinggal di Jakarta
Lahir di Padang, 01 Juli 1974
Alumnus Program Studi Ilmu Filsafat program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Selain cerpen, juga menulis esai sastra dan resensi buku di Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Suara Karya, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Gatra (Majalah), Matabaca (Majalah), Sinar Harapan, Bali Post, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Waspada, Singgalang, dll

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.