Skip to main content

M.E.L.A.Y.A.N.I













Pada suatu pertemuan terakhir, saya sempat pidato kecil di depan kelas yang saya ajar. Di hadapan para mahasiswa, saya berujar: "Silakan, jika ada yang ingin menyampaikan kritik dan saran, supaya saya bisa melayani Anda lebih baik lagi di masa yang akan datang..."

Sejenak saya tertegun. Mengapa tiba-tiba saya menggunakan kata 'melayani'? Apakah Itu kata spontan saja atau memang muncul dari lubuk hati terdalam? Apa maksudnya pula?

Berhari-hari setelah kejadian itu, saya mencoba menyelami arti kata melayani itu. Apakah dalam peristiwa sehari-hari yang saja jalani sudah melakukan pelayanan? Kepada siapa? Untuk apa? Pertanyaan-pertanyaan yang kemudian menuntun saya untuk terus sadar dan menyadari. Lalu satu per satu kejadian muncul ke permukaan:

Seorang mahasiswi saya mengirimkan SMS. "Pak, tolong telpon saya. Pulsa saya habis. Ada yang mau saya tanyakan. Penting." Sungguh geli. Namun saya tak perlu banyak mempertimbangkan, saya telpon dia. Ternyata, itu bukan sekali-kalinya, tapi berkali-kali. Dan itu bukan satu mahaswa saja, tapi beberapa.

Kadang, tiba-tiba saya menerima telpon dari teman-teman yang dalam kurun lama tidak berhubungan. Topik yang dibicarakan bisa sesuatu yang penting, bisa juga hal ringan seperti sekedar untuk menanyakan kabar. Saya ingat, biasanya saya akan bertanya, "Gue bisa bantu, apa?"

Suatu ketika, seorang klien memboyong pekerjaan yang deadline-nya sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Padahal jenis pekerjaannya sangat berat. Belum lagi materi belum lengkap dan konsepnya sendiri belum mendapat persetujuan dari atasannya. Jam kerja yang dibutuhkan bukan lagi 9 to 5, tapi 24 jam x sejumlah hari hingga ding dong menit terakhir yang digunakan untuk mereka presentasi! Syukurlah, semuanya lancar dan klien puas. Sepertinya, hampir semua klien punya kejutan dengan deadline, bukan?

Melayani:

Kata sederhana yang mengandung filosofi dalam saya rasa. Melayani teman, melayani atasan, melayani bawahan, melayani klien, melayani keluarga, melayani pasangan, melayani siapa pun, apa pun. Ketika saya mulai melakukannya, yang saya rasakan adalah mengekang ego, mengulurkan tangan, menyederhanakan hati.






Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.