Skip to main content

TIARA: Playboy Tak Punya Tempat Di Indonesia








Dengar dari sejumlah teman jurnalis, sehubungan dengan bakal diluncurkannya majalah Playboy versi Indonesia, Tiara Lestari sedang gencar dicari dan ditunggu komentarnya. Tentu saja perempuan Solo itu bukan seorang pejabat dari kementerian Perempuan ataupun petinggi dari penerbit majalah itu. Tiara Lestari dicari karena pernah tampil di Playboy.

I hardly hold my curiousity. Then i sent a short email to her, to the most wanted person related to next launching of Playboy Indonesia Magz, TIARA LESTARI. So far, not even a media from anywhere could grab her. Not for interviews nor pictures. She's ghost!

I am not a journalist, just a friend. I had such as a good feeling that she would answer my questions. She even didn't answer my email, she called me!

- Heh, kamu lagi rame dicari wartawan kayaknya.
+ Why?
- Why not?
+ Yeah, actually some of my friends from Jakarta said so.
- Don't you want to talk to them giving some statements?
+ Should I?
- Why not?
+ Actually I'm preparing one.
- Give me some points!
+ In my opinion, Playboy shouldn't be published in Indonesia.
- Why
+ Playboy is Playboy, dear.
- Tapi mereka tentunya akan menyesuaikan dengan kondisi Indonesia, bukan?
+ Don't be naive. Seperti apapun, meskipun semua foto di dalamnya adalah perempuan berbusana lengkap, masyarakat dunia masih akan punya persepsi kuat majalah seperti apa itu.
- Begitu?
+ Playboy tidak punya tempat di Indonesia!
- Gee...
+ Lihat aja. Penolakan dimana-mana. You can not close your eyes and pretend there's nothing happened.
+ Pernah dihubungi Playboy untuk tampil dalam versi lokal sini?
- Not yet. I'm not even interested.








Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.