Menjelang terbitnya majalah Playboy edisi Indonesia, orang sudah mulai ribut memperbincangkan. Minimal tiga buah milis yang saya ikuti, ribut membahas topik ini. Ada yang pro dan ada juga setengah-setengah. Nyaris tak ada yang setuju. Mereka membahas mulai dari adat ketimuran, moral bangsa, hingga hubungannya dengar nude art. Is a nude art equal pornography? No one could answer smartly.
For so many excuses, some of us did nude for entertaining people. In a play, on the stage, photograph, film, etc. Some people need money. Some people need popularity. Some people need a big name. Some people need an existency. Some people lost.
Why don't we just respect for any option they chose? Benar, tentu saja tak semua orang bisa setuju. Bahkan di negara bebas sekalipun, pro kontra tetap saja ada.
Jika kemudian kita tak bisa membendung industri media karena berbagai alasan, kenapa kita tak benahi saja distribusinya? Misalnya tak boleh dijual di asongan atau kaki lima, namun hanya boleh di kedai khusus atau bahkan sistem langganan saja.
Di sejumlah negara, majalah dewasa dengan mudah bisa ditemui, namun dengan kemasan yang sangat sulit untuk diintip. Jika mau menengok isinya, ya, harus beli terlebih dahulu. Tapi untuk beli pun, para penjualnya sepertinya punya komitmen hanya melayani pembeli yang sudah cukup umur sesuai dengan undang-undang.
Cara lain adalah dengan pelarangan menjual majalah tersebut dengan harga murah. Hal ini tinggal kepintaran si pengusaha saja, bagaimana agar barang jualan tetap laku dengan tetap memegang rambu-rambu pornografi.
Cara-cara di atas bisa dijadikan jalan keluar supaya jelas konsumennya dapat terseleksi dengan pasti. Pengusaha tetap bisa berusaha, pemerintah yang kadung mengijinkan pun tak harus menyesal karena telah mengeluarkan surat ijin terbitnya.
Tentu saja akhirnya tak hanya kepada majalah Playboy saja aturan ini diberlakukan, tapi juga kepada semua jenis terbitan yang masuk kategori 'dewasa', wajib diberlakukan aturan sama. Tinggal kemudian terserah konsumennya, mau melakukan usaha lebih untuk mendapatkan majalah kesayangannya itu atau mengabaikannya.
For so many excuses, some of us did nude for entertaining people. In a play, on the stage, photograph, film, etc. Some people need money. Some people need popularity. Some people need a big name. Some people need an existency. Some people lost.
Why don't we just respect for any option they chose? Benar, tentu saja tak semua orang bisa setuju. Bahkan di negara bebas sekalipun, pro kontra tetap saja ada.
Jika kemudian kita tak bisa membendung industri media karena berbagai alasan, kenapa kita tak benahi saja distribusinya? Misalnya tak boleh dijual di asongan atau kaki lima, namun hanya boleh di kedai khusus atau bahkan sistem langganan saja.
Di sejumlah negara, majalah dewasa dengan mudah bisa ditemui, namun dengan kemasan yang sangat sulit untuk diintip. Jika mau menengok isinya, ya, harus beli terlebih dahulu. Tapi untuk beli pun, para penjualnya sepertinya punya komitmen hanya melayani pembeli yang sudah cukup umur sesuai dengan undang-undang.
Cara lain adalah dengan pelarangan menjual majalah tersebut dengan harga murah. Hal ini tinggal kepintaran si pengusaha saja, bagaimana agar barang jualan tetap laku dengan tetap memegang rambu-rambu pornografi.
Cara-cara di atas bisa dijadikan jalan keluar supaya jelas konsumennya dapat terseleksi dengan pasti. Pengusaha tetap bisa berusaha, pemerintah yang kadung mengijinkan pun tak harus menyesal karena telah mengeluarkan surat ijin terbitnya.
Tentu saja akhirnya tak hanya kepada majalah Playboy saja aturan ini diberlakukan, tapi juga kepada semua jenis terbitan yang masuk kategori 'dewasa', wajib diberlakukan aturan sama. Tinggal kemudian terserah konsumennya, mau melakukan usaha lebih untuk mendapatkan majalah kesayangannya itu atau mengabaikannya.
Comments