Skip to main content

With Tiara Lestari in Bali


Meditation class was just finished. The moment to come back to a normal life. Sehari saja melaluinya, semua beban di pundak tiba-tiba hilang. Lega rasanya. Bayangkan selama berhari-hari membatasi semua kegiatan dan asupan. Since now: free chatting, free eating, free for anything.



That's first of January. It’s New Year with new vision of life.


I turned on my cell phone. For days I was in an isolated situation included no cell phone allowed. So many people got desperately seeking me I guessed. Masih punya banyak waktu untuk bermain sebetulnya. Saya bisa ke Semarang atau ke Yogya. Ke Ambarawa atau bahkan ke Bali. Tanpa perdebatan dalam hati, saya memilih kembali ke Jakarta. Padahal biasanya, selagi ada di luar rumah, seefektif mungkin saya akan gunakan waktu untuk mengeksplorasi. Saya suka fotografi, saya sebetulnya bisa hunting foto sebanyak yang saya suka. Tapi saat itu saya sedang belajar mendengarkan hati. Dan hati saya menghendaki saya 

pulang!


Dengan mudah dan lebih murah, saya mendapatkan tiket pesawat. Saya menikmati betapa segalanya mengalir. Inilah arti mengalir saya rasa. Mendengarkan hati, melakukan semuanya sesuai dengan hati. That’s about noon: a bright sky of Jakarta, fresh air, empty spaces of road… Jakarta, here I come! Couple minutes leaving the airport, I sent an SMS to Bharata, my boss, saying happy New Year. He gave me a call then. And, an order to hold an urgent meeting for a new project!

‘Right now’, he said.

That evening I had no option. I did packing for a week in Bali. I felt that it was the answer why i had to go back soon.

The project was about video taping of behind the scene of Tiara Lestari’s photo session, a happening international model in current. She just appeared on Play Boy and some foreign magazines in 2005. Every guy on the planet knew her already I guessed.

At least, I had three reasons why I was so excited to do the job. First, Bali. I always love traveling. Second, the kind of job that I love. And the last one was Tiara Lestari. No more explanation about her.

That night I met the model. Joined the team. Big smile. Big idea. Big work. Fortunately i met great people who knew what should they're doing. Positive thinking, respect each other.

We were together from January 02 to January 06. From beaches to mountain. From Teh Botol to a glass of wine. From nasi bungkus to never fine dine. Hahaha. We were in hard working so no pleasure at all. Jika bukan karena team-nya yang hebat, tentu saja bekerja dari pagi ke pagi hampir setiap hari bisa menjadi hal yang sangat berat. Namun semua bisa dilewati dengan ringan dan menyenangkan. Ide-ide baru dan segar pun mengalir dengan lancar untuk mengantisipasi segala rupa keadaan dan untuk mematangkan setiap ide.


Sejumlah masalah seperti cuaca yang kadang menghentikan gerak kami, kami anggap bukan masalah besar. Bahkan, ketika pemotretan di sebuah pantai sedang berlangsung, tiba-tiba banjir besar melanda tepat tempat di mana kami sedang bekerja. Ada aliran cekungan kering, yang ketika hujan bisa tiba-tiba menjadi sungai dadakan yang besar dan berarus kuat. Kami anggap itu sebagai bumbu sedap dari petualangan kami. Syukurlah kami selamat.

Sayangnya, saya ke sana tidak untuk menjadi fotografernya dia. Sedih juga. Tugas saya saya mendokumentasikan kegiatan pemotretan itu. Ayang Kalake was the professional photographer they hired. Sepertinya, saya ingin membunuh dia saja. Bukannya saya tidak boleh memotret, tentu saja saya melakukannya. Namun ketika saya hanya menjadi seorang foografer bayangan, i felt useless. Ketika memotret, saya obsessif terhadap model yang dipotret. Well, never mind. At least i could learn how the expert did his job.

Tiara Lestari as a model, saya rasa sangat tahu harus berbuat apa. What should I say more about her? One thing, she’s really eligible to achieve all she has now. Salut! Satu hal yang saya tak pernah bisa saya mengerti, ketika semua perempuan di dunia menginginkan kesohoran, uang, dan karir gemilang di dunia modelling dan mereka bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkannya, and she got already, she decided coming home! Membingungkan, memang. But there's always something we shouldn't understand.

Comments

TiaraLestari said…
Mr Usep!

Thank you for all your hardwork! It will be hard to forget working with you and that kolor kuning of yours! hahaha

Tiara
Anatomi Angin said…
itu kolor ajaib gue!
just for special occasion i wear it. kok bisa ilang dari tas gue dan pindah ke tas kamu, ya? haha.

it was nice working with you, lady.
Bunyamin Najmi said…
Kolor kuning yang beruntung.

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.