Skip to main content

Dengarkan Hatimu: Ikuti!

Saya mendapat email pendek dari seorang sahabat. Setelah belasan tahun menikah, dia kan mengakhiri perkawinannya. Seorang sahabat lain, baru saja memutuskan hubungan dengan kekasih gelapnya dan memutuskan untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya.

Dua buah kabar yang mengagetkan yang saya terima pada hari yang sama. Kaget yang menyedihkan dan kaget yang menggembirakan. Saya tercenung sejenak, dari sudut mana saya bisa mengambil nilai positifnya?

Ketika saya mengenal dua sahabat saya ini sekian tahun lalu, mereka sudah dalam posisi masing-masing dengan permasalahannya. Pada hal-hal tertentu, bahkan sekilas saya menemukan banyak persamaan dari keduanya: energik, supel, superaktif, selalu ingin dikelilingi teman-teman, selalu ingin mempelajari hal baru, easy going, dan menyukai semua aktifitas luar rumah. Mereka mengeluh hal yang sama: pasangan yang membosankan. Makin lama perbedaan pandang terhadap banyak hal menjadi sangat tajam. Jurang jadi semakin melebar. Pasangan menjadi posesif. Masing-masing merasa terpenjara. Lalu mereka melihat 'rumput tetangga lebih hijau'. Kisah klasik. Seterusnya bisa ditebak.

Hal sama pun pernah terjadi sama saya. Saya mencari pihak lain yang mau mendengar masalah saya. Lalu saya menemukan orang itu. Dari satu curhat ke curhat lain akhirnya saling jatuh hati. Lalu ketika saatnya tiba, ketika saya menilai bahwa three is too crowded, saya harus memilih: kembali ke pasangan semula, memilih orang yang baru, atau meninggalkan keduanya?

Mungkin inilah waktu yang tepat bagi para sahabat saya itu, memilih dan memutuskan jalan mana yang terbaik. Hidup dalam kesakitan, hidup dalam kebebasan, atau berkompromi dengan semuanya, baik-buruk. Karena sesungguhnya baik-buruk segala yang kita terima, tergantung dari bagaimana kita memberi nilai kepadanya.

Saya akan tetap menghargai apapun keputusan mereka: tetap mempertahankan perkawinan dengan segala manis pahitnya, mau terus berjuang untuk berpisah, tetap mempertahankan kekasih gelapnya atau kembali dan mempertahankan keluarganya. Mereka akan menjadi sahabat-sahabat saya, dalam suka maupun senang. Saya tak ingin menghakimi mana yang salah atau benar.

Apakah kepada sahabat saya yang pertama saya harus bilang, "Please, coba bertahan dengan suamimu" atau kepada sahabat yang kedua saya perlu bilang,"Kenapa baru terpikir sekarang buat meninggalkan kekasih gelapmu?"

Tak ada yang paling tahu mana yang paling baik. Tak ada pula yang paling tahu mana yang paling benar. Siapa yang punya jaminan bahwa perceraian adalah jalan terbaik? Atau memilih berpisah dengan kekasih gelap adalah jalan terbenar?

Buat para sahabat, dengarkan hatimu: ikuti!

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.