Skip to main content

Jujur Dengan Hati

Jujur itu tak selamanya mudah dan sederhana. Jujur bukan juga selalu kebalikan dari ketidakjujuran.

Seorang sahabat selalu dipusingkan oleh kewajiban membayar gaji karyawan yang bekerja di perusahaannya. Tentu saja hampir setiap akhir bulan. Sejumlah hutang pun harus mendapat perhatian serius juga.

Saya minta dia jujur. Secara logis dan rasional, dia perlu mengakui bahwa perusahaannya dalam keadaan tidak sehat. Tidak mudah baginya melakukan ini tanpa perdebatan dan tarikan nafas panjang. Saya hanya minta dia mempertimbangkan kondisi sekarang. Bukan kondisi minggu depan atau bulan depan yang menurutnya mungkin akan mendapatkan projek-projek besar. Kalau ternyata projek-projek itu tak datang juga, bagaimana? Berharap boleh saja. Tapi saya tetap menegaskan agar dia fokus pada keadaan sekarang.

Agar dia ikhlas jujur, saya menyarankan untuk membuat daftar kewajiban keuangan, mulai dari yang prioritas hingga hal-hal yang bisa dikompromikan. Sekaligus prospek positif yang bisa menjadi uang, mulai dari yang pasti-pasti hingga yang muluk-muluk.

Setelah semua daftar selesai dibuat, saatnya dia harus berkata jujur. Secara logis dan rasional, dia perlu mengakui bahwa perusahaannya dalam keadaan tidak sehat. Akhirnya mau juga dia mengakui dengan ikhlas. Menurut saya, jika rasa ini telah ada, maka ide-ide untuk memecahkan masalah mungkin bisa lebih mudah terlahir. Saya memaklumi, jiwa pengusaha umumnya enggan dan malu untuk mengakui dirinya gagal.

Menjual semua aset dan menutup perusahaan adalah jalan terakhir yang boleh diambil. Memecat sebagian karyawan bisa menjadi nomor dua dari daftar apa saja yang terakhir boleh dilakukan. Langkah-langkah yang bisa sarankan di antaranya, agar dia mengajak seluruh karyawannya untuk melakukan penghematan besar-besaran: lampu, ac, air, tissue, langganan koran, langganan tv cable, dll.

Selanjutnya, melakukan review terhadap kinerja setiap karyawan, tentunya dengan pemberitahuan terlebih dahulu. Karyawan yang 'raport' nya kurang baik, akan 'dirumahkan' sementara. Bukan dikeluarkan. Ada dua tujuan dalam strategi ini. Pertama, diharapkan karyawan akan memperbaiki kualitas kerja mereka sehingga akan memberi dampak positif bagi perusahaan, hingga siapa tahu keadaan perusahaan akan membaik dalam waktu dekat. Tujuan kedua, jika hal ini benar-benar perlu dilakukan adalah mengurangi ongkos perusahaan. Dengan merumahkan mereka, artinya perusahaan hanya memiliki tanggung jawab membayar gaji pokok saja.

Syukurlah, dengan awal kejujuran tadi, niat untuk memperbaiki kondisi perusahaan bisa mulai bisa dilakukan.

Sahabat lain bercerita, dia terlibat hutang dari sejumlah kartu kredit yang dia miliki. Sementara itu, dia masih harus membantu keluarganya. Dia juga memiliki kegiatan-kegiatan lain yang harus dibiayai. Padahal gaji yang dia terima, walaupun terhitung besar, tak bisa membayar semua pengeluarannya. Seolah dia menari di atas masalah-masalah keuangan yang dia ciptakan sendiri.

Langkah sama saya anjurkan: jujur. Apakah gaya hidup yang dia jalani sekarang perlu terus dipertahankan? Untuk apa? Kesampingkan gengsi.

Saya menemukan banyak sekali perubahan dari dia setelah beberapa waktu berlangsung: no fine dine anymore, tak malu bilang bahwa bujet makan dia terbatas, tak lagi keluar masuk mall berburu produk-produk diskon, tak lagi seharum dulu untuk berbagai jenis acara [menurutnya, dia hanya pakai parfum jika untuk acara tertentu saja], tak lagi semua film terbaru dia tonton, tak lagi berkumpul dengan teman-teman hedon-nya, tak lagi kemana-mana naik taksi [dia rela dan cuek kemana-mana naik bis, bajaj, ojek]. Dia telah menjadi pribadi yang sederhana.

Saya kagum dengan niat sahabat-sahabat saya untuk berubah. Ternyata dengan kejujuran, kita bisa lebih mengenali siapa diri kita. Jujur dengan hati ikhlas dan tulus perbuatan, membuat kita hidup dalam kenyataan sesunguh-sungguhnya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.