Skip to main content

Kehendak-kehendak yang Dikehendaki


Jauh sebelum memasuki bulan Februari, saya berkehendak untuk tidak melakukan perjalanan ke luar kota. Pertimbangan saya, berturut-turut hampir setiap bulan saya mempunyai jadual bepergian. Bahkan untuk jadual bulan Maret pun sudah terlihat betapa saya akan sibuk meninggalkan Jakarta. Baik itu untuk urusan pekerjaan, maupun untuk urusan pribadi.

Tak ada salahnya saya menetapkan hati untuk tinggal di dalam kota. Namun begitu saya tak berani membuat janji dengan siapa pun. Tak ingin mengecewakan. Ada memang sejumlah acara yang ingin saya hadiri, namun saya akan berserah jika waktunya tiba, kegiatan mana saja yang paling menghendaki kehadiran saya.

Seorang kerabat yang tinggal di Jakarta meninggal dan perlu dimakamkan di luar kota. Saya ingin sekali menghadiri pemakamannya. Sesuatu menyeret saya untuk hanya menjenguk rumah duka. Seorang sepupu menikah di luar kota. Saya merasa perlu hadir. Namun urusan pekerjaan tak bisa ditinggal. Seorang sahabat ingin memperkenalkan sahabatnya untuk bisa berkenalan dengan saya. Saya bersedia bertemu untuk menghargai niat baiknya walaupun dalam hati saya merasa tidak nyaman untuk melakukannya. Halangan tiba-tiba saja membentang sekali dua kali hingga rencana-rencana pertemuan itu batal dengan sendirinya. Beberapa sahabat mengundang saya melakukan aktivitas di luar kota. Saya inginkan namun apa daya, lagi-lagi pekerjaan menahan saya untuk tetap tinggal di Jakarta.

Apa yang tidak saya kehendaki, tidak terjadi. Apa yang saya kehendaki, tidak terjadi juga. Sesungguhnya, ketika saya tidak menghendaki, yang bisa saya lakukan rupanya hanya tinggal menghindar saja. Namun ketika saya menghendaki, saya perlu berusaha agar kehendak itu terwujud.

Saya diam atau bergerak, karena saya percaya semesta menghendakinya. Tinggal mengamati pertanda, apa yang mesti saya lakukan. Saya menyebutnya jalan hidup yang bermeditasi. Tak ada pilihan yang bisa saya buat karena sesungguhnya tak ada pilihan dalam sikap hidup bermeditasi. Semua yang saya lakukan, karena hati saya yang membuatnya terjadi.



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.