Suatu malam saya bertemu dengan seorang sahabat. Obrolan menjadi berkembang tentang sebuah kualitas dari sebuah ikatan persahabatan. Bisakah kita merasa sakit ketika yang lain sakit? Bisakah kita gembira ketika yang lain gembira? Bisakah kita menghakimi ketika yang lain sesat? Bisakah kita berprasangka padahal hanya imajinasi?
Dalam komunitas yang saya bicarakan ini, sebetulnya terdiri dari sejumlah grup kecil yang masing-masing memiliki ketertarikan pada bidang-bidang tertentu. Saya menggemari fotografi. Saya juga menyukai aktivitas petualangan. Dari dua kegiatan ini, saya menghimpun sejumlah sahabat. Lalu seorang sahabat saya yang juga anggota dari komunitas penggemar salsa, mengenalkan kelompok mainnya kepada kelompok yang sudah saya bangun sebelumnya. Komunitas menjadi lebih besar. Lalu ada pertukaran ketertarikan. Kelompok saya ada sebagian yang kemudian tertarik dengan salsa. Anggota kelompok salsa pun ada yang kemudian tertarik dengan fotografi dan bahkan aktivitas petualangan.
Selanjutnya, dengan sahabat-sahabat baru ini, terbentuklah kegiatan baru. Sebagian dari dua dan bahkan tiga kelompok yang sudah menyatu ini terhimpun lagi dengan mengikuti kelas gym bersama. Selain itu, saya pun memperkenalkan kegiatan baru lagi dengan mengajak mereka untuk tahu komunitas penggemar karya sastra. Begitulah.
Ada beberapa click yang merupakan anggota dari dua atau lebih komunitas, sehingga perlahan komunitas ini jadi besar. Karena ditunjang dengan pertemuan yang intens, sesama anggota akhirnya menjadi saling dekat. Satu mempengaruhi yang lain. Dampaknya, banyak anggota yang kemudian memiliki ketertarikan kepada hal lain yang awalnya hanya digauli oleh grup tertentu saja. Bahkan selanjutnya, terciptalah hal-hal baru yang dilakukan oleh bauran grup tersebut.
Perjalanan persahabatan kami bisa dibilang cukup jauh untuk bisa saling mengenal satu sama lain. Tabiat, intelektual, kelebihan, bahkan kekurangan masing-masing. Saya menyebutnya 'paket'. Ketika saya sepakat mengangkat seseorang menjadi teman atau apalagi sahabat, saya perlu menerima mereka dengan paket yang mereka miliki, dalam segala bentuk dan rupa, yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
Saya tidak terlalu direpotkan apakah mereka beriman atau kafir, mesiah atau yahudi, kaya atau miskin, bloon atau keblinger. Apa kuasa saya merubah mereka menjadi seperti apa yang saya mau? Jika mereka akhirnya berubah dari hitam menjadi hijau, dari biadab menjadi alim, dari serius menjadi casual: itu karena mereka menghendaki dan mereka mengambil tindakan sesuai dengan keinginan mereka.
Saya tak ingin menuntut mereka harus bertindak sesuai dengan standar moral saya. Saya tak ingin mereka berpikir sesuai dengan standar intektual saya. Saya tak ingin juga menuntut mereka harus lucu sesuai dengan standar bercanda saya.
Jika mereka berpikir lebih lambat dari saya, jika mereka bercanda lebih kasar dari saya, jika mereka bertindak lebih brutal dari saya, jika mereka lebih nista dari saya: mereka tetaplah para sahabat.
Saya bukanlah mursyid kecuali mereka memuridkan. Saya bukanlah darwis kecuali mereka mensucikan. Saya bukanlah lentera kecuali mereka nyalakan. Saya tak akan menghindar kecuali mereka meninggikan.
Dapatkah para sahabat berpendapat sama? Saya tak perlu memaksakan. Urusan hati adalah bagaimana mereka bisa memberi nilai bagi diri mereka sendiri. Saya menyebutnya, mereka perlu mengenal diri sendiri apa adanya: Mereka yang tidak sempurna, mereka yang tidak lebih beruntung dari yang lain, mereka yang tidak lebih pintar dari yang lain, mereka yang tidak lebih menarik dari yang lain, mereka yang tidak lebih benar dari yang lain, mereka yang tidak lebih berprestasi dari yang lain, mereka yang tidak lebih kuat dari yang lain, mereka yang tidak lebih suci dari yang lain, mereka yang bukan tuhan bagi yang lain.
Mereka perlu menerima diri mereka sendiri apa adanya untuk kemudian bisa menerima diri orang lain apa adanya.
Comments