Skip to main content

Melayani yang Mengalirkan

Minggu pagi, karena sejumlah urusan pekerjaan, saya perlu menginap di kantor. Tak pernah merasa keberatan karena saya ingin melayani perusahaan di mana saya bekerja dengan sepenuh hati.

Hari itu, beberapa acara ingin sekali saya hadiri: Reuni dengan teman-teman kuliah pada jam 11am, parade budaya peringatan cap goh meh pada jam 2pm, dan acara lamaran seorang sahabat dimana saya diminta kumpul pada jam 4.30pm.

Tiba di rumah, saya manfaatkan waktu untuk tidur. Saya ingin melayani jasad yang perlu berisitirahat.

Tengah hari, saya baru terbangun. Namun tak bisa langsung berkemas karena seorang adik saya dengan segudang ceritanya tak mungkin saya abaikan. Saya ingin melayani dia.

Sederet keinginan agar semua acara bisa saya hadiri. Namun, saya hanya ingin berkeinginan. Biar semesta yang menyiapkan semuanya.

Saya sangsi apa acara reuni masih berlangsung karena sudah hampir jam 1pm. Nomor teman-teman saya hubungi namun tak ada yang mengangkat. Saya merasa yakin mereka sudah bubar. Kemudian saya bulatkan tekad saja untuk menuju ke lokasi parade cap goh meh.

Ketika saya tergesa menguber bis di jalur busway, seorang teman mengerem langkah saya. Katanya, masih menunggu beberapa teman lagi. Walaupun teman itu sudah mempersilakan saya untuk berangkat duluan, saya tak beranjak. Di shelter Trans Jakarta itu, saya ikut menunggu teman-teman lain. Saya ingin melayani mereka jika mungkin. Tak perlu buru-buru tiba di lokasi menurut saya, tokh bertemu dengan mereka dengan suatu kesengajaan bukanlah hal yang mudah juga. Saya menerima hadiah ini dengan gembira. Hingga akhirnya rombongan komplit berkumpul. Dengan komplotan ini, satu dua kali saya pernah bersama mendaki gunung.

Bis jalur busway menuju Kota kosong melompong, padahal bis-bis sebelumya terlihat sesak penuh hingga yang masuk pun harus dibatasi. Siang itu, banyak orang menuju kawasan Jakarta Kota karena ingin menonton acara Pawai Budaya. Bis itu dikirim demi kenyamanan kami. Saya percaya, bis ini dikirim untuk melayani saya.

Detik-detik melewati lokasi tempat reuni teman-teman kuliah saya, tiba-tiba salah seorang sahabat dari kelompok ini menelpon. Mereka masih komplit dan masih menunggu saya rupanya. Tanpa mempertimbangkan lama, saya langsung lompat, meninggalkan teman-teman yang baru saja bertemu. Tak apa saya meninggalkan mereka, tokh memang kami tak berjanji untuk beraktifitas bersama. Jikalau pertemuan itu sempat terjadi, saya menganggapnya hadiah saja. Justeru diam-diam saya berterima kasih, karena jika saya tak bertemu dan menunggu mereka barang sejenak, saya sudah melaju jauh terhindar dari acara reuni. Saya merasa semesta melayani saya.

Reuni kecil. Sebelum histeris ngobrol sana-sini, saya katakan kepada teman-teman, saya perlu berbagi waktu untuk aktifitas lain. Mereka mengerti. Walau sebentar saja, saya meluangkan waktu untuk melayani mereka.

Dari entah berapa topik pembicaraan, salah satu ucapan yang saya ingat dari salah seorang sahabat adalah, "Gue ingin segera mendapatkan suami, bukan pacar."

Saya pamit untuk menuju kawasan Kota untuk hunting foto acara cap goh meh. Saya ingin melayani hobi saya supaya tersalurkan.

Jam sudah lewat jauh dari jadual acara yang diedarkan oleh panitia acara. Namun saya santai saja. Tak begitu penting apakah saya mendapat foto yang banyak dengan moment-moment bagus. Hal terpenting adalah saya ingin berada di lokasi itu karena saya memang menginginkannya. Tiba di lokasi acara, syukurlah, acara belum dimulai. Saya merasa, parade itu melayani saya. Saya bertemu dengan seorang teman fotografer yang bahkan dia telah menunggu sejak dua jam sebelumnya!

Menimbang saya punya janji lain, saya sudah menetapkan hati untuk tidak terlalu lama hunting foto. Saya ingin melayani sahabat saya yang akan melangsungkan acara lamaran malam itu.

Setelah mendapatkan sejumlah foto yang menarik, saya pulang menumpang Trans Jakarta. Sebetulnya, hingga saya beranjak pulang pun parade belum juga dimulai. Bersyukur, justru ketika saya bis berjalan, parade dimulai. Melintas sejajar dengan jalus busway dan saya seolah mengikuti seluruh kejadian tanpa harus berdiri berdesakan dan kepanasan. Bis tidak terlalu padat dan saya mendapatkan posisi sesuai dengan harapan. Lagi-lagi, saya merasa bis dan parade ini melayani saya.

Saya melihat anthusisme orang begitu besar untuk menyaksikan acara parade ini. Jalanan penuh sesak, lalu lintas tersendat. Sudah mendekati waktu di mana saya perlu berkumpul bersama rombongan ke acara lamaran sahabat saya. Saya pasti telat di, pikir saya. Sekonyong-konyong panita lamaran mengirimkan pesan bahwa jam berkumpul diundur. Leganya. Saya merasa semesta melayani saya.

Pada acara lamaran yang berjalan lancar itu, seorang sahabat lain yang turut mengantar, berdoa panjang lebar. Ia ingin sekali segera mendapatkan pendamping hidup.

Ketika saya bangun tidur keesokan harinya, saya teringat dua keinginan dari sahabat-sahabat saya. Satu ingin segera dapat suami, satu ingin segera mendapat isteri! Hmm, bukankah ini waktu yang tepat bagi saya untuk melayani keinginan kedua sahabat saya itu?

Mengalir, mengalirlah.
Bacalah pertanda sebagai itikad.
Melayani, supaya kau dilayani.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.