Skip to main content

Menerima Arus Semesta



Selama perjalanan karir bekerja, saya pernah menunda promosi kenaikan jabatan ketika saya menilai belum siap. Saya menganggap promosi itu terlalu mendadak. Sebetulnya jika dilihat ke belakang, tak ada masalah yang betul-betul menghalangi. Hanya jalan berpikir saya saja yang pada waktu itu sempit dan kekanak-kanakan hingga menolak hadiah itu.

Di waktu lain, dua rekan kerja saya pernah jumpalitan mencari perhatian atasan dan mengajukan diri untuk menjadi pimpinan departemen walalupun hasilnya nol. Atasan menilai kedua rekan saya ini belum pantas menduduki jabatan tertenu yang mereka inginkan.

Seorang sahabat yang bekerja pada sebuah perusahaan pertambangan, setahun lalu uring-uringan. Dia mendapat promosi kenaikan jabatan, tapi harus bersedia dipindahkan ke luar daerah di mana mining mereka berada. Dia benar-benar frustasi dan tak berdaya mengubah keputusahan manajemen. Hanya ada dua pilihan: menerima atau mengundurkan diri.

Beberapa minggu ini, seorang sahabat lain yang bekerja pada sebuah perusahaan asuransi milik BUMN pun gundah. Mengalami kasus serupa: promosi tiba-tiba yang tidak atau belum diharapkan. Belasan tahun lalu ketika saya sudah menganut prinsip hidup mengalir, mungkin saya tak akan menolak ketika apa pun menghendaki saya untuk jadi apa pun. Mendapat rezeki kenaikan pangkat kan bukan hal negatif? Nasib menghendaki saya mendapatkan hal yang lebih baik. Meskipun dengan resiko bahwa saya harus bekerja lebih banyak dan lebih keras. Hal yang wajar bukan?

Tanpa bermaksud menggurui dan menghakimi, saya tekankan pada kedua sahabat saya itu untuk melihat hal-hal positif dari peristiwa itu, sebelum mengambil keputusan untuk menolak. Dari pada menyesal. Siapa tahu jika mereka menerima promosi itu dan pindah ke daerah baru, justeru mereka akan menemukan segala kebaikan yang mereka idamkan selama ini? Siapa tahu dengan menjauh dari hiruk pikuk metropolitan justeru akan membuat mereka lebih tahu makna dan tujuan hidup? Siapa tahu juga, penempatan di daerah itu tidak selama yang mereka kira? dan ini dan itu. Hal-hal yang membuat mereka perlu berpikir positif.

Lalu apa yang menjadi alasan mengapa mereka menolak? Dengan kasus sama, inti penolakan kedua sahabat saya ini pun identik. Menghakimi untuk sesuatu yang belum terjadi, bahwa hidup di daerah terpencil pasti tidak akan membuat mereka betah. Mereka kuatir akan kehilangan cita rasa Starbucks, gemerlap twenty one, dan kesempatan untuk mendapatkan kekasih-kekasih baru. Namun akhirnya, ketika waktu harus membatasi keragu-raguan dan kekuatiran mereka, mereka perlu mengambil keputusan: menerima.

Sesadar-sadarnya, ketika detik ini saya duduk dan menulis jurnal, bukanlah kehendak saya sendiri. Saya melakukannya karena semestara raya memang berkehendak demikian. Saya disediakan kesempatan, waktu, ide, dan energi untuk menulis. Pekerjaan satu telah selesai sambil menunggu pekerjaan-pekerjaan lain siap dilakukan.

Menerima kehendak semesta adalah hidup sesungguh-sungguhnya mengalir.

Semoga berhasil, para sahabat!




Comments

bitiqe said…
just let it flows......

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.