Skip to main content

Panggilan yang Mengalirkan

Saya sedang di tengah pembuatan sebuah proposal dan jadual pekerjaan sangat padat padahal saya masih perlu membagi waktu untuk pekerjaan lain. Seorang teman datang berkunjung tanpa janji dan bercerita macam-macam yang tidak terlalu penting. Saya perlu menemaninya.

Saya sedang di tengah pembuatan sebuah proposal dan jadual pekerjaan sangat padat padahal saya masih perlu membagi waktu untuk pekerjaan lain. Saya lelah dan mengantuk. Saya berbaring di sofa lalu jatuh tertidur.

Saya sedang di tengah pembuatan sebuah proposal dan jadual pekerjaan sangat padat padahal saya masih perlu membagi waktu untuk pekerjaan lain. Jam makan siang sudah terlewat jauh dan saya sangat kelaparan. Saya putuskan untuk makan walaupun tak beranjak dari depan komputer.

Saya sedang di tengah pembuatan sebuah proposal dan jadual pekerjaan sangat padat padahal saya masih perlu membagi waktu untuk pekerjaan lain sementara deadline tinggal hitungan jam. Seorang staff minta perhatian saya untuk menyelesaikan sebuah urusan. Saya mengehentikan pekerjaan dan menemuinya,

Saya sedang kehilangan mood karena baru saja mendapat surat pemberitahuan dari klien bahwa proposal yang saya siapkan berhari-hari tak lolos dalam tender. Mendadak saja Boss mengajak saya untuk ikut meeting dengan klien lain. Saya bilang, oke.

Saya berkunjung ke rumah Ibu, mendapati halaman rumah diseraki daun-daun tua. Saya ambil sapu dan membersihkannya.

Saya sedang berjalan di sebuah badan jalan dan melihat sebatang paku melintang. Saya menyingkirkannya.

Rasa lapar, mengantuk, batang paku, halaman yang kotor, rekan kerja: mereka 'memanggil' saya. Panggilan-panggilan itu menghendaki perhatian saya hingga saya perlu bertindak mengikuti sejauh saya bisa mengikutinya.

Saat lapar, saya perlu jujur bahwa saya lapar kemudian mengambil tindakan untuk makan. Saat mengantuk, jika memang memungkinkan bagi saya untuk tidur sejenak, mengapa tidak? Walaupun sesibuk apa, ketika ada rekan kerja lain menghendaki saya, saya perlu memberi perhatian pada mereka. Semakin lama saya biarkan, semakin lama pula mereka akan menunggu dan sepertinya akan menghambat pekerjaan mereka yang lain.

Saya menyebutnya panggilan-panggilan yang mengalirkan. Hal-hal yang menggiring saya mengalir seperti angin. Tak sedikit pun saya ragu untuk melakukannya. Tak perlu pula meminta alasan mengapa saya perlu melakukannya. Panggilan-panggilan itu adalah pertanda yang menghendaki saya melakukannya.

Lalu pada sebuah siang, ketika semua panggilan saya tandai sebagai pertanda, pengamatan saya terpentok pada sebuah panggilan yang sudah bertahun-tahun lamanya saya abaikan. Sholat!

Panggilan sholat bukanlah seperti rasa kantuk atau permintaan tolong dari seorang teman yang datangnya tak terduga. Bukan pula hal yang perlu saya amati dengan seksama kapan datangnya. Panggilan sholat sudah jelas waktunya. Sudah jelas dari pertandanya. Jelas pula siapa yang menghendakinya.

Tanpa perdebatan panjang, saya penuhi panggilan itu. Saya sangat perlu memenuhi panggilan itu.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.