Saya menumpang mobil seorang sahabat untuk sama-sama pergi ke sebuah acara. Dia yang mengemudi. Sepanjang perjalanan kami mengobrol berbagai topik. Sepanjang perjalanan itu pula begitu banyak hal terjadi yang tak luput dari pengamatan saya.
Walaupun komunikasi lewat email dan telepon sangat lancar, namun cukup lama kami tidak saling bertemu. Saya mengenal sahabat saya ini sudah lama sehingga sudah hafal betul sifat-sifatnya. Namun tetap saja saya terkaget-kaget menyaksikan bagaimana dia bereaksi, berkomentar, mengumpat, bersumpah serapah, untuk semua yang terjadi di depan mata. Lampu hijau yang hanya sebentar nyala, motor yang sembarangan berhenti, pejalan kaki yang sembarangan menyebrang, ini, itu.
Lalu saya teringat pada seorang klien yang marah ketika sebuah kesepakatan tak susuai dengan harapannya. Sesungguhnya dia paham betul dengan win-win solution yang menjadi patokan di awal pembicaraan. Dengan berbagai analogi yang dibuatnya sendiri, dia pun paham untuk setiap penawaran yang saya ajukan. Namun pada kenyataannya di kecewa. Hal yang kontradiktif. Di satu sisi dia setuju dan paham namun di pihak lain dia menganggap hal tersebut tak perlu terjadi. Membingungkan, bukan? Yang membuat saya tambah tidak mengerti, dia lalu mengungkit tentang segala kebaikan-kebaikan yang pernah dia dan perusahaannya berikan buat saya dan perusahaan tempat saya bekerja.
Inikah sifat-sifat saya dulu?
Saya diberi kesempatan untuk menyaksikan 'film' masa lalu saya. Semesta telah menitipkan pelajaran sejarah sifat-sifat saya dulu lewat perilaku orang-orang terdeka saya, mereka yang rela jiwanya dikalahkan oleh ego.
Comments