Skip to main content

Pelajaran yang Dititipkan

Saya menumpang mobil seorang sahabat untuk sama-sama pergi ke sebuah acara. Dia yang mengemudi. Sepanjang perjalanan kami mengobrol berbagai topik. Sepanjang perjalanan itu pula begitu banyak hal terjadi yang tak luput dari pengamatan saya.

Walaupun komunikasi lewat email dan telepon sangat lancar, namun cukup lama kami tidak saling bertemu. Saya mengenal sahabat saya ini sudah lama sehingga sudah hafal betul sifat-sifatnya. Namun tetap saja saya terkaget-kaget menyaksikan bagaimana dia bereaksi, berkomentar, mengumpat, bersumpah serapah, untuk semua yang terjadi di depan mata. Lampu hijau yang hanya sebentar nyala, motor yang sembarangan berhenti, pejalan kaki yang sembarangan menyebrang, ini, itu.

Lalu saya teringat pada seorang klien yang marah ketika sebuah kesepakatan tak susuai dengan harapannya. Sesungguhnya dia paham betul dengan win-win solution yang menjadi patokan di awal pembicaraan. Dengan berbagai analogi yang dibuatnya sendiri, dia pun paham untuk setiap penawaran yang saya ajukan. Namun pada kenyataannya di kecewa. Hal yang kontradiktif. Di satu sisi dia setuju dan paham namun di pihak lain dia menganggap hal tersebut tak perlu terjadi. Membingungkan, bukan? Yang membuat saya tambah tidak mengerti, dia lalu mengungkit tentang segala kebaikan-kebaikan yang pernah dia dan perusahaannya berikan buat saya dan perusahaan tempat saya bekerja.

Inikah sifat-sifat saya dulu?

Saya diberi kesempatan untuk menyaksikan 'film' masa lalu saya. Semesta telah menitipkan pelajaran sejarah sifat-sifat saya dulu lewat perilaku orang-orang terdeka saya, mereka yang rela jiwanya dikalahkan oleh ego.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.