Skip to main content

Sahabat yang Dibedakan

Saya tetap mengirimkan pesan-pesan pendek kepada mantan kekasih sekaligus sahabat. Demi menjaga silaturahmi. Kadang dia membalasnya dengan sangat manis. Kadang pula meradang karena tak ingin diganggu.

Ada sahabat memilih tak ingin berteman lagi dengan saya ketika saya tolak cintanya. Sahabat lain memilih menghindar dari saya ketika berbeda pendapat tentang suatu hal. Sahabat lainnya menghindar dari saya karena dia memang senang menciptakan masalah.

Saat mereka menghindar, saya percaya mereka punya alasan. Saat mereka menghindar, saya tahu saya tak dikehendaki. Tak ada yang lebih merisaukan kecuali saya ikut menghindar. Saya tak ingin memaksakan kehendak agar sesuatunya menjadi baik kecuali semesta menghendaki sesuatu itu menjadi baik. Waktu akan bicara. Sesungguhnya bukan seharusnya saya menghindari sesuatu kecuali sesuatu itu yang menghindari saya.

Tak ada kebencian yang abadi tersimpan dalam hati, kecuali jika sang hati dibiarkan terus bersekutu dengan Yang Mahatakbaik. Sahabat sejati, akan memaklumi dan memaafkan, menerima saya apa adanya. Seperti juga saya menerima mereka apa adanya, benar tidak benar, indah tidak indah.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.