Skip to main content

Hadapi dengan Pintar, Bukan Menghindar


Akhir-akhir ini, saya sedang mempraktekkan hidup mengalir, sesungguh-sungguhnya mengalir. Maka, ketika saya mengalir saya mestinya tidak boleh menolak sesuatu yang datang menghampiri. Termasuk telepon-telepon yang masuk. Termasuk kejadian-kejadian yang mungkin tidak sedap.

Termasuk ajakan dan undangan. Ketika ajakan itu terdengar menyenangkan dan saya punya waktu untuk ajakan itu, saya akan katakan saya bisa. Ketika ajakan itu terdengar tidak menyenangkan padahal saya punya waktu untuk ajakan itu, ini yang menjadi dilema. Di satu sisi, saya ingin menerima. Di sisi lain, yang tak ingin mengorbankan perasaan.

Seorang sahabat getol sekali menghubungi saya. Saya tak ingin terlalu sering berhubungan dengan dia.

Beberapa alasan mengapa saya tak ingin terlalu sering berhubungan dengannya: Dia selalu minta saya menemani ke tempat-tempat yang tidak populer di mata saya untuk mencari barang-barang keperluannya. Dia selalu minta pendapat saya untuk hal-hal kecil yang, masya allah, saya pikir anak kecil pun bisa memutuskan mana yang harus dia lakukan. Dia selalu curhat untuk sesuatu yang biasa saja. Saya menemukan, ada indikasi dia menyukai saya padahal saya tidak.

Ketika jalan tengah sulit ditemukan, saya mempunyai sebuah pembenaran. Saya harus mendengarkan hati. Ikuti kata hati. Jika hati saya tidak ingin melakukannya, jangan lakukan. Baiklah. Maka, saya terus mengasah jurus-jurus ampuh untuk menyelamatkan diri.

Pertama, jika dia menelpon atau kirim SMS, saya akan segera membalas. Menunjukkan bahwa saya punya perhatian. Ketika dia meminta waktu saya untuk bertemu besok atau minggu depan atau bulan depan, saya katakan tidak mau berjanji. Bahwa saya tidak ingin membebani hidup saya dengan janji-janji. Lihat saja nanti, jika semesta menghendaki petemuan itu: kun fayakun, qui sera sera.

Saya tak ingin sekalipun berbohong. Jika dia minta waktu bertemu sekarang juga, saya katakan itu tak mungkin. Saya tidak suka kejutan.

Dari lima atau enam kali ajakan, mungkin satu saya pertimbangkan untuk meluluskan. Saya akan biarkan dia menentukan jadual dan tempat, sekaligus topik apa saja yang akan dibahas, dan kegiatan apa saja yang akan dilakukan. Saya katakan tadi, saya tidak suka kejutan, saya perlu tahu detail apa rencananya. Dia harus jadi untuk acara yang dia rencanakan. Lalu saya akan kabari dia apakah saya menyetujui isi proposalnya.

Saya membiarkan waktu berjalan. Menunggu pertanda yang dikirimkan semesta. Ketika saatnya nyaris tiba, saya katakan: Ya, saya bisa. Tapi lokasi saya pindahkan dan saya punya waktu satu jam karena setelah itu saya harus bla bla bla.

Saya tidak berbohong. Saya tidak menghindar. Saya ingin terlihat pintar. Karena saya jalani hidup tanpa ingin dikendalikan oleh sesiapa pun.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.