Skip to main content

He Passed Away


A hand above the water
An angel reaching for the sky
Is it raining in heaven -
Do you want us to cry?

And everywhere the broken-hearted
On every lonely avenue
No-one could reach them
No-one but you

One by one
Only the Good die young
They're only flying too close to the sun
And life goes on -
Without you...

[Bryan May, Queen: No One But You]


Seorang teman baru saja meninggal dunia. Walaupun tak begitu mengenal dekat, namun berita kematian tetaplah bukan kabar menyenangkan. Mati muda. Bukan keinginan banyak orang. Meninggalkan orang-orang tercinta. Meninggalkan pekerjaan yang belum selesai.

Selamat jalan, kawan...

Mendengar dari orang tua, guru mengaji, para sahabat, dan bahkan buku: bahwa kematian justeru awal dari perjalanan panjang sesungguh-sungguhnya. Belum lama ini saya mulai memperdalam pengetahuan mengenai hidup sesudah mati.

Tergantung amal perbuatan, kehidupan macam apa lagi yang paling menghendaki jiwamu sesudah ruhmu diambil kembali oleh Sang Maharuh. Surga akan membentang luas dan berundak-undak jika kau jalani hidup duniamu dengan benar dan penuh nilai ibadah.

Namun jika standar ibadahmu tak sesuai dengan syarat sorga, kau bisa terlahir kembali ke dunia, menjadi hewan atau manusia. Ini pun tergantung amal perbuatanmu. Atau kau menjadi gentayangan hingga pengadilan berikutnya yang entah kapannya lagi-lagi sesuai amal perbuatan - memutuskan, kau terlahir kembali menjadi apa. Inilah reinkarnasi.








Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.