Skip to main content

Kekasih yang Disakiti



Di tengah sepasang mantan kekasih yang sedang berseteru. Semua merasa paling benar. Semua merasa teraniaya. Padahal saya tak ingin memihak. Padahal saya tak ingin berucap apa pun. Kalo boleh, saya ingin mendengarkan saja. Biar masalah mereka pecahkan berdua. Karena saya tidak tahu siapa yang paling benar dan saya tak perduli. Karena saya tidak tahu siapa yang paling teraniaya dan saya tak perduli.

Saya ingin mereka kembali berbaikan dalam bentuk hubungan apa pun. Bahwa mereka pernah bersama dalam suka dan duka. Saling berbagi. Tak penting siapa yang paling mencintai. tak penting siapa yang paling perduli. Tak penting siapa yang paling berinvestasi. Tak penting juga sudah berapa lama mereka pernah menjalin.

Saya dan mantan kekasih pernah berselisih. Kami memiliki sahabat bersama. Saya curhat ke dia dan mantan kekasih saya pun curhat ke dia. Dia menceritakan kembali apapun yang mantan kekasih saya ceritakan ke saya dan sebaliknya. Bukannya menjadi baik, masalah jadi tambah runyam. Saya tak ingin hal ini terulang.

Di lain waktu ketika saya berselisih dengan seorang mantan kekasih lainnya, saya bercerita ke seorang teman dekat yang ternyata memanfaatkan masalah kami. Saya salah memilih orang untuk bercerita. Berharap kegelisahan hati bisa kendur ternyata malah membuat masalah baru. Saya tak ingin hal ini terulang.

Seorang sahabat bercerita tentang kekurangan-kekurangan pasangannya. Saya simpan ceritanya. Di waktu berbeda, dia bercerita juga ke sahabat lainnya. Dari sahabat ini cerita itu menyebar. Saya dituduhnya yang telah menyiarkan. Sedih sekali. Saya tak ingin hal ini terulang.

Manusiawi sekali jika kita tidak puas dengan pasangan, kita mencari orang lain yang kita harapkan dapat mengurangi beban pikiran. Kita keluarkan semua uneg-uneg. Sementara mungkin benar adanya. Kita telanjangi pasangan kita seolah dia adalah makhluk ternista yang pernah hidup. Semua terlihat benar ketika dalam kemarahan ketika melakukannya. Kita seperti punya alasan untuk menyakiti pasangan kita. Kita sakit, dia juga harus sakit. Kita sengsara, dia pun harus sengsara.

Pernahkah kita sadari bahwa di kelak kemudian hari dia akan kembali menjadi pasangan kita? Padahal segala boroknya sudah kita sebar ke semua telinga.

Kembali pada sepasang kekasih yang sedang berseteru, jelas saya sedih mendengar mereka berpisah. Lalu mereka saling menyerang. Lalu mereka saling menyakiti. Semoga kearifan dapat menyelesaikan. Apapun dan bagaimanapun, mereka adalah sahabat-sahabat terbaik saya. Semoga semua menjadi kembali baik.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.