Kali lain, saya menjadi penjual es mambo keliling. Saya menjadi distributor tunggal dari usaha pembuatan es mambo milik keluarga. Adik saya masih kecil-kecil. Kakak-kakak saya sudah bekerja, kuliah, dan lainnya tinggal di asrama. Waktu itu saya sudah duduk di bangku SMP. Peternakan ayam sudah tutup. Serangan tetelo membuat hampir semua ayam mati.
Menurut banyak orang, gaji Bapak dari pabrik ban terbesar di Bogor waktu itu tergolong tinggi. Namun Bapak masih perlu mencari uang tambahan untuk menyokong keperluan keluarga besar kami. Bapak ingin semua anaknya mengecap pendidikan setinggi-tingginya. Bapak melakukan apa saja, mengkaryakan siapa saja di rumah, dan mengajarkan hidup yang sangat sederhana agar cita-cita bersama itu tercapai. Bapak lalu membeli sebuah freezer untuk membuat es mambo.
Siang sepulang sekolah, saya biasanya ke pasar untuk membeli bahan-bahan dasar untuk membuat es mambo. Kacang hijau, gula, coklat bubuk, rupa-rupa pewarna, buah-buahan, kantong plastik, dan lain-lain yang tak saya ingat. Mulai dari siang, sore, hingga malam hari, es mambo dibuat. Ibu yang biasanya bikin adonan. Beberapa anak tetangga juga biasanya ikut membantu. Kami memasukkan adonan ke dalam kantong plastik, menggunakan corong. Plastik lalu diikat. Ibu memberikan upah kepada siapa yang membantu, untuk setiap batang es mambo. Saya tak pernah mendapat uang jajan jika ke sekolah. Uang yang saya terima hanya cukup untuk ongkos. Upah membungkus es mambo ini saya pakai untuk jajan.
Sangat pagi, sebelum berangkat sekolah, dengan termos-termos besar di kiri kanan tangan, saya mendatangi warung-warung langganan. Saya lupa, berapa jumlah batang es dalam setiap termos. Setiap hari saya keliling kampung, menyambangi warung-warung untuk titip jual es mambo. Namun, hari Minggu biasanya tugas demikian Ibu saya yag melakukan karena saya ikut kelas karate.
Sambil menaruh termos berisi es mambo baru, sekalian mengambil termos bekas pakai yang sudah kosong. Menghitung berapa yang laku. Jika musim panas, es mambo laku keras. Tapi jika musim hujan tiba, banyak es mambo tidak laku terjual. Uang hasil penjualan itu untuk ongkos sekolah kami sehari-hari, sehingga beban Bapak tidak terlalu berat.
Menurut banyak orang, gaji Bapak dari pabrik ban terbesar di Bogor waktu itu tergolong tinggi. Namun Bapak masih perlu mencari uang tambahan untuk menyokong keperluan keluarga besar kami. Bapak ingin semua anaknya mengecap pendidikan setinggi-tingginya. Bapak melakukan apa saja, mengkaryakan siapa saja di rumah, dan mengajarkan hidup yang sangat sederhana agar cita-cita bersama itu tercapai. Bapak lalu membeli sebuah freezer untuk membuat es mambo.
Siang sepulang sekolah, saya biasanya ke pasar untuk membeli bahan-bahan dasar untuk membuat es mambo. Kacang hijau, gula, coklat bubuk, rupa-rupa pewarna, buah-buahan, kantong plastik, dan lain-lain yang tak saya ingat. Mulai dari siang, sore, hingga malam hari, es mambo dibuat. Ibu yang biasanya bikin adonan. Beberapa anak tetangga juga biasanya ikut membantu. Kami memasukkan adonan ke dalam kantong plastik, menggunakan corong. Plastik lalu diikat. Ibu memberikan upah kepada siapa yang membantu, untuk setiap batang es mambo. Saya tak pernah mendapat uang jajan jika ke sekolah. Uang yang saya terima hanya cukup untuk ongkos. Upah membungkus es mambo ini saya pakai untuk jajan.
Sangat pagi, sebelum berangkat sekolah, dengan termos-termos besar di kiri kanan tangan, saya mendatangi warung-warung langganan. Saya lupa, berapa jumlah batang es dalam setiap termos. Setiap hari saya keliling kampung, menyambangi warung-warung untuk titip jual es mambo. Namun, hari Minggu biasanya tugas demikian Ibu saya yag melakukan karena saya ikut kelas karate.
Sambil menaruh termos berisi es mambo baru, sekalian mengambil termos bekas pakai yang sudah kosong. Menghitung berapa yang laku. Jika musim panas, es mambo laku keras. Tapi jika musim hujan tiba, banyak es mambo tidak laku terjual. Uang hasil penjualan itu untuk ongkos sekolah kami sehari-hari, sehingga beban Bapak tidak terlalu berat.
Comments