Bapak saya gemar berkebun dan bertani. Setiap pagi sebelum bekerja, sore hari sepulang kantor, dan sepanjang hari Minggu, Bapak biasanya di kebun dan di sawah.
Bapak berkebun dan bertani bukan sekedar untuk hobby, tapi juga untuk mendapat uang sampingan untuk keluarga besarnya. Bapak punya beberapa petak tanah yang lokasinya berjauhan. Belum lagi, Bapak juga mengelola tanah-tanah milik tetangga atau milik kerabat yang digadaikan. Ada tanah yang cocok untuk ditanami padi, ada yang cocok untuk beternak ikan, ada juga yang hanya cocok ditanami palawija.
Sejak saya kecil, saya lupa di usia berapa, saya dan saudara-saudara sudah berkubang dengan lumpur untuk membantu Ibu dan Bapak. Ibu tak pernah mengeluh walaupun kulitnya jadi sangat gelap karena sering terbakar matahari. Saya sangat kehilangan waktu bermain dengan teman-teman seusia. Tak ada pilihan, dari pada dipukuli Bapak jika tidak ikut membantu.
Selain padi, Bapak juga berkebun kacang tanah, kacang panjang, buncis, singkong, ubi, mentimun, tomat, cabai, terung, ukuk, sereh, kopi, bayam, kangkung. Kami tidak menanamnya bersamaan tapi bergantian. Ada juga yang ditanam sistem tumpang sari. Selain itu juga Bapak menanam rambutan, jambu batu, jambu bol, buni, nangka, pepaya, kedondong, kelapa, pisang.
Siang hari jika matahari sudah condong ke barat, Ibu mengajak anak-anaknya ke kebun. Kami berbagi tugas. Siapa membuat lubang, siapa melempar benih, siapa menutup benih dengan tanah, siapa menyiram. Sepulang kerja, Bapak akan ikut bergabung membetulkan irigasi, membetulkan pagar pembatas yang rusak, atau mengganti atap yang sudah perlu diganti.
Jika tanaman sudah tumbuh, tugas panjang masih akan menanti. Memberi pupuk, menyiangi rumput, menumpulkan pucuk, membuat tiang penyangga, menyemprotkan obat anti hama, hingga menjaga kebun agar tidak dimasuki maling.
Saya sering mengantar Ibu ke pasar dengan karung besar berisi mentimun, tomat, atau hasil kebun lain. Biasanya ibu berangkat dengan beberapa karung sekaligus. Ibu menggendong karung untuk disampaikan ke pembeli, saya menunggu karung lainnya agar tidak diboyong orang.
Kegiatan menjual hasil kebun dan sawah terus kami lakukan hingga saya duduk di bangku kuliah. Pemasaran tak sekedar di dalam kota Bogor, tapi juga ke ibu kota. Awalnya, Bapak mengantar saya ke beberapa pasar seperti Pasar Cikini, Pasar Blok M, maupun Pasar Mayestik dan bahkan juga super market seperti Hero, Metro, Kem Chick, dan lain-lain. Selebihnya saya yang melanjutkan.
Dua hari sekali saya menumpang kereta api, dengan karung-karung penuh cabai maupun sayuran okra. Selain harganya tinggi dibandingkan jika dijual di pasaran Bogor, para pedagang di Jakarta itu akan membeli berapa pun barang bawaan saya. Hasil berjualan sayuran itu, meringankan beban Bapak menyekolahkan kami.
Setelah lulus SMA, karena saya tidak masuk universitas negeri, saya tidak langsung memilih perguruan tinggi swasta. Bapak sudah pensiun, sementara adik-adik perlu biaya yang tidak sedikit. Saya tahu Bapak tak akan mampu membayar kuliah jika saya bersikeras masuk universitas swasta.
Di kereta api dari Bogor menuju Jakarta, saya sering melihat teman-teman SMA saya pergi kuliah. Mereka terlihat bercanda, tertawa, saya suka iri. Saya berusaha agar mereka tak melihat saya. Saya biasanya memilih gerbong terakhir, bercampur dengan para penumpang yang juga membawa bawaan besar. Anak-anak kuliahan itu tak akan memilih gerbong terakhir. Suatu ketika, saya harus membenamkan muka ke dalam karung karena ternyata seorang teman SMA saya ada di gerbong yang sama dengan saya. Atau kejadian lain, ketika saya memanggul karung di pundak, seorang teman lain memergoki. Saya malu sekali.
Tahun berikutnya, sambil menjagai kebun saya terus belajar hingga akhirnya saya diterima di sebuah perguruan tinggi negeri. Kata Ibu, Bapak bangga sekali sama saya.
Karena dari hasil kebun saja sudah cukup, Ibu sudah tak perlu lagi membeli apa-apa lagi ke warung. Kecuali untuk barang-barang tertentu. Ibu saya pintar memasak. Dari nangka muda, beliau membuat gudek. Dari daun singkong, beliau membuat urap. Dari daun talas, beliau membuat buntil. Semuanya enak. Selain untuk makan pagi siang sore, Ibu juga membuat camilan dari jagung, labuh, singkong, ubi, dan lain-lain.
Selain kebun dan sawah, Bapak juga membuat kolam ikan. Mujair, emas, nila, lele, gurame. Berganti-gantian. Setiap panen, Bapak menjualnya ke pemborong.
Hasil berkebun selain di jual, dinikmati keluarga, juga untuk dibagi-bagikan kepada tetangga. Kami panen bengkoang, semua tetangga ikut merasakan. Kami panen mujair, mereka juga mencicipi.
Saya mendapatkan uang jajan sampingan dari hasil kebun. Ranting-ranting dan dahan kering saya punguti, lalu saya antar ke rumah nenek yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Nenek biasanya memberi saya uang.
Hasil kebun juga bisa digunakan untuk barter agar bisa mendapatkan hasil kebun atau hasil usaha dari tetangga lain. Saya juga biasa mereret daun pisang, saya jemur sebentar biar layu, kemudian saya antar ke warung-warung. Daun pisang saya barter dengan penganan yang dijual. Kami sekeluarga bisa menikmati kue pisang yang lezat tanpa keluar uang.
Seorang kerabat, berusaha dodol yang dia jual ke Jakarta. Begitu juga, setiap kami menginginkan dodol buatannya, kami membuat paket bingkisan hasil kebun. Jarang sekali kami dikasih dodol hitam keras yang sudah jadi. Seringnya justeru dodol kemerahan yang masih cair dalam penggorengan besar. Rasanya, hmmm, sedap sekali.
Tetangga lain, memiliki pohon jeruk bali yang besar dengan buahnya yang selalu banyak. Jika kami ingin sekali menikmati asem manisnya buah jeruk, kami akan menyiapkan sebuah paket berisi hasil kebun. Saya yang diminta Ibu dan kakak-kakak saya untuk mengantar paket tersebut. Pulangnya, saya akan membawa jeruk bali yang kami idamkan. Suatu waktu, ketika kami berkhayal betapa indahnya siang-siang hari bisa mencicipi jeruk bali yang segar, cara sama kami lakukan. Namun kali ini, sang tetangga sedang tidak di rumah. Saya pulang dengan tangan hampa. Namun untuk lucu-lucuan, saya mengisi bakul dengan batu, supaya Ibu dan kakak-kakak mengira saya pulang membawa jeruk bali.
Saking kecintaannya pada bertani, Bapak pergi juga ke sawah padahal sedang tidak sehat. Seorang tetangga menemukan Bapak tersungkur di pematang sawah. Olehnya, Bapak dipanggul pulang. Karena keadaannya tidak membaik, Ibu dan kakak perempuan saya mengantar Bapak ke rumah sakit. Dalam perjalanan, Bapak menghembuskan nafas terakhir.
Bapak berkebun dan bertani bukan sekedar untuk hobby, tapi juga untuk mendapat uang sampingan untuk keluarga besarnya. Bapak punya beberapa petak tanah yang lokasinya berjauhan. Belum lagi, Bapak juga mengelola tanah-tanah milik tetangga atau milik kerabat yang digadaikan. Ada tanah yang cocok untuk ditanami padi, ada yang cocok untuk beternak ikan, ada juga yang hanya cocok ditanami palawija.
Sejak saya kecil, saya lupa di usia berapa, saya dan saudara-saudara sudah berkubang dengan lumpur untuk membantu Ibu dan Bapak. Ibu tak pernah mengeluh walaupun kulitnya jadi sangat gelap karena sering terbakar matahari. Saya sangat kehilangan waktu bermain dengan teman-teman seusia. Tak ada pilihan, dari pada dipukuli Bapak jika tidak ikut membantu.
Selain padi, Bapak juga berkebun kacang tanah, kacang panjang, buncis, singkong, ubi, mentimun, tomat, cabai, terung, ukuk, sereh, kopi, bayam, kangkung. Kami tidak menanamnya bersamaan tapi bergantian. Ada juga yang ditanam sistem tumpang sari. Selain itu juga Bapak menanam rambutan, jambu batu, jambu bol, buni, nangka, pepaya, kedondong, kelapa, pisang.
Siang hari jika matahari sudah condong ke barat, Ibu mengajak anak-anaknya ke kebun. Kami berbagi tugas. Siapa membuat lubang, siapa melempar benih, siapa menutup benih dengan tanah, siapa menyiram. Sepulang kerja, Bapak akan ikut bergabung membetulkan irigasi, membetulkan pagar pembatas yang rusak, atau mengganti atap yang sudah perlu diganti.
Jika tanaman sudah tumbuh, tugas panjang masih akan menanti. Memberi pupuk, menyiangi rumput, menumpulkan pucuk, membuat tiang penyangga, menyemprotkan obat anti hama, hingga menjaga kebun agar tidak dimasuki maling.
Saya sering mengantar Ibu ke pasar dengan karung besar berisi mentimun, tomat, atau hasil kebun lain. Biasanya ibu berangkat dengan beberapa karung sekaligus. Ibu menggendong karung untuk disampaikan ke pembeli, saya menunggu karung lainnya agar tidak diboyong orang.
Kegiatan menjual hasil kebun dan sawah terus kami lakukan hingga saya duduk di bangku kuliah. Pemasaran tak sekedar di dalam kota Bogor, tapi juga ke ibu kota. Awalnya, Bapak mengantar saya ke beberapa pasar seperti Pasar Cikini, Pasar Blok M, maupun Pasar Mayestik dan bahkan juga super market seperti Hero, Metro, Kem Chick, dan lain-lain. Selebihnya saya yang melanjutkan.
Dua hari sekali saya menumpang kereta api, dengan karung-karung penuh cabai maupun sayuran okra. Selain harganya tinggi dibandingkan jika dijual di pasaran Bogor, para pedagang di Jakarta itu akan membeli berapa pun barang bawaan saya. Hasil berjualan sayuran itu, meringankan beban Bapak menyekolahkan kami.
Setelah lulus SMA, karena saya tidak masuk universitas negeri, saya tidak langsung memilih perguruan tinggi swasta. Bapak sudah pensiun, sementara adik-adik perlu biaya yang tidak sedikit. Saya tahu Bapak tak akan mampu membayar kuliah jika saya bersikeras masuk universitas swasta.
Di kereta api dari Bogor menuju Jakarta, saya sering melihat teman-teman SMA saya pergi kuliah. Mereka terlihat bercanda, tertawa, saya suka iri. Saya berusaha agar mereka tak melihat saya. Saya biasanya memilih gerbong terakhir, bercampur dengan para penumpang yang juga membawa bawaan besar. Anak-anak kuliahan itu tak akan memilih gerbong terakhir. Suatu ketika, saya harus membenamkan muka ke dalam karung karena ternyata seorang teman SMA saya ada di gerbong yang sama dengan saya. Atau kejadian lain, ketika saya memanggul karung di pundak, seorang teman lain memergoki. Saya malu sekali.
Tahun berikutnya, sambil menjagai kebun saya terus belajar hingga akhirnya saya diterima di sebuah perguruan tinggi negeri. Kata Ibu, Bapak bangga sekali sama saya.
Karena dari hasil kebun saja sudah cukup, Ibu sudah tak perlu lagi membeli apa-apa lagi ke warung. Kecuali untuk barang-barang tertentu. Ibu saya pintar memasak. Dari nangka muda, beliau membuat gudek. Dari daun singkong, beliau membuat urap. Dari daun talas, beliau membuat buntil. Semuanya enak. Selain untuk makan pagi siang sore, Ibu juga membuat camilan dari jagung, labuh, singkong, ubi, dan lain-lain.
Selain kebun dan sawah, Bapak juga membuat kolam ikan. Mujair, emas, nila, lele, gurame. Berganti-gantian. Setiap panen, Bapak menjualnya ke pemborong.
Hasil berkebun selain di jual, dinikmati keluarga, juga untuk dibagi-bagikan kepada tetangga. Kami panen bengkoang, semua tetangga ikut merasakan. Kami panen mujair, mereka juga mencicipi.
Saya mendapatkan uang jajan sampingan dari hasil kebun. Ranting-ranting dan dahan kering saya punguti, lalu saya antar ke rumah nenek yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Nenek biasanya memberi saya uang.
Hasil kebun juga bisa digunakan untuk barter agar bisa mendapatkan hasil kebun atau hasil usaha dari tetangga lain. Saya juga biasa mereret daun pisang, saya jemur sebentar biar layu, kemudian saya antar ke warung-warung. Daun pisang saya barter dengan penganan yang dijual. Kami sekeluarga bisa menikmati kue pisang yang lezat tanpa keluar uang.
Seorang kerabat, berusaha dodol yang dia jual ke Jakarta. Begitu juga, setiap kami menginginkan dodol buatannya, kami membuat paket bingkisan hasil kebun. Jarang sekali kami dikasih dodol hitam keras yang sudah jadi. Seringnya justeru dodol kemerahan yang masih cair dalam penggorengan besar. Rasanya, hmmm, sedap sekali.
Tetangga lain, memiliki pohon jeruk bali yang besar dengan buahnya yang selalu banyak. Jika kami ingin sekali menikmati asem manisnya buah jeruk, kami akan menyiapkan sebuah paket berisi hasil kebun. Saya yang diminta Ibu dan kakak-kakak saya untuk mengantar paket tersebut. Pulangnya, saya akan membawa jeruk bali yang kami idamkan. Suatu waktu, ketika kami berkhayal betapa indahnya siang-siang hari bisa mencicipi jeruk bali yang segar, cara sama kami lakukan. Namun kali ini, sang tetangga sedang tidak di rumah. Saya pulang dengan tangan hampa. Namun untuk lucu-lucuan, saya mengisi bakul dengan batu, supaya Ibu dan kakak-kakak mengira saya pulang membawa jeruk bali.
Saking kecintaannya pada bertani, Bapak pergi juga ke sawah padahal sedang tidak sehat. Seorang tetangga menemukan Bapak tersungkur di pematang sawah. Olehnya, Bapak dipanggul pulang. Karena keadaannya tidak membaik, Ibu dan kakak perempuan saya mengantar Bapak ke rumah sakit. Dalam perjalanan, Bapak menghembuskan nafas terakhir.
Comments